Memulai Kembali

984 101 6
                                    

Di sinilah Tamara berada. Di sebuah bangku tunggu stasiun Pasar Senen. Dia menunggu kereta yang akan mengantarkannya pergi ke Bandung. Tamara menatap ke sekelilingnya. Banyak orang hilir mudik di depannya. Sebagian dari mereka terlihat berjalan dengan cepat. Sebagian lagi terlihat berjalan dengan sedikit lebih santai.

Mata wanita itu menatap seorang bapak yang duduk di depannya. Sebuah ponsel nampak melekat di telinga kanannya. Seketika ingatannya melambung jauh. Jika ayahnya masih hidup, pasti sekarang Tamara sudah mengadu pada beliau.

Dia menundukkan kepala dan mengusap pipinya yang sudah kembali basah. Hanya karena mengingat perjalanan hidupnya sampai saat ini. Dia tidak tahu, apakah dia harus merasa menyesal atau tidak. Rasa kecewa dan sakit yang bersarang di hatinya seperti sebuah belatung yang menggerogoti perasaannya.

Wanita itu tetap tegar meski otaknya seperti sedang berhenti bekerja. Dia kembali ke rumah ibunya, di mana ia pikir bisa mendapatkan kehangatan dan penyembuhan atas semua luka yang ia bawa ke sana.

"Ibu!" panggilnya sambil mengetuk pintu.

Tak berapa lama, adiknya yang bernama Alma nampak membuka pintu. Wajahnya terlihat lucu kala terkejut dengan kedatangan kakaknya secara mendadak.

"Kak Saras?!" pekiknya.

Wajah gadis yang semakin terlihat cantik itu berubah. Dia nampak senang melihat siapa yang berdiri di depan pintu rumahnya. Alma buru-buru memeluk Tamara dengan erat dan segera memanggil ibunya.

"Ibu! Kak Saras datang!" teriaknya.

Tamara menggelengkan kepalanya seraya masuk ke dalam rumah. Dia kemudian memilih duduk di ruang tamu. Tak berapa lama, Nurmala datang. Wanita itu berjalan dengan tertatih-tatih. Alma spontan mendekati sang ibu dan memapah Nurmala.

Kesehatan Nurmala memang semakin menurun. Tubuhnya semakin kurus dengan wajah pucat dan sinar mata yang sudah semakin redup. Nurmala duduk dan tersenyum melihat Tamara datang.

"Ibu!" Tamara buru-buru mendekati sang ibu dan memeluknya dari samping. "Saras kangen Ibu," ucapnya persis seperti anak kecil.

"Ibu juga kangen," ucap Nurmala sambil mengelus lengan putrinya dengan sayang.

Melihat ibunya yang semakin tak berdaya, Tamara tentu semakin merasa terpuruk. Wanita itu melepaskan pelukannya dan melihat wajah ibunya yang sudah keriput. Mendadak bibirnya terkunci rapat.

Padahal di dalam kereta tadi, dia sudah memikirkan kalimat apa yang akan ia keluarkan di depan ibunya. Dia ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, sepertinya lebih baik jika dia mengurungkan niatnya. Menunda entah sampai kapan. Tamara memikirkan banyak kemungkinan buruk jika ia berkata jujur sekarang.

"Kamu ke sini sama siapa?" tanya Nurmala dengan mata memandang ke luar pintu rumah yang nampak sepi.

"Sendirian. Saras naik kereta, udah lama nggak naik kereta. Kangen, Bu," jawabnya sambil tersenyum lebar.

Nurmala menatap kedua bola mata anaknya. "Barang-barangmu di mana?" tanyanya lagi.

"Saras nggak bawa. Saras cuma semalam di sini." Keputusan mendadak yang tidak ia pikirkan sebelumnya.

Nurmala menghela napas dalam. "Besok, kamu kembali ke Jakarta di jemput sama Pras, kan?" tanya Nurmala yang sudah memperlihatkan wajah curiga.

Tamara menggeleng. "Saras udah bilang Mas Pras kalau Saras mau naik kereta. Mas Pras udah ngasih izin kok, Bu. Mungkin Mas Pras paham kehidupan Saras sebelum menikah. Dan setelah jadi istri, Mas Pras kasih fasilitas yang nggak pernah Saras dapat sebelumnya. Saras kangen jalan-jalan sendiri naik transportasi umum kayak dulu." Tamara membuat sebuah drama baru.

