Si Keras Kepala

710 86 2
                                    

Sejenak Tamara berhenti melakukan pekerjaannya. Dia memikirkan apa yang terjadi pagi tadi di rumah kontrakan milik Fadli tersebut. Pras memeluknya dengan erat. Pras seperti merasa takut kehilangan dirinya atau entahlah, Tamara bahkan kesulitan untuk menjabarkan apa yang dia rasakan tentang sikap Pras.

Pras tidak pernah melakukan hal semacam itu sebelumnya. Tamara tidak pernah merasakan ketakutan Pras sebesar tadi. Dia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Wanita itu menghela napas dalam.

Pras mengiriminya banyak pesan. Hari sudah mulai sore dan dia sama sekali tidak memberi Pras kabar. Pria itu terus bertanya jam berapa dia pulang kerja. Tamara kemudian mengetikkan sebuah pesan balasan.

"Aku pulang jam lima sore."

Tak sampai lima menit setelah dia meletakkan kembali ponselnya ke atas meja, Pras sudah memberikan pesan balasan untuknya. Pria itu hendak menjemputnya. Tamara tidak habis pikir dengan Pras. Pria itu sibuk dan Tamara sangat tahu akan hal tersebut. Tapi demi mengambil hati Tamara yang sudah terlanjur cacat, Pras bahkan rela menyusul ke Bogor.

"Pulang bareng, yuk!"

Tamara mendongak dan seketika dia terkejut dengan kedatangan Fadli yang begitu mendadak. "Sepertinya saya dijemput suami, A'." Tamara tersenyum kecil.

Terlihat gurat kecewa di wajah Fadli. Pria itu memaksakan senyuman di depan Tamara. Dia mengangguk.

"Oke!"

Setelahnya, Fadli berlalu begitu saja. Tamara sempat bingung karena pria itu nampak tak suka mendengar jawabannya. Tapi setelah ia pikir lagi, Fadli memang tidak seharusnya menyukainya, kan?

Tamara memilih pulang bekerja bersama sang suami yang masih mengenakan kemeja dan juga celana kerja. "Kenapa repot-repot jemput aku?" Tamara memasang sabuk pengamannya.

Pras tersenyum. "Wajar, kamu istriku."

Pria itu menginjal pedal gas dan mobil yang mereka tumpangi berjalan pelan membelah kota Bogor. "Kenapa kamu lari ke Bogor?" tanya Pras.

Tamara yang awalnya menatap lurus ke depan spontan menoleh ke arah luar jendela mobil. Dia menelan salivanya dengan pikiran berkecamuk. Semenjak kejadian Pras memeluknya dan mengaku kalau pria itu cemburu, entah kenapa ada rasa senang di dalam hati wanita itu.

"Aku nggak punya banyak uang. Bogor nggak jauh dari Bandung jadi aku pikir aku nggak akan kesulitan untuk hidup di sini. Dan nyatanya aku baik-baik aja selama di sini bahkan sebelum kamu kembali datang," jawab wanita itu dengan nada sedikit ketus.

Pras hanya bisa menghela napas dalam. Istrinya masih merajuk dan dia harus sadar diri bahwa semuanya memang berasal dari kebodohannya sendiri. Pras kemudian diam dan tidak lagi memancing ucapan sang istri yang sangat tidak nyaman ia dengar.

Tamara melirik Pras sekilas. Jemarinya saling bertaut. Bibirnya sudah terasa gatal ingin mengatakan sesuatu tapi dia gengsi.

"Ada apa? Kamu ingin mampir ke suatu tempat?" tanya Pras.

Syukurlah. Tamara pikir Pras masih saja menjadi suami yang tidak peka pada istrinya.

"Aku mau makan pasta. Mumpung lagi gerimis. Kayaknya enak." Tamara menatap wajah Pras dari samping.

Pras tersenyum dan mengangguk. "Ayo kita makan pasta!" ucapnya dengan penuh semangat.

Dan di sinilah mereka berada. Di sebuah restoran yang menyajikan berbagai menu barat, termasuk pasta. Pras yang sudah lebih dulu selesai makan tak juga jemu memandang wajah sang istri di depannya. Tamara nampak sangat antusias. Wajahnya terlihat berseri kala menikmati sepiring pasta dan juga seloyang pizza.

