Aku Juga Bisa Melakukannya

1.1K 65 1
                                    

Tamara merebahkan tubuhnya yang terasa lelah di ranjang empuk berukuran besar itu. Tamara menatap langit-langit kamar yang kini terlihat remang-remang karena lampu kamar yang sudah dia matikan.

"Tenang, gue pasti bisa melakukan yang terbaik malam ini," bisik Tamara kepada dirinya sendiri.

Tamara menoleh ke arah pintu kamar mandi yang dibuka dan ditutup oleh Pras. Mata Tamara terus mengamati pria yang kini sudah sah menjadi suaminya itu. Tubuh atletis, wajah tampan dan tatapan pria itu begitu sempurna.

"Bagaimana Karin bisa berselingkuh dari Mas Pras? Bodoh!" batin Tamara.

"Kenapa kamu mengawasiku terus?" Pras memakai kaosnya.

Rambutnya masih sedikit basah dan hal itu justru membuat Tamara menelan salivanya dengan susah payah. "Ini kali pertama aku lihat kamu selesai mandi," jawab Tamara dengan polosnya.

Pras tertawa. "Aku ganteng, ya?" tanya pria itu.

Pras berjalan menuju ke arah ranjang dan duduk di sisi kosong sebelah Tamara. Pria itu merebahkan tubuhnya menghadap Tamara yang masih saja menatap Pras dengan intens.

"Kamu emang ganteng tapi sayangnya kamu nggak suka sama aku," Tamara terkekeh mendengar ucapannya sendiri.

Pras ikut terkekeh. "Kalau begitu, berusahalah!" Pras memeluk tubuh Tamara yang langsung menegang.

"Mas?" Tamara bersuara dengan lirih.

Wajah gadis itu sudah berada di dalam dekapan hangat Pras.

"Hm, diamlah! Aku sedang memeluk istriku," kata Pras dengan mata terpejam.

Tamara tersenyum dan balas memeluk Pras. Gadis itu menghirup aroma tubuh Pras yang berbau sabun khas pria. Tamara dapat mendengar degupan jantung Pras yang merdu di telinganya.

Pras mengurai pelukan mereka dan dengan gerakan tiba-tiba dia menindih tubuh Tamara. "Aku ingin meminta hakku malam ini, apa boleh?" tanya Pras dengan mata berkabut.

Tamara hanya mampu mengangguk. Dia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan Pras dengan benar. Tamara memejamkan matanya kala bibir Pras sudah mencium bibirnya. Gadis itu merasa kakinya lemas tidak bertenaga hanya dengan ciuman Pras yang menjadi candu untuknya.

Dan malam itu, Tamara telah menyerahkan seluruh hidupnya kepada Pras. Pria yang kini resmi menjadi suaminya baik di mata hukum dan agama. Tamara di bawa Pras terbang tinggi. Tamara merasa bahagia karena Pras melakukannya dengan sangat lembut dan hati-hati.

"Kamu luar biasa, Tamara." Pras menatap wajah istrinya yang terlihat kelelahan. "Terima kasih."

Satu kalimat penutup yang akan Tamara ingat seumur hidupnya.

***

"Kamu sudah bangun?" Tamara segera melepaskan celemek yang menempel di tubuhnya.

Pras mengangguk. "Aku ada meeting pagi ini," jawab Pras.

"Oh begitu! Aku udah masak bubur ayam. Sarapan dulu, ya?" kata Tamara.

"Aku sarapan di kantor aja. Melly sudah membelikanku bubur ayam juga," jawab Pras yang kemudian meminum kopinya dengan tergesa-gesa.

Tamara menelan semua rasa kecewa akibat penolakan dari Pras. Wanita itu tidak mengatakan apapun.

"Aku pergi dulu!" kata Pras sambil berlalu begitu saja dari hadapan Tamara.

Tamara duduk dengan perasaan campur aduk di dadanya. Satu minggu menjadi istri Pras, Tamara mulai hafal dengan kebiasaan pria itu yang sering melewatkan sarapannya jika ada jadwal meeting pada pukul sembilan pagi. Pras selalu menolak bekal yang di buat oleh Tamara karena merasa malu jika harus memakan bekal di kantor.

"Seperti anak SD," itulah yang di katakan oleh Pras kepada Tamara.

Wanita itu kemudian mulai memakan sarapannya seorang diri. Rasa sepi begitu terasa di rumah bergaya minimalis itu. Helaan napas keluar dari mulut Tamara. Dia butuh keluar rumah setelah satu minggu hanya mendekam seperti seorang tahanan.

"Gue harus minta izin Mas Pras, kan?" gumam Tamara.

Dia kemudian mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan untuk suaminya tersebut.