Wajahnya nampak terlihat senang. Dia memaksa senyumnya supaya terlihat sempurna di mata ibunya. Nurmala hanya mengangguk saja. Meski firasatnya mengatakan bahwa Tamara sedang memiliki masalah.

"Ya sudah! Ayo kita makan malam sama-sama. Kebetulan Ibu dan Alma baru mau makan malam. Alvin lagi nginap di rumah temannya. Katanya tugasnya lagi banyak," Nurmala kemudian berdiri dibantu oleh Tamara dan Alma.

Setelah makan malam, Tamara memutuskan untuk mandi dan masuk ke kamarnya. Beruntung karena masih banyak bajunya yang ada di rumah ibunya, jadi Tamara bisa mengganti bajunya yang sudah kotor. Ibu dan adiknya juga sudah masuk ke dalam kamar mereka.

Kini, Tamara sendirian di atas ranjangnya. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Ingatannya kembali memutar kejadian tadi sore. Pakaian suaminya bahkan sudah tak berbentuk. Tamara bisa membayangkan apa yang sudah dilakukan oleh suami dan juga wanita yang ia anggap sebagai teman itu.

Hanya sesak yang dirasakan Tamara. Dia sangat ingin mengatakan banyak hal tentang rasa sakitnya. Tapi kepada siapa? Wanita itu tidak memiliki tempat untuk berkeluh kesah. Dengan tubuh yang terasa lelah, dia berjalan menuju ke meja yang dulu selalu ia gunakan untuk belajar.

Wanita itu membuka laci dan menemukan buku agenda yang ia dapatkan dari kantor. Dia belum memakainya sama sekali. Kemudian, dia mengambil pena dan mulai menuliskan apa yang di rasakannya.

Kata mereka, menikahlah karena cinta. Dan gue memilih untuk menikah karena harta. Cinta dan harta sama pentingnya buat gue. Tapi seharusnya dari awal gue tahu, kalau ada cinta maka harta masih bisa didapatkan. Bodohnya gue memilih harta dan berharap bahwa cinta bisa gue dapatkan.

Nyatanya... Pras memilih untuk mendua. Dia bilang kalau dia cinta sama gue. Tapi bukan seperti cinta yang gue bayangkan.

Perlahan air mata kembali menggantung di pelupuk matanya. Tamara menelan ludah yang rasanya seperti sedang menelan batu. Sulit dan sakit.

Gue ragu... sangat ragu. Kalau dia benar-benar cinta seharusnya dia berkata jujur. Atau mungkin karena gue hamil anaknya jadi Pras memilih untuk terus berbohong dan menahan gue supaya tetap berdiri di sampingnya.

Tetes demi tetes air mata mulai jatuh ke atas kertas. Tamara menggigit bibir bawahnya. Rahangnya mulai terasa pegal karena dia menahan suaranya. Menangis tanpa suara adalah pilihan yang tepat baginya.

Perut gue semakin besar. Gue udah memilih untuk pergi dari hidup Pras dan Gangga selamanya. Mereka berdua sama brengseknya! Meskipun gue tahu kalau anak gue suatu saat pasti akan tanya siapa ayahnya. Tapi seenggaknya, gue bisa nyembuhin luka dengan menepi. Gue yakin ibu yang bahagia maka anaknya akan bahagia juga.

Siap nggak siap, gue harus tetap siap. Jadi orang tua tunggal buat anak gue dan tetap berjuang untuk keluarga gue. Udah saatnya gue menutup semua kisah sialan ini dan memulai semuanya kembali, seorang diri... seperti sebelumnya.

Tamara menutup buku tersebut dan berjalan kembali ke ranjangnya. Dia menatap ponsel yang tergeletak tak berdaya di atas ranjang itu. Dia sengaja mematikan ponselnya supaya tidak ada yang bisa menghubunginya.

Meski ia ragu kalau suaminya akan mencarinya. Wanita itu hanya berharap kalau langkah yang ia ambil adalah sebuah pilihan yang tepat. Dia tidak ingin menjadi pengemis cinta. Tamara ingin memotong lukanya dan membuangnya sejauh mungkin.

"Selamat tinggal, Pras."

_______________________________________________________________________________

Happy weekend!

Jangan lupa follow penulisnya yak :)

Credit :

Song by Rachel Platten - Begin again

TerberaiWhere stories live. Discover now