"Aku udah bayangin makan pasta dari dua minggu yang lalu." Tamara terkikik geli mengingat dirinya yang bahkan harus menghitung uang tabungan saat ingin makan pasta.

Wajah Pras berubah sendu. "Maaf, seharusnya aku bisa memastikan kamu dan anak kita nggak kekurangan apapun," ucap pria itu.

"Bukan salah kamu. Aku yang mengambil keputusan untuk berpisah." Tamara meletakkan garpunya dan segera minum jus yang ada di sebelah piringnya. "Setelah ini, pulanglah ke Jakarta. Aku serius!" Wanita itu fokus pada wajah Pras yang tak sebahagia sebelum mereka sampai di tempat itu.

"Apa kita nggak bisa bersama lagi?" tanya Pras dengan nada suara lirih.

Tamara menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. "Aku pikir kalau kita bersama, itu nggak akan menjamin kita akan bahagia. Aku masih dibayangi rasa takut dan juga kecewa. Aku bahkan nggak bisa percaya lagi sama kamu."

"Aku minta satu kesempatan lagi, aku mohon!" Pras mencoba meraih tangan sang istri namun berhasil ditepis.

"Maaf, aku pikir semua kesempatan untuk kamu udah habis. Kalau kamu ingat, aku selalu menunggu supaya kamu berkata jujur dan bersikap serius. Tapi sepertinya rumah tangga kita memang udah salah sejak awal dimulai," ucap wanita itu.

Telapak tangannya mengepal di bawah meja. Tamara juga terluka. Tapi dia terlalu pandai menyembunyikan perasaannya di depan Pras. Pria itu tidak akan pernah bisa mengukur seberapa dalam luka yang Tamara harus hadapi setiap harinya.

"Kamu..." Tamara tersenyum. "Berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku. Wanita impian kamu. Wanita yang selalu ada di dalam kepalamu. Aku dan anak kita akan baik-baik aja. Kalau kamu pikir aku akan memilih Fadli, kamu salah. Fadli adalah teman baikku di sini. Dan nggak pernah terlintas di pikiranku untuk menerima dia menjadi pasanganku." Tamara menelan salivanya dengan perasaan yang semakin berat. "Aku udah memikirkan ini semua sejak semalam."

"Nggak! Aku nggak akan melepaskan kamu!" Pras kemudian bangkit berdiri. "Aku mau ke toilet," ucapnya lalu berjalan pergi.

Pras dan sikap keras kepalanya. Tamara hanya mampu menghela napas pasrah. Pras jelas tidak akan pernah mau pergi meski ia sudah mengusir pria itu secara terang-terangan. Tamara bahkan sudah memberikan tanda bahwa dia menolak untuk rujuk. Tapi Pras tetaplah Pras. Pria dengan pendirian sekeras batu karang. Dan Tamara sepertinya tidak akan mudah membuat pria itu tumbang.

Selesai makan malam, Pras kembali mengikuti istrinya masuk ke dalam rumah kontrakan kecil itu. Tamara membiarkan Pras bertindak sesuka hatinya. Toh, dia tidak akan bisa membuat Pras angkat kaki dari sana meski ia berteriak marah.

"Baju-bajuku ditaruh di mana?" tanya Pras seraya menggaruk pelipisnya.

Tamara yang sedang membersihkan riasan dari wajahnya melirik sang suami sekilas. "Ckh! Aku udah bilang rumahku kecil. Kenapa kamu malah ke sini sambil bawa dua koper besar begini?" Tamara menggelengkan kepalanya.

Pras terkekeh. "Aku pindah ke sini. Wajar kalau aku bawa dua koper ini."

Tamara bersungut-sungut kesal. Dia berdiri dan berjalan menuju ke arah lemari pakaian. Wanita itu membuka pintu lemari yang berukuran kecil itu.

"Lihat! Lemari pakaianku kecil banget. Lagipula..." Dia berbalik dan memandang sang suami yang berdiri di depan pintu kamar. "Aku nggak mau balik sama kamu lagi. Sakitku yang kemarin belum sembuh jadi sebaiknya kamu tetap jaga jarak dari aku. Nggak ada tidur berdua di atas ranjangku!" Tamara memberi peringatan keras sambil menunjuk Pras dengan jari telunjuknya.

TerberaiWhere stories live. Discover now