Terberai

1.7K 66 14
                                    

Fadli memeluk Tamara dan menghirup aroma tubuh wanita itu diam-diam. Hatinya terasa tenang. Tamara yang membalas pelukannya membuat Fadli tersenyum bahagia. Hal kecil yang bisa membuatnya bangkit lagi.

"Apa yang kalian lakukan?!"

Tamara terperanjat kaget seiring dengan pelukan Fadli yang terlepas. Fadli jelas sama kagetnya dengan Tamara. Dia bahkan sedikit mendorong tubuh wanita itu dan menoleh ke belakang di mana suara pintu dibuka dengan cara kasar berada. Dan di saat itulah, baik Fadli maupun Tamara bisa melihat wajah kecewa dari seorang pria yang sedang membawa kantong plastik berwarna putih di tangan kanannya.

Pras mendekat setelah meletakkan plastik itu di atas meja. Wajahnya tegang dengan rahang mengetat kuat. Kedua tangannya terkepal dengan kuat. Dia berdiri tepat di depan Fadli.

"Dia istri gue, brengsek!" Tanpa basa-basi, Pras memukul Fadli dengan seluruh tenaga yang ia miliki sampai pria itu jatuh ke belakang dan tubuhnya langsung menghantam lantai.

"Mas!" Tamara berteriak dengan napas tertahan.

"Apa?!" Nada suara Pras lebih tinggi dari sang istri yang kini terlihat panik.

"Jangan begini!" Tamara berusaha turun dari ranjangnya.

"Kamu mau balas aku dengan cara kayak gini?!" teriak Pras yang sudah hilang kendali.

Tamara melebarkan matanya tak percaya dengan apa yang ia dengar. Dia jelas paham apa yang dimaksud oleh Pras. Wanita itu kehilangan suara untuk membela dirinya sendiri.

"Anda salah paham!" Fadli berjalan mendekati Pras dan meraih bahu pria itu.

Tapi, Pras dengan cepat menepis tangan Fadli. "Nggak perlu ngomong formal setelah lo nyentuh istri gue!" Pras berjalan mundur perlahan dengan dada kembang kempis menahan sesak yang berhasil membuatnya hilang akal. "Kalau kamu mau kita pisah, aku akan kabulkan! Dan lo!" Dia menunjuk Fadli. "Lo bisa mendekati istri gue setelah kami cerai!"

"Mas!" Tamara turun dari ranjang dan berusaha berjalan mendekati sang suami.

Tapi Pras memilih berbalik dan berjalan cepat keluar dari ruang perawatan wanita itu. Saat dia membuka pintu ruangan, beberapa orang nampak mengintip kejadian itu. Pras segera pergi dari sana secepat yang ia bisa. Tangisnya sudah hampir pecah. Orang-orang yang melihatnya pasti akan merasa iba. Matanya sudah sangat merah dengan tangan yang masih saja terkepal kuat.

Nyatanya memukul wajah Fadli tak lantas membuatnya merasa lega sedikit saja. Semua rasa sabar dan juga sikap pengertiannya kepada sang istri menguap begitu saja. Pras hilang arah. Dia melajukan mobilnya meninggalkan kota Bogor tanpa terpikir olehnya untuk kembali ke rumah kontrakan demi mengambil barang-barangnya yang ada di sana.

Dia memukul kemudinya dengan tangis yang akhirnya tak bisa ia bendung lagi. "Brengsek!" teriaknya sampai otot-otot di lehernya menyembul dan tercetak jelas di bawah kulitnya.

Dia tidak bisa menyetir dengan kondisi hancur berantakan seperti itu. Pras menepikan mobilnya. Dia memukul kemudinya berulang kali seperti orang kesetanan.

"Apa gue harus mati dulu, hah?!" teriaknya sekuat tenaga.

Tangisnya terdengar meraung-raung. Napas pria itu tersendat-sendat dengan wajah bersimbah air mata. Pras menahan rasa sesak yang membuat dadanya seperti hendak meledak. Lukanya sangat parah. Kali ini, sangat parah.

"Gue bahkan udah berjuang," lanjutnya.

Dia terus meracau, meratapi apa yang baru saja ia hadapi. Beberapa kali ponselnya berdering dan menampilkan nama sang istri di layarnya. Dan beberapa kali juga Pras menolak panggilan tersebut. Tanpa pikir panjang dia segera memblokir semua akses yang memungkinkan Tamara menghubungi dirinya.

Pria itu masih menggenggam ponselnya. Dirinya diam selama beberapa saat. Dan seketika dia teringat janjinya. Jika Tamara tidak mengharapkan kehadirannya maka sebaiknya dia hadir bagi orang lain yang sedang berharap padanya.