"Hari ini aku ingin keluar sebentar untuk membeli beberapa barang."

Tamara segera mengirim pesan singkat itu ke nomor Pras. Dia berharap Pras memiliki waktu luang untuk membaca dan membalas pesannya. Setidaknya, Tamara tahu jika Pras sedikit memiliki perhatian kepadanya.

Selesai sarapan, Tamara bergegas membersihkan rumah. Di sana memang ada seorang pembantu yang akan datang satu minggu dua kali untuk membersihkan rumah secara keseluruhan. Tamara yang meminta. Dia bisa mati bosan jika tidak melakukan sesuatu di rumah itu.

"Mas Pras kebiasaan banget kalau naruh baju kotor sembarangan begini," gerutu Tamara yang kini sudah mengambil baju Pras dari meja wastafel kamar mandi.

Tamara tersenyum kala terlintas pikiran untuk mencium aroma tubuh Pras yang mungkin masih menempel pada baju tersebut. "Gue udah gila, baru satu kali Mas Pras nyetuh gue dan sekarang gue ingin di peluk sama dia." Tamara membaui baju berwarna putih yang di pegangnya. "Kayaknya gue kecanduan, deh!" gerutu Tamara sambil geleng-geleng kepala.

***

Tamara berhenti di sebuah kedai kopi tidak jauh dari lokasi mall di mana dirinya tadi membeli sepasang piyama untuknya dan juga Pras. Wanita itu memesan secangkir mocca dan juga sepotong cheese cake. Matanya menagamati seluruh ruangan yang tidak terlalu besar tersebut sambil menganggukkan kepalanya.

"Desainnya bagus," batinnya.

Mata Tamara tiba-tiba terbelalak kala menangkap sosok wanita hamil yang terlihat cantik dalam balutan dress berwarna putih gading. Tamara menelan rasa perih kala di samping wanita itu ada Pras yang membawakan beberapa tas belanjaan beberapa merk terkenal yang Tamara tahu.

Kue di depan Tamara sudah habis. Mocca di cangkirnya hanya tinggal seperempat cangkir saja. "Mungkin udah saatnya gue pergi dari sini," gumam Tamara lirih.

Dia kemudian bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu keluar. Langkahnya terhenti kala sosok Pras tengah berbalik badan dan membulatkan matanya.

"Tamara," gumam pria itu dengan nada pelan.

Tamara berusaha menjaga ekspresi wajahnya. Dia menelan salivanya dengan cepat. Membayar setelah memesan menjadi aturan dari cafe tersebut, jadi sekarang Tamara bisa bebas untuk keluar dari tempat yang tadinya terasa nyaman tapi kini berubah menyesakkan.

"Mas?" sapa Tamara basa-basi dengan senyuman lebarnya. "Nggak kerja?" tanyanya.

Pras menggaruk pelipisnya sejenak. Karin menoleh ke belakang dan wajahnya menyiratkan rasa terkejut setelah mendapati Tamara berada di belakang mereka berdua. Sesaat kemudian, Karin memberikan senyuman mengejek kepada Tamara.

"Setelah ini, aku akan kembali ke kantor," jawab Pras.

Tamara hanya mengangguk dan menatap mata Pras dengan sorot kecewa. "Kalau begitu aku pergi dulu, permisi." Tamara kemudian melangkahkan kaki keluar dari kafe tersebut.

"Pembohong," batin Tamara ngilu.

Tamara terus berjalan menyusuri trotoar. Dia tidak tahu harus pergi ke mana. Rasanya dia enggan untuk kembali ke rumah.

"Ras?"

Tamara menoleh ke belakang dan mendapati Gangga yang berdiri di sebelah mobil berwarna hitam. "Gangga? Apa yang lo lakukan di sini?"tanya Tamara dengan mata melebar.

"Mau beli kopi," jawab Gangga sambil tersenyum.

"Lo ganti mobil?" tanya Tamara sambil melangkah mendekat ke arah Gangga.

"Hm," jawab Gangga seraya mengangguk. "Lo mau ke mana?" tanya Gangga.

"Nggak tahu," Tamara tersenyum tipis.

Gangga tahu ada yang tidak beres dengan wanita yang masih menjadi ratu di hatinya. "Ayo ikut gue!" ajak Gangga.

Tanpa berpikir dua kali, Tamara mengangguk dan masuk ke dalam mobil milik Gangga. Wanita berperawakan tinggi dan langsing itu sempat menoleh sebentar ke arah kafe. Dia menangkap sosok Pras yang berdiri di balik jendela kafe dan tengah mengawasinya.

"Gue juga bisa, Mas!" batin Tamara mencemooh.

TerberaiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora