Kita Berbeda

1K 69 0
                                    

Pras merasa egonya tersentil mendengar bahwa Tamara jelas-jelas menolaknya di luar urusan kantor karena Pras adalah pria yang tidak bisa dipercaya oleh Tamara lagi.

"Oke, kalau itu mau kamu. Tapi, maaf saya sepertinya punya ide lain yang lebih untuk kita," ucap Pras mantap.

"Maksud anda?" Tamara mengernyit bingung.

"Jadi kekasih saya Tamara dan saya janji nggak akan melupakan kamu seperti kemarin lagi, kamu bisa kembali mempercayai saya karena saya memang bukan tipe pria yang suka membuat kecewa pasangan saya," jelas Pras panjang lebar.

Mata Tamara membulat lucu. Tamara merasa Pras aneh. Dia tidak ingin termakan oleh rayuan Pras. Dia hanya tidak mau menaruh harapan kepada yang bukan seharusnya. Dia merasa tidak selevel dengan Pras dan itu bisa saja menjadi batu sandungan untuknya kelak.

"Maaf, Pak. Saya nggak bisa," tolak Tamara dengan mata penuh keseriusan.

"Apa?!" Pras menaikkan nadanya satu oktaf.

Pras mendengus. "Kamu menolak saya?!" Pras bertanya.

"Maaf, Pak. Tapi saya rasa saya berhak mengatakan hal yang seharusnya saya katakan. Kita berbeda dan anda ingin saya menjadi pacar anda karena anda hanya merasa kasihan sesaat kepada saya," kata Tamara penuh keyakinan meskipun dalam hatinya terasa ada yang mencubit.

"Saya nggak suka penolakan, Tamara," Pras berkata dengan tenang namun terasa sangat mengintimidasi Tamara.

"Dan saya berhak untuk menolak ajakan anda karena saya juga nggak mau jadi pelakor," kata Tamara lagi.

"Pelakor?" ulang Pras.

"Ya, pelakor," jawab Tamara. "Anda punya kekasih, kan? Jadi, saya pikir saya akan jadi orang paling jahat jika merebut anda dari dia," kata Tamara mengingat betapa cantiknya sosok wanita yang bersama Pras malam itu.

"Kamu cemburu?" Pras menyeringai.

"Eh? Enggak! Bukan gitu, Pak. Saya beneran nggak mau jadi orang ketiga, saya takut kena karma," jawab Tamara.

"Saya akan belajar mencintai kamu kalau itu yang kamu takutkan, Tamara," ucap Pras tenang.

"Dan apa jaminan yang paling baik untuk saya? Maaf tapi saya tidak mau menaruh harapan tinggi kepada anda karena saya takut kecewa lagi seperti malam kemarin. Jadi anda tidak perlu memberikan harapan kepada saya seperti ini." Tamara kemudian berdiri dari duduknya. "Saya permisi!" Tamara kemudian melenggang pergi.

Pras mematung di tempatnya duduk. Tamara menolaknya? Pras menyeringai.

"Kamu lumayan menarik, Tamara. Aku bakal bikin kamu cinta mati sama aku setelah ini," Pras membatin.

***

Tamara berjalan keluar ruangan Pras dengan hati yang tidak menentu. Sejujurnya ketika menyadari apa yang tadi dikatakannya di dalam sana membuat Tamara kalang kabut. Dia takut dipecat. Tapi, satu sisi Tamara tidak ingin dianggap mainan oleh Pras.

"Nggak, Pak Pras nggak akan pecat gue, pasti dia bakal nyari wanita yang lebih daripada gue," batin Tamara.

Tamara kemudian mencoba menyibukkan diri dengan laporan-laporan yang sudah ada di depannya. Dia tidak akan terpancing dengan godaan dari Pras. Dia tahu posisinya tidak sebanding dengan Pras.

Ponsel pintar Tamara berbunyi. Gadis itu segera menghentikan kegiatannya dalam membuat laporan dan segera meraih ponsel tersebut. Kedua bibirnya tertarik ke atas. Telepon penting dari keluarga kecilnya.

***

Tamara pulang ke Bandung begitu jam kerjanya habis. Dirinya meminta tolong kepada Gangga untuk diantar ke Bandung dan kebetulan pria itu juga sedang ada keperluan di rumah orang tuanya.

Dan disinilah Tamara berada. Di teras depan rumah bersama ibunya yang menatap ke halaman rumah dengan pandangan bingung.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Bu?" Tamara menatap ibunya dari samping.

Ibunya menoleh. "Pagi tadi ada orang datang ke sini sambil marah-marah dan berkata utang bapakmu sudah hampir jatuh tempo. Empat ratus juta bukan angka main-main, nominalnya besar sekali, Nak." Nurmala menghela napas berat.

"Kenapa tiba-tiba seperti ini?!" Tamara melebarkan matanya. "Saras nggak pernah tahu kalau bapak punya utang sebanyak itu." Tamara memejamkan matanya.

"Ibu juga nggak tahu kalau utang itu ternyata belum lunas." Mata Nurmala memerah. "Seingat ibu, dulu bapak pernah memulai sebuah usaha tapi kena tipu rekanannya, ibu yakin utang itu untuk usaha yang gagal itu, ibu pikir sudah tidak ada masalah karena bapakmu tidak pernah membahasnya dengan ibu." Nurmala menyusut air mata yang hampir menetes.

"Terus bagaimana, Bu?" tanya Tamara dengan pandangan nanar.

"Bagaimana kalau kita pindah aja? Kita bisa mengontrak rumah, nggak apa-apa yang penting utang ayahmu lunas, Nak." Ucap Nurmala dengan nada lelah.

"Enggak! Saras akan cari cara lain. Pokoknya Ibu nggak perlu mikirin apa-apa, biar Saras yang cari jalan keluar, Bu," kata Tamara penuh keyakinan.

"Rumah beserta isinya akan disita karena memang udah dijadikan jaminan sama bapakmu dulu, ibu baru sadar waktu mereka menunjukkan sertifikat tanah dan rumah ini." Helaan napas berat kembali terdengar di telinga Tamara. "Lagipula ke mana kamu akan cari uang sebanyak itu?" Nurmala menatap putrinya. "Kamu udah capek kerja buat ibu dan kedua adikmu selama ini, gaji kamu nggak cukup kalau harus nyicil utang bapakmu yang udah mau jatuh tempo itu." Nurmala bagai jatuh tertimpa tangga, ditinggal suaminya pergi dan sekarang dirinya harus mengalami ini semua.

"Berapa tenggang waktunya?" Tamara menelan salivanya sendiri. "Saras akan mengusahakannya, Bu," lanjut Tamara.

"Dua minggu waktu yang mereka kasih ke kita untuk melunasi utang itu," jawab Nurmala tercekat. "Waktu yang sangat singkat, Nak." Nurmala menggelengkan kepalanya.

"Ibu tenang aja." Tamara tersenyum dengan mata berkaca-kaca. "Saras pasti bisa cari uang itu, sekarang kita istirahat aja, Bu." Tamara menyentuh punggung tangan ibunya. "Saras besok pagi juga harus kembali ke Jakarta dengan Gangga." Kemudian Tamara segera berdiri dan meninggalkan Nurmala yang masih menatap punggung putrinya.

"Maafkan ibu dan bapakmu, Nak," Nurmala bergumam lirih. "Ini semua kesalahan kami tapi kamu yang menanggung semuanya." Air mata menetes di pipi Nurmala yang tirus.

Nurmala menundukkan kepalanya. Tangannya mengusap matanya yang terasa perih.

"Seharusnya kamu nggak perlu jadi tulang punggung keluarga seperti ini," wanita yang menjadi orang tua tunggal bagi ketiga anaknya itu membatin pedih.

Nurmala merasa gagal menjadi seorang ibu yang harusnya bisa memenuhi kebutuhan anak-anaknya. "Seandainya bapakmu masih ada," Nurmala masih terus bermonolog di dalam hati.

Dia memejamkan matanya sejenak untuk mengusir segala sesak yang semakin menghimpit dadanya. Ingatan ketika suaminya tiada menyeruak begitu saja, kehidupan mereka terasa semakin berat. Hasil berjualan yang setiap hari dia lakukan tidak bisa menutup semua kebutuhan mereka. Padahal Nurmala ingin biaya pendidikan kedua adik Tamara, dia saja yang menanggung namun dia seperti tidak berdaya. Hanya Tamara harapan satu-satunya untuk kedua anaknya yang lain.

Nurmala bangkit berdiri dari duduknya dan berjalan memasuki kamar. Dia meringis sambil memegang kepalanya. Nurmala mencoba memejamkan mata seraya menahan pusing yang semakin mendera. Setelah beberapa waktu, Nurmala terlelap dalam tidurnya. 

TerberaiWhere stories live. Discover now