Pras mencari nomor ponsel orang yang terlintas di kepalanya. Dia menempelkan benda pipih itu ke telinganya dan menunggu dengan sabar. Tepat ketika nada sambung berubah menjadi sebuah suara yang menyapa telinganya, hujan turun dengan cukup lebat. Pras menatap ke arah langit. Ternyata dia tidak sadar jika mendung sudah menggantung di atas sana.

"Aku pikir aku bisa ke sana. Urusanku di sini udah selesai. Maaf tadi aku pikir aku nggak akan sempat ke sana."

"Benarkah?" Wanita di seberang telepon itu terdengar senang. "Aku akan menunggumu. Hati-hati di jalan, ya!"

Pras menganggukkan kepalanya. "Hm! Sampai jumpa!" ucapnya.

Dia kemudian mematikan sambungan teleponnya dan meletakkan benda pipih itu di kursi samping. Setelahnya, dia kembali mengemudikan mobilnya dengan otak yang sedikit waras. Dia memilih menghindari sang istri yang sudah membuat hatinya hancur sampai dia meraung seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya.

****

Tamara menatap kepergian Pras dengan kaki gemetaran. Dia diam dengan mata kosong. Fadli segera mendekati wanita itu dan membawa Tamara supaya kembali duduk di ranjangnya. Wanita itu mengunci bibirnya dengan air mata yang terus turun tanpa bisa ia cegah.

Rasanya dia seperti sedang bermimpi. Kejadian mendadak dan serba di luar prediksinya sepertinya akan membuat sebuah babak baru dalam rumah tangganya. Dia tidak tahu harus menyalahkan siapa atas kemarahan Pras. Fadli? Ego suaminya? Atau kebodohannya sendiri?

"A', boleh tinggalin saya sendiri?" Akhirnya dia bersuara meski Fadli bisa mendengar getaran suara wanita itu.

Fadli mengerjapkan matanya dan mengangguk patuh. Dia tidak memiliki hak apapun di sana.

"Kalau butuh apa-apa hubungi aku, ya?" ucap Fadli.

"Hm." Tamara mengangguk tanpa berani menatap mata Fadli.

Pria itu lantas pergi dari ruang perawatan Tamara. Tanpa ia tahu, Tamara menangis sesenggukkan. Dia bingung harus berbuat apa. Kemudian dia meraih ponselnya dan segera menghubungi suaminya. Namun berkali-kali dia mencoba, Pras tak juga menerima panggilannya.

Tamara bahkan sampai menarik rambutnya sendiri karena rasa frustasi yang ia rasakan. Tidak hilang akal, Tamara juga mengirimkan sebuah pesan kepada suaminya setelah Pras kembali menolak panggilannya.

"Mas, balik dulu ke sini. Aku bisa jelasin semuanya. Mas salah paham," tulisnya.

Namun saat dia mengirimkan pesan itu, hanya ada tanda centang satu yang dilihatnya. Tamara bahkan sampai terus menatap layar ponselnya menunggu pesannya terkirim. Sampai akhirnya dia menyerah dan meletakkan ponselnya di atas nakas. Pras sepertinya memblokir aksesnya untuk bisa berkomunikasi dengan pria itu.

Pikirannya melayang tanpa persetujuannya. Dia ingat usaha Pras untuk meluluhkan hatinya. Dia ingat ucapannya di dalam hati kala itu. Dia yang meminta pria itu pergi dari hidupnya. Tapi, Tamara juga kembali ingat bahwa pagi tadi, dia baru saja merasakan nikmatnya diharapkan dan dicintai oleh suaminya.

Sesingkat itu waktu yang ia miliki bersama Pras. Dia takut menebak ke mana Pras pergi. Apakah akan selamanya atau hanya sementara? Tamara merasakan keganjilan di dalam hatinya. Dia kembali menangis tanpa suara. Entah kenapa, kali ini semuanya nampak benar-benar terberai di matanya.

"Mas, maaf..." kalimatnya terputus saat sesak kembali membuatnya kesulitan untuk mengucap kata.

_______________________________________________________________________________

Hai! Kisah Pras dan Tamara akan pindah ke karyakarsa setelah chapter ini, ya!

Terima kasih karena sudah mau mampir dan terus memberikan dukungan kepada saya. Jangan lupa untuk mengikuti beberapa chapter terakhir terberai di akun karyakarsa saya, ya :) (karyakarsa.com/angeelintang)

Untuk publish di karyakarsa kemungkinan akan saya lakukan besok atau lusa. Untuk kalian yang menunggu terberai publish di sana boleh mampir juga ke cerita saya yang berjudul Seluas Cakrawala.

Selamat berakhir pekan!

XOXO

TerberaiWhere stories live. Discover now