Jadi Istri Bos?

1K 66 2
                                    

"Kenapa lo tiba-tiba pulang, Ras?" tanya Gangga.

Mereka kini sudah dalam perjalanan menuju Jakarta. Tamara akan langsung ke kantornya pagi ini karena akan ada meeting penting jam 10 pagi nanti.

"Nggak apa-apa, kangen rumah aja," jawab Tamara. "Kemarin gue nggak balik ke rumah." Tamara sebiasa mungkin bersikap tenang supaya Gangga tidak tahu bahwa dirinya sedang menghadapi permasalahan yang rumit.

Gangga manggut-manggut kemudian fokus ke jalanan lagi. Tidak ada obrolan lagi diantara mereka karena Tamara tertidur setelah semalaman gadis itu tidak bisa memejamkan matanya. Dia terus memutar otak bagaimana mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dua minggu. Sedangkan Gangga asyik bersenandung ria menirukan suara Adam Levine.

Jam setengah 8, mobil yang dikendarai Gangga sudah tiba di depan gedung kantor Tamara. Pria itu menatap Tamara di sampingnya yang masih nampak lelap. Gangga tidak tega membangunkan Tamara. Pria itu memandangi wajah ayu Tamara. Wajah yang selalu menemani hari-harinya. Gangga tersenyum. Ada rasa ingin melindungi Tamara, selalu.

"Pakai pundak gue kalau lo lelah, gue selalu ingin jadi orang nomor satu untuk lo, Ras," Gangga membatin.

Tamara mengerjapkan matanya. "Udah sampai?" Tamara terbangun dan melihat Gangga yang menatapnya sambil tersenyum.

Gangga terbelalak. "Udah, itu iler lo di lap dulu," kata Gangga asal sambil menegakkan tubuhnya.

"Apa, sih! Gue nggak ngiler, ya!" Tamara kemudian bersiap untuk turun. "Makasih banyak ya, Ga! Gue turun dulu, lo hati-hati and have a nice day, Bro!" Tamara meninju lengan Gangga kemudian segera keluar dari mobil Gangga.

Tamara sedikit tergesa supaya tidak ketinggalan lift. Gadis itu harus menemui Pras pagi ini. Dengan langkah pasti, Tamara berjalan menuju mejanya dan menaruh barang-barangnya disana. Sepertinya Pras sudah datang karena OB baru saja keluar dari ruangan Pras sambil membawa nampan.

Tamara berdiri di depan mejanya dan meneliti penampilannya. "Huhh! Gue pasti bisa!" dia meyakinkan dirinya.

Entah kenapa ketika sampai disana, Tamara malah merasa jantungnya tidak stabil. Tangannya saling bertaut dan terasa dingin. Dia menggigit bibirnya gugup. Tamara kemudian mengetuk pintu ruangan Pras. Butuh beberapa saat sampai pria itu menyuruhnya masuk. Tamara memegang handle pintu dan mendorongnya pelan. Dia masuk ke ruangan Pras dan langsung melihat Pras tengah berdiri di depan kaca jendela sambil menatap ponselnya.

"Selamat pagi, Pak!" sapa Tamara di depan pintu.

Pras memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dan menatap Tamara dengan satu alis terangat. "Pagi, Tam! Silahkan duduk!" Pras mengarahkan dagunya ke kursi di depan meja kerjanya.

Tamara mengangguk dan berjalan menuju kursi yang di maksud oleh Pras. Kemudian gadis itu duduk dan tersenyum menatap Pras yang kini juga sudah kembali duduk di kursi kebesarannya.

Gadis itu menelan salivanya dengan pelan. "Begini, Pak..." Tamara meremas jari-jarinya yang berada di atas paha. "Sa... saya..." Tamara menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal.

Pras mengerutkan dahinya. "Kamu kenapa?" tanya Pras. "Kemarin kamu percaya diri sekali, kenapa sekarang jadi gugup?" Pras tersenyum miring.

"Ckh!" Tamara berdecak sebal dalam hati.

"Ekhm!" Tamara menegakkan tubuhnya. "Saya mau pinjam uang," Tamara menunduk malu.

Pras mengerutkan dahinya. "Berapa?" tanya Pras.

"Empat ratus juta, Pak," suara Tamara terdengar seperti mencicit.

"Untuk apa uang sebanyak itu?" tanya Pras lagi.

"Untuk melunasi utang bapak saya, Pak," jawab Tamara yang masih belum berani mengangkat wajahnya.

Dia malu!

"Jaminannya?" Pras bersikap sangat tenang.

