Aku Cemburu

842 91 8
                                    

"Kamu masih di sini?" Tamara mendelik melihat Pras yang baru saja keluar dari kamar mandi saat wanita itu baru saja keluar dari kamarnya.

Pras tersenyum. Rambutnya terlihat basah dengan wajah yang terlihat jauh lebih segar daripada semalam. Pras bahkan sudah mengenakan kemeja dan juga celana kerja berwarna hitam. Tamara kemudian meminum air putih dengan mata yang tak lepas dari wajah suaminya. Pras terlihat menyunggingkan senyuman manisnya.

"Memangnya seharusnya aku ada di mana?" Pras kemudian duduk di kursi.

Tamara mengerutkan kening dalam. "Kamu seharusnya ada di Jakarta, bukan di sini."

"Istri aku di sini jadi udah seharusnya aku juga di sini," sahut Pras dengan cepat. "Aku mau sarapan nasi goreng pake telur mata sapi buatan kamu."

Tamara yang berjalan menuju ke arah dapur spontan menoleh ke belakang. "Kamu mau sarapan di sini?" tanyanya tak percaya.

"Ya." Pria itu terkekeh melihat wajah Tamara yang nampak kesal.

"Bikin sarapan sendiri, aku mau mandi." Tamara berjalan meninggalkan Pras di meja makan.

Pria itu menatap istrinya yang masuk ke dalam kamar mandi dengan helaan napas dalam. Dia mengangkat bahunya mencoba bersikap acuh. Dengan langkah santai, Pras berjalan menuju ke arah dapur. Dia menggulung kemejanya sampai ke siku dan mulai meracik bumbu yang diperlukan untuk membuat nasi goreng.

Tamara yang baru saja selesai mandi buru-buru masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. Hari ini dia harus berangkat bekerja lebih pagi dari sebelumnya karena ada data stock yang diperlukan untuk rapat akhir bulan yang harus ia persiapkan.

Wanita itu memuji penampilannya di depan cermin. "Lo harus kelihatan lebih cantik dari sebelumnya supaya Pras menyesal!" gumamnya kepada dirinya sendiri.

Dia meraih tas kerjanya dan segera keluar dari kamar. Hidungnya menangkap aroma sedap masakan yang berasal dari arah meja makan. Tamara mengerutkan kening sambil berjalan mendekati Pras yang sedang menata piring berisi nasi goreng dan telur mata sapi di atas meja.

Tamara mematung melihat apa yang dilakukan oleh suaminya. Pras menoleh dan tersenyum hangat.

"Ayo kita sarapan!" ajak Pras.

Tamara menelan ludah dengan perasaan aneh di dalam hatinya. Wanita itu menurut saat Pras membawanya duduk di salah satu kursi. Pras mengelus puncak kepala Tamara sekilas dan kemudian dia mulai makan.

Tamara menyendok nasi goreng di depannya dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia mengunyahnya pelan dan tidak menyadari tatapan Pras kepada dirinya. Tamara mengangguk dan menelan nasinya.

"Bagaimana rasanya? Enak nggak?" tanya Pras dengan perasaan antusias.

"Enak," jawab Tamara singkat. "Kenapa kamu masak? Kamu bisa beli sarapan di luar."

Pras menggeleng. "Aku mau nasi goreng buatanmu tapi karena kamu nggak mau masakin aku jadi aku masak sendiri buat kita berdua. Lagipula aku senang bisa melayani istriku."

Pipi Tamara tiba-tiba terasa hangat. Bibirnya hendak tersenyum tapi dia menahan diri supaya tidak percaya diri. Matanya pura-pura sibuk menatap makanan di depannya.

"Kamu nggak perlu melakukannya. Toh, selama ini aku juga baik-baik aja meski kamu nggak peduli." Tamara kembali menyuapkan satu sendok penuh nasi goreng ke dalam mulutnya.

Ucapan wanita itu begitu pedas di dengar. Tapi Pras sadar, dia memang sudah banyak membuat salah kepada istrinya. Pria itu memilih menghela napas samar untuk melegakan hatinya yang tidak baik-baik saja.

"Aku minta maaf. Aku memang bukan suami yang baik. Tapi itu kemarin, mulai detik ini aku ingin membuat kamu nyaman dan bahagia." Dan aku rindu kamu memanggilku dengan sebutan 'Mas'.

Pras menatap nasi gorengnya. Seandainya bisa, dia ingin memutar waktu supaya bisa memperlakukan istrinya dengan baik. Dan perselingkuhan singkatnya bersama Melly tidak akan pernah ia lakukan. Perselingkuhan bodoh yang membuat rumah tangganya berada di ambang kehancuran.

Tamara mengangkat bahunya acuh. "Aku takut terlambat. Tolong kunci pintunya diletakkan di bawah pot bunga mawar yang ada di teras rumah." Wanita itu berdiri setelah menatap jam tangannya.

Pras menoleh dan menatap piring milik Tamara yang sudah kosong. Dia mendongak dan hendak bersuara. Tapi istrinya itu sudah lebih dulu membawa tasnya dan berjalan keluar rumah.

Terlambat?

Pras mengernyitkan keningnya dalam. Dia merasa telah melewatkan sesuatu. Pria itu buru-buru berdiri dan berjalan cepat menyusul istrinya yang sedang membuka pintu. Beruntung nasi goreng di piringnya juga sudah habis. Porsi sarapan mereka berdua pagi itu memang tidak banyak karena nasi yang ada di dapur juga tidak banyak.

"Kamu mau ke mana?" Pras berhenti dan menatap penampilan istrinya yang sudah rapi, lengkap dengan tas kerja dan juga riasan di wajahnya.

Tamara berbalik dan menatap Pras yang terlihat penasaran dengan dirinya. "Kerja," jawabnya.

"Kamu kerja?" Pras nampak tak percaya.

"Ya! Aku kerja. Aku dan anakku butuh biaya dan kita akan segera bercerai jadi aku harus kembali menjadi wanita mandiri." Tamara menarik gagang pintu ke arahnya supaya terbuka.

Suara motor yang berhenti di depan rumah membuat Pras berjalan mendekati istrinya. Fadli. Pria itu sudah datang dengan pakaian khas orang hendak pergi ke kantor. Pras mengeratkan rahangnya kala pria itu melempar senyuman kepada sang istri.

"Ayo berangkat!" ucap Fadli.

Tamara mengangguk. "Maaf ngerepotin terus, A'." Senyuman Tamara terlihat sempurna.

"Saya yang akan mengantar istri saya!" suara Pras membuat langkah Tamara terhenti dan dia menoleh menatap sang suami dengan mata membulat sempurna.

"Tapi..." Fadli hendak menolak ide Pras tapi dia kemudian sadar kalau posisinya hanya teman Tamara.

"Kebetulan saya juga akan berangkat kerja jadi kami bisa pergi bersama. Maaf sudah merepotkan anda dan terima kasih sudah bersedia mengantar istri saya selama saya tidak di sini." Pras berkata dengan tegas dan tatapan mata yang sangat tidak ramah.

Tamara memejamkan matanya sejenak sambil menghela napas dalam. Dia merasa tidak enak hati kepada Fadli atas sikap Pras. Suaminya itu terlihat sedang berusaha mengintimidasi Fadli.

"A', maaf. Saya berangkat bareng suami." Tamara memaksa senyumnya.

Fadli mengalah. Dia mengangguk dan tersenyum.

"Iya, nggak apa-apa. Kalau gitu saya permisi dulu, ya!" ucapnya.

Setelah Fadli pergi, Tamara menatap Pras dengan tangan bersedekap. "Kamu kenapa nada bicaranya begitu sama A' Fadli?" tanyanya dengan dada yang bergerak naik turun.

Wanita itu berjalan masuk ke dalam rumah karena takut jika obrolan mereka akan didengar oleh orang lain. Pras ikut masuk dengan senyuman tertahan. Dia lega luar biasa karena istrinya memilih berangkat bekerja bersamanya.

"Memangnya kenapa? Aku nggak merasa salah bicara. Kamu masih istriku jadi wajar kalau kamu berangkat bersamaku. Aku udah ada di sini jadi kamu nggak perlu lagi pergi kerja bersama Fadli," jawab Pras dengan nada suara yang kembali tenang.

Tamara membuang napas kasar. "Aku nggak enak sama A' Fadli. Dia dan ibunya udah bantu aku selama di sini. Mereka baik." Tamara terlihat hendak menangis.

Pras menutup pintu rumah dan mendekati sang istri yang sudah meneteskan air mata hanya dalam hitungan detik. "Hei, maaf. Aku nggak suka lihat kamu dekat sama Fadli atau pria manapun, Sayang." Pras memeluk sang istri.

"Kamu nggak tahu gimana susahnya aku setelah sampai di sini. Mereka pemilik rumah kontrakan ini. Aku dikasih harga murah dan ibunya juga perhatian banget sama aku karena tahu aku sendirian di sini." Tamara menangis tersedu.

Pras mencium pelipis istrinya dengan lembut. "Aku minta maaf. Aku nggak suka kamu panggil dia 'Aa'' dan aku juga ingin kamu mengandalkan aku, bukan Fadli. Aku harap kamu ngerti kalau aku benar-benar cemburu." Pras mengelus punggung istrinya.

________________________________________________________________________________

Hayooo, masih ada yang dendam sama Pras nggak nih?

Yuk jangan lupa follow dan tinggalkan voment kalian biar penulisnya semakin rajin update hehe

TerberaiWhere stories live. Discover now