Sebaiknya Kita Berhenti

2K 117 7
                                    

"Tamara..." Wanita di depannya itu masih diam dan tidak menjawab permintaannya. "Nggak boleh, ya?" tanya Pras.

Tamara mengerjapkan matanya. "Kamu kenapa? Kenapa jadi manja kayak gini? Kamu aneh banget, Mas!" Tamara berdiri dan hendak pergi.

"Aku serius, Tamara!" Pras menarik tangan Tamara. "Aku butuh kamu," katanya pelan.

Tamara melebarkan mata kala dengan tiba-tiba Pras mencium bibirnya dengan sangat lembut. Napasnya tertahan, bahkan untuk memejamkan mata saja dia tidak berani. Dia takut jika waktu akan cepat berlalu. Tamara ingin lebih lama berada di dekapan Pras.

"Kenapa diam aja?" tanya Pras setelah memberi sedikit jarak pada Tamara.

Tamara tersenyum. "Bisakah kamu selalu seperti ini padaku, Mas?" tanya Tamara.

Pras diam. Beberapa detik kemudian dia tersenyum dan mengangguk. "Tentu aja! Aku akan selalu seperti ini," jawab Pras.

Pras pikir, jawabannya akan membuat Tamara dengan sukarela memeluk tubuhnya. Dia salah. Tamara kini menggigit bibirnya dengan wajah yang tiba-tiba terlihat sedih. Pras menghela napas dalam. Pras tahu, tidak akan mudah bagi istrinya yang sedang hamil itu untuk percaya dengan semua ucapannya.

Pras tersenyum. "Katakan padaku, apa yang membuat dahimu berkerut sebanyak ini?" tanya Pras sambil mengelus dahi Tamara dengan jempolnya.

Tamara menunduk seperti sedang menimbang. "Aku udah memendamnya sekuat yang aku bisa tapi sepertinya aku nggak tahan lagi kalau aku harus tetap diam dan menerima semua ini, Mas," ucap Tamara.

Pras mengangguk mencoba memahami apa yang hendak istrinya itu minta darinya. "Kamu bisa mengatakan apapun padaku tentang hal-hal yang mungkin membuatmu ragu dan nggak percaya padaku!" ucap Pras.

Tamara menggigit bibirnya. Pras mengawasi gerakan Tamara yang kini sedang menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Pria itu mengusap bibir istrinya dengan gemas.

"Jangan suka gigit bibir di depan aku!" ucap Pras.

Tamara hanya mengerutkan kening.

"Aku nggak bisa nahan diri kalau kamu lagi gigit bibir kayak gitu." Pras terkekeh.

Sungguh! Ucapannya juga terdengar aneh di telinganya sendiri. Pras tahu kini Tamara pasti bingung harus berkata apa padanya. Wanita itu terlihat terkejut dengan ucapan suaminya yang terdengar sangat lucu. Tamara bahkan sedikit ragu bahwa yang di depannya adalah Pras, suaminya yang menyebalkan.

"Kamu aneh banget! Memangnya ada apa dengan bibirku? Kenapa kamu jadi mesum kayak gini, Mas?" Tamara menempelkan punggung tangannya pada kening Pras.

Pras tertawa. "Aku hanya demam bukan gila. Nggak ada hubungannya suhu tubuhku dengan ucapanku tadi, Sayang." Pras meraih tangan Tamara dan menggenggamnya erat.

Pras menghembuskan napas dan menatap istrinya dengan dalam. "Sekarang, ayo katakan padaku! Apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu?" kata Pras.

Tamara kemudian mengangguk. Dia mengambil ponsel yang ada di atas nakas. Tangan wanita itu tiba-tiba terasa dingin. Dia benar-benar tidak siap dengan apa yang akan terjadi selanjutnya pada hubungannya dengan Pras. Tapi, dia tidak bisa diam saja dan membiarkan dirinya sedih sementara Pras tiba-tiba berubah baik kepadanya.

"Ini!" Tamara menunjukkan layar ponselnya kepada Pras.

Mata Pras membeliak. Bibirnya sedikit terbuka dengan jantung yang tiba-tiba bergemuruh hebat. Pras menatap istrinya yang kini hanya diam dengan wajah dinginnya. Pras merebut ponsel itu dan melihat semua foto yang ada di galeri ponsel istrinya dengan wajah tidak percaya.

"Sialan!" geramnya menahan amarah.

"Ada apa dengan foto itu?" tanya Tamara dengan suara lemah. "Kamu mau memberikan pembelaan apa untuk diri kamu?" Tamara menahan diri untuk tidak menampar pipi Pras.