"Saya nggak punya apa-apa, tapi saya akan bekerja dengan lebih giat disini nanti cicilannya bisa langsung dipotong dari gaji saya setiap bulannya, Pak. Bagaimana?" kata Tamara yang kemudian memicu tawa Pras.

"Bagaimana kalau saya menawarkan hal lain yang lebih menarik daripada itu semua?" tanya Pras dengan satu alis terangkat tinggi.

Tamara mendongak dan matanya langsung bertubrukan dengan manik mata gelap milik Pras. Tamara kelu, dia tidak tahu apakah tawaran dari Pras baik untuknya atau malah merugikannya. Mengingat kejadian kemarin Tamara takut kalau Pras akan mempermainkan dirinya.

Sebenarnya semalam tiba-tiba saja hanya nama Pras yang melintas di otak mungilnya. Tamara terus berpikir selama berulang kali, apa harus Pras? Akhirnya dia mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk menemui Pras pagi ini.

"Apa tawaran dari anda?" tanya Tamara dengan hati berdebar.

"Jadilah istri saya!" ucap Pras yang berhasil membuat mata Tamara membola.

"Apa?! Istri?!" nada suara Tamara meninggi. "Bapak bercanda?!" Tamara bertanya sambil mendengus.

"Saya serius, Tamara. Saya mau kamu jadi istri saya dan saya akan melunasi seluruh utang bapak kamu serta saya akan menjamin seluruh hidup kamu, bagaimana?" Pras tersenyum miring.

"Maaf, Pak. Sepertinya saya salah orang, saya tidak ingin menikah dengan anda dan saya juga tidak mau menjual diri saya seperti ini! Saya permisi dan terimakasih." Dengan menahan emosi Tamara berdiri dan meninggalkan ruangan Pras.

Sementara itu, Pras menatap punggung Tamara dengan sorot tajam. Pria itu mengepalkan kedua tangannya karena kembali mendapatkan penolakan.

"Bukankah semua wanita ingin dinikahi?" Pras menggebrak meja.

"Sialan!" Pras mengumpat karena merasa sangat kesal.

***

Tamara merebahkan diri di ranjangnya. Gadis itu menghela napas lelah. Mandi sudah dia laksanakan begitu juga dengan makan malam. Sekarang Tamara hanya ingin tidur setelah seharian lelah bekerja. Namun, matanya sangat sulit terpejam. Bayangan rumahnya akan disita terus saja memenuhi otaknya.

"Enggak boleh!" Tamara kemudian duduk dan mengusap wajahnya kasar. "Gue harus nyari uang sebanyak itu ke mana?" desah Tamara.

Tamara enggan meminjam kepada Gangga karena dirinya yakin Gangga tidak akan mau uangnya diganti.

Dia menggelengkan kepalanya. "Enggak! Jangan Gangga!" Dia tidak mau memanfaatkan kebaikan Gangga dan keluarganya.

"Itu uang yang besar nominalnya, nama baik keluarga gue di mata keluarga Gangga nggak bisa digadaikan dengan uang empat ratus juta!" Tamara menggigit bibirnya. "Gue bahkan nggak tahu kapan bisa melunasinya."

Tamara mengambil botol air mineral di nakas samping ranjangnya kemudian meneguk isinya sampai tersisa separuhnya. Tiba-tiba ponselnya berdering nyaring. Tamara segera melihat siapa yang meneleponnya.

"Alvin." Tamara tersenyum kemudian mengangkat telepon tersebut.

"Halo, Kak?" Alvin terdengar terburu-buru.

"Halo, Dek. Kenapa?" tanya Tamara dengan perasaannya yang mendadak tidak nyaman.

"Ibu masuk rumah sakit, Kak. Ini aku di rumah lagi ambil barang-barang ibu," ucap Alvin.

Bagai disambar petir, jantung Tamara seakan turun ke kaki. Apa lagi ini?!

"Kenapa bisa?!" Tamara mulai merasakan keringat dingin di telapak tangannya.

"Ibu kena gagal ginjal dan kata dokter harus cuci darah sebulan sekali," kata Alvin yang membuat hati Tamara serasa dicubit.

"Nanti sampai rumah sakit tolong kirim lokasinya! malam ini kakak kesana," ujar Tamara.

Setelah sambungan telepon dengan adiknya di tutup, Tamara segera men-dial nomor Gangga tapi tidak juga tersambung sampai beberapa kali dirinya mencoba. "Ckh!" wajah Tamara kusut dengan pikiran semrawut.

Dia terdiam sejenak kemudian dengan cepat Tamara segera keluar kamar.

TerberaiWhere stories live. Discover now