Dia Cuma Mau Merayu

696 86 6
                                    

"Terus aku harus percaya sama semua ucapan kamu?" Tamara tersenyum miris.

"Tentang foto yang pernah kamu terima, aku udah bilang kalau itu semua bohong! Aku nggak tidur dengan wanita lain, Sayang!" Pras terlihat frustasi.

Tamara menggeleng. "Bukan tentang foto itu." Tamara menghela napas panjang. "Tapi tentang cincin yang pernah aku temukan," lanjutnya dengan suara bergetar.

Pras terdiam. "Melly ingin memulai sebuah perselisihan?" batin Pras.

"Aku udah banyak sabar. Aku juga nunggu kamu buat menjelaskan semuanya. Tapi aku nggak pernah dapat apa yang aku butuhkan untuk bisa kembali percaya sama kamu." Tamara mengusap matanya yang kembali basah.

Perdebatan mereka berdua terasa berbeda kali ini. Seperti ada sebuah beban yang menggantung di pundak Pras. Pria itu tidak pernah setakut ini. Mata wanita yang sudah menjadi istrinya itu nampak berbeda. Jenis luka yang tidak bisa Pras anggap enteng lagi. Tamara jelas bisa berbuat sesuatu yang bisa menghancurkan hati Pras.

"Karena memang nggak ada yang perlu aku jelaskan lagi, Sayang." Pras membuang napas kasar.

Kepalanya mendidih. Menghadapi emosi Tamara bukanlah perkara yang mudah. Dia baru sadar jika istrinya adalah sosok wanita yang terlalu pemikir.

"Harusnya kamu sadar kalau masalah itu belum sepenuhnya selesai! Kamu nggak mikir gimana rasanya jadi aku? Nahan diri buat nggak meledak waktu kamu pilih diam atau mengalihkan pembicaraan!" Tamara melotot.

"Oke!" Pras memijat kedua pelipisnya yang berkedut hebat.

Dia benar-benar cukup lelah setelah seharian menghadiri berbagai meeting dan menghadapi beberapa kesalahan yang dilakukan oleh para karyawannya. "Kamu mau dengar apa tentang masalah kemarin?" tanyanya.

Tamara menatap suaminya dengan mata sembab. "Siapa wanita itu?" suara Tamara terdengar lirih.

Pras meneguk ludah dengan susah payah. Matanya mengerjap dengan rahang yang mengetat kuat. Seharusnya hal seperti ini tidak perlu terjadi di antara mereka berdua tapi kesalahan yang sudah ia buat membuat Tamara tidak mau menyerah untuk tahu tentang cinta pertamanya.

"Dia..." Pras menggantung kalimatnya.

Dia membuat Tamara tidak sabar. "Siapa?!" gertak Tamara dengan tangan yang sudah mencengkram kuat ujung baju yang Pras kenakan.

"Dia bukan seseorang yang penting di hidupku sekarang. Kemarin aku cuma ingin memberikan hadiah ulang tahun, Itu aja. Tidak ada yang istimewa lagi sejak aku bilang kalau aku cinta sama kamu," jawab Pras.

Tamara menggeleng. "Kamu mau melindungi wanita itu?" Tamara tdak tahu kenapa rasanya dia benar-benar ingin menemui wanita yang mendapatkan sebuah kado istimewa dari sang suami itu.

"Aku nggak melindungi dia, Tamara!" sahut Pras cepat. "Aku cuma nggak mau kamu jadi semakin mikir ke arah yang nggak seharusnya."

Tamara memejamkan matanya dan mengangguk pelan. Terlalu berat untuknya. Dia tersenyum sedih dan menelan kekecewaan seorang diri. Wanita itu kemudian berdiri dan melepaskan genggaman tangannya pada ujung baju sang suami. Tamara menatap suaminya yang hanya mampu menunduk.

"Kamu bilang ingin memulai semuanya dengan benar. Kamu bahkan udah bilang kalau kamu cinta sama aku. Tapi untuk hal yang bahkan bisa mengancam rumah tangga kita, kamu lebih memilih menyakiti istrimu sendiri." Tamara meneguk salivanya dengan tenggorokan yang terasa kering dan serak.

Dia mundur satu langkah saat Pras hendak menyentuh tangannya. "Nggak akan pernah ada 'kita' kalau kamu masih memilih untuk menyakiti aku, Mas." Tamara menahan diri supaya tidak luruh dan menangis tersedu. "Aku bahkan nggak tahu apa kamu udah menyentuh wanita lain atau belum. Meski cuma ciuman atau bahkan..." Tamara menghela napas dalam. "Cumbuan?" Dia tersenyum kecut. "Aku rasa aku nggak bisa bertahan di samping kamu."