"Sejak kapan kamu mendapatkan foto-foto ini?" tanya Pras.

Tamara menelan salivanya dengan berat hati. "Kamu nggak mau jawab dulu pertanyaan dari aku? Ada apa dengan foto itu? Apa benar-benar terjadi sesuatu antara kamu dan juga wanita yang wajahnya sengaja di tutupi sticker itu?" suara Tamara terdengar bergetar.

Pras mengeratkan rahangnya dengan kuat. Dia tidak menyangka bahwa hal seperti ini, yang dia pikir hanya ada di film-film ternyata terjadi pada dirinya. Pras memegang tangan Tamara karena takut wanita itu kabur di saat dirinya belum sempat menjelaskan apapun padanya.

"Aku bisa menjelaskan semuanya padamu," kata Pras.

Tamara yang semula menundukkan kepalanya karena dadanya yang terasa seperti di hantam batu kini mendongak dengan genangan air mata yang siap meluncur kapan saja. "Katakan semuanya padaku, Mas!" perintahnya sambil menahan tangis.

"Aku nggak tahu kenapa aku bisa telanjang seperti yang ada di foto tapi yang jelas aku sama sekali nggak pernah melakukan hal seperti yang kamu bayangkan, Tamara." Pras mengeratkan genggaman tangannya pada Tamara. "Aku berani sumpah kalau saat itu aku lagi nggak sadar, aku pingsan dan aku nggak tahu kenapa di foto itu aku terlihat benar-benar seperti sedang berselingkuh di belakang kamu," suara Pras terdengar frustasi.

Tamara meneteskan air mata yang sejak tadi sudah menggantung di pelupuk mata. Pras benar-benar ingin bunuh diri kala melihat istrinya kembali menangis seperti itu. Pria itu menahan semua rasa nyeri saat Tamara terlihat kesulitan untuk menghentikan tangisnya.

"Hei, Sayang!" Pras menangkup kedua pipi Tamara ketika wanita itu memilih menundukkan kepalanya. "Aku nggak bohong, aku mohon percaya padaku, ya? Aku nggak selingkuh, Sayang." Pras berusaha merayu istrinya.

Demi apapun, kini Pras tengah ketakutan setengah mati. Dia tidak berani membayangkan kalau Tamara memutuskan pergi dari hidupnya. Dia baru saja ingin memulai banyak hal baru dengan Tamara dan kini masalah yang bisa dibilang semakin memperkeruh suasana tengah timbul ke permukaan.

"Siapa wanita itu?" tanya Tamara.

Pras bungkam. Masalahnya akan semakin sulit jika Tamara sampai tahu siapa wanita yang ada di dalam foto itu. Semuanya akan semakin runyam dan Pras semakin tidak yakin apakah dia bisa membuat Tamara tetap bertahan dengannya.

"Aku nggak tahu, Sayang." Pras menggelengkan kepalanya.

Tamara terkekeh tidak percaya. "Kamu nggak perlu menutupi wanita itu! Lagipula kamu dengan mudahnya bilang kalau kamu nggak selingkuh di belakang aku padahal jelas-jelas kamu datang menemui wanita itu di saat kita sedang bertengkar," ucap Tamara.

"Dia..." Pras kembali menggelengkan kepalanya. "Dia teman dari temanku, aku hanya ke rumah salah satu temanku dan ternyata di sana ada seorang wanita yang sedang menginap dan aku tidak tahu kalau wanita itu ternyata sangat usil," kata Pras.

Tamara tersenyum miris. "Tatap mata aku!" titah wanita itu tanpa mau dibantah.

Pras mendongak dan rasanya dia hampir mati kalau saja Tamara tidak tiba-tiba memeluknya seperti saat itu. Pras berkali-kali mengatakan maaf pada Tamara di dalam hati. Ada lega yang menelusup di dalam dada Pras. Pria itu membalas pelukan Tamara dengan erat.

"Apa kamu mencintaiku, Mas?" tanya Tamara dengan pelan.

Pras mengangguk tanpa berpikir dua kali. "Ya, aku cinta kamu dan maaf karena aku baru sadar kalau selama ini perasaanku tumbuh begitu subur sampai rasanya tiap hari aku hampir mati karena menahan diri untuk nggak mengakuinya di depan kamu," ucap Pras.

"Apa aku kelihatan sangat bodoh di matamu, Mas?"

"Aku nggak bisa begitu aja percaya padamu, Mas." Tamara melerai pelukannya. "Sebaiknya kita berhenti dulu, ya?" Tamara tersenyum pedih.

TerberaiWhere stories live. Discover now