Setelah mengatakan semuanya, Tamara beranjak pergi dari kamar. Dia memilih tidur di kamar tamu dan meringkuk seperti bayi. Matanya bengkak dengan hati yang sudah tidak karuan lagi.

"Mereka masih berhubungan sampai sekarang."

Ucapan Melly terngiang di kepala Tamara. Dia memejamkan matanya dan menghirup udara sebanyak yang ia bisa. Sesak tidak bisa ia hindari. Dia menepuk dadanya dengan telapak tangan.

Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu yang diketuk dengan tidak sabaran. Tamara menatap pintu kamar yang ia tempati dengan nanar.

"Tamara, buka pintunya!" teriak Pras.

"Gue kira dia bakal diam aja," bisik Tamara sambil terkekeh pelan.

"Tamara, Sayang?!" Pras kembali berteriak setelah tidak mendapat jawaban dari sang istri.

Tamara memilih memejamkan matanya dan menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. Dia membiarkan Pras menjadi semakin tidak sabar. Pria itu menggedor pintu kamar seraya memanggil nama sang istri.

"Tamara!"

"Tamara, buka pintu!"

Tamara semakin mengeratkan pejaman matanya saat telinganya menangkap suara pintu yang berusaha didobrak oleh Pras. Tubuhnya terasa bergetar. Jantungnya berdetak semakin cepat dengan bibir yang sudah ia gigit dengan kuat.

Dan akhirnya Pras berhasil membuka pintu kamar tersebut setelah mengerahkan seluruh tenaga yang ia miliki. Tamara bisa mendengar langkah kaki Pras. Pria itu memasuki kamar dengan napas memburu. Desahan keluar dari bibir pria itu.

Pras kemudian duduk di pinggiran ranjang dan memandang sang istri yang ia tahu sedang pura-pura tidur. Dia menunduk dan mengecup kening Tamara. Tangannya bergerak membelai surai rambut sang istri. Rasanya dia tidak rela jika sampai Tamara meninggalkannya.

"Aku tahu kalau kamu belum tidur," ucapnya pelan. "Nggak apa-apa. Aku akan nunggu sampai kemarahanmu reda tapi jangan suka ngunci diri di dalam kamar kayak begini lagi." Tamara mendengar getaran dalam suara Pras. "Aku cuma khawatir kalau terjadi apa-apa sama kamu dan anak kita."

Tamara tetap memilih diam dan membisu. Pria itu menghela napas pelan dan bangkit berdiri.

"Aku nggak akan bisa tidur kalau kita pisah ranjang kayak gini. Aku minta izin buat tidur di samping kamu, ya? Aku janji nggak akan ganggu kamu," katanya.

Pras berjalan mengitari ranjang dan berbaring di samping Tamara yang sedang memunggunginya. Tubuhnya sangat lelah. Dia mengernyitkan keningnya saat merasakan nyeri di lengan kanannya. Pras memijat daerah yang terasa tidak nyaman itu dengan pelan sambil meringis menahan sakit.

Dia berusaha untuk tidak bersuara karena takut mengganggu istrinya. Setelah berhasil mendobrak pintu, Pras harus menerima konsekuensi yang tubuhnya rasakan. Pras kemudian mengubah posisinya menjadi miring menghadap punggung sang istri meski itu berarti lengannya yang nyeri harus menerima beban tubuhnya.

"Tidak apa-apa, asal gue masih bisa tidur di samping Tamara," batinnya.

Pras tertidur dengan cukup cepat. Dengkuran halus terdengar di telinga Tamara yang sejak tadi menahan gerakan tubuhnya. Dia menoleh ke belakang dan menemukan sang suami sudah tidur dengan nyenyak.

Wanita itu beranjak duduk dan berjalan mengendap-endap keluar dari kamar itu. Dia tidak ingin membangunkan sang suami. Pikirannya kacau. Dia tidak merasakan kelegaan apapun setelah mendengar semua penuturan Pras.

"Dia cuma mau merayu supaya gue luluh. Dia mau tetap bersama gue tanpa mau membereskan masalah ini," batin Tamara dengan dada yang masih saja terasa sesak.

________________________________________________________________________________

Hai, boleh minta komentar kalian tentang novel ini? 

Terima kasih banyak buat yang sudah berkenan mampir :)

Credit :

Song by Juliette - Bukannya aku takut  

TerberaiTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon