Rasa Bimbang

1.3K 88 9
                                    

Tamara sedang sibuk berkutat di dapur. Dia hendak menyiapkan sarapan untuk suaminya dan juga dirinya sendiri. Pras masih tertidur dengan lelap. Tamara tidak tega membangunkan suaminya itu karena hari memang masih sangat pagi.

Setelah dia rasa semuanya sudah selesai, Tamara memandang takjub menu sarapan yang dirinya buat. Soto ayam dengan tempe goreng. Tidak ketinggalan, Tamara juga membuat sambal sebagai pelengkap serta menyediakan kerupuk.

"Sepertinya gue harus segera buka usaha," kata Tamara sambil tersenyum puas.

"Usaha apa?"

Tamara menoleh ke belakang. Pras terlihat sudah sangat rapi dengan kemeja berwarna putih dan juga dasi serta jas di tangan kanannya. Tamara tersenyum lebar menatap suaminya yang terlihat tampan dan juga rapi itu.

"Aku ingin buka restoran sederhana yang menyajikan masakan Indonesia," jawabnya.

Pras duduk dan menatap soto ayam yang terlihat sangat menggugah selera itu. "Kamu masak soto ayam pagi ini?" tanya Pras.

"Hm!" Tamara mengangguk dan mulai mengambilkan makanan untuk suaminya. "Bagaimana menurutmu tentang ideku tadi?" tanya Tamara.

Pras meletakkan gelasnya setelah meminum air putih di dalamnya. Dia menatap istrinya yang pagi itu terlihat lebih ceria setelah apa yang mereka berdua lewati. Semuanya terasa baik-baik saja dan rumah tangga mereka terasa normal seperti kebanyakan orang.

"Kenapa kamu nggak mengelola satu restoran milik mama?" tanya Pras.

Tamara memajukan bibirnya. "Aku ingin memulai semuanya dari nol dan aku juga membutuhkan dukungan darimu," katanya.

"Baiklah! Terserah kamu tapi jangan pernah membuat anakku ikut kelelahan karena kegiatanmu!" kata Pras pada akhirnya.

Tamara terkekeh pelan. "Iya, aku janji akan tetap menjaga anak kita dengan baik," sahut Tamara dengan riang.

Pras mengulum senyum. Kalimat yang dikatakan oleh Tamara terasa sangat menyenangkan untuk dia dengar. Pras kemudian mulai memakan sarapannya dengan lahap. Tamara yang melihat bagaimana Pras begitu menikmati masakannya seolah lupa bahwa ada banyak masalah yang belum bisa mereka selesaikan dengan baik.

Tamara memilih menutup mulut dan matanya. Dia ingin menjalani hidup yang tenang sebentar saja. Karena dia sadar, menjadi istri Pras tidaklah mudah. Setelah ini, Tamara bahkan tidak tahu apakah dirinya benar-benar bisa melepaskan diri dari pesona Pras.

***

"Kamu melupakan janjimu!" teriak Melly setelah wanita itu mengunci pintu ruangan Pras.

Pras yang sedang sibuk mengerjakan berbagai laporan di atas mejanya mendongak dan menatap wajah marah yang ditunjukkan oleh Melly.

"Kamu baru datang ke kantor?" tanya Pras yang kemudian berdiri.

Melly mengusap matanya yang sudah berair. "Semalam aku menunggumu, aku bahkan terus menangis dan pagi tadi aku kesulitan untuk sekedar bangun dari ranjangku," kata Melly.

"Apa perutmu terasa sakit lagi?" tanya Pras yang tiba-tiba terlihat khawatir melihat wajah pucat Melly.

"Aku baik-baik aja!" jawab wanita itu.

Melly kemudian menghambur ke pelukan Pras tanpa tahu malu. Pras yang tidak siap hanya bisa mematung pada awalnya. Sampai dia mendengar isakan kecil lolos dari bibir Melly, Pras akhirnya membalas pelukan sekertarisnya itu.

Rasa bimbang kembali mendera Pras tanpa ampun. "Maaf, Tamara!" jerit hatinya.

"Kamu tidak datang semalam, ada apa?" tanya Melly yang masih menyusupkan wajahnya ke dalam dada Pras.

"Melly, bisakah kamu melepaskan pelukanmu dulu?" pinta Pras sambil berusaha melerai tangan Melly yang membelit tubuhnya dengan posesif.

Melly menggelengkan kepalanya. "Enggak, aku nggak mau lepasin kamu," kata Melly.

"Aku udah punya istri dan kita sedang berada di dalam kantor, di ruanganku. Apa kata orang kalau mereka sampai tahu kita berpelukan kayak gini?" tanya Pras.

Melly menggelengkan kepala dan semakin mengeratkan pelukannya. "Aku udah banyak mengalah sama Tamara, aku nggak mau mengalah lagi, Pras!" katanya.

Pras menghela napas lelah. "Aku bahkan nggak tahu bagaimana perasaanku pada Tamara, jadi bisakah kita hanya sekedar berteman?" tanya Pras.

Tubuh Melly terasa melemas di pelukan Pras. "Melly?" Pras memanggil wanita yang sudah jatuh pingsan itu dengan wajah cemas.

Dia kemudian menggendong Melly dan segera berlari keluar ruangannya. "Melly, aku mohon jangan seperti ini!" bisiknya pedih.

***

Tamara mematut dirinya di depan cermin. Dia kembali memoleskan lipstick berwarna soft pink ke bibirnya. Dia kemudian tersenyum dan meraih tas kecilnya yang ada di atas meja rias. Hari ini dia akan pergi ke rumah orang tua Pras.

Mama mertuanya menelepon dan berkata kalau beliau merindukan Tamara dan Pras. Tamara tidak tahu harus bereaksi seperti apa karena mendapatkan mertua yang sangat baik dan tulus kepadanya.

Tiba-tiba rasa bersalah bercokol di hati Tamara. Pernikahannya dengan Pras hanya berlandaskan kepentingan masing-masing pihak. Meskipun pada akhirnya Tamara mencintai Pras tapi tidak untuk suaminya itu.

Tamara bahkan tidak tahu akan berakhir seperti apa pernikahannya itu. Dia sudah membayangkan wajah kecewa orang tua Pras dan juga ibunya sendiri. Rasa sedih membuat mata Tamara tiba-tiba terasa sedikit buram. Dia berusaha tersenyum dan menyeka sudut-sudut matanya.

Setelah sampai di depan rumah megah milik keluarga suaminya itu, Tamara segera turun dari taksi yang ditumpanginya. Dia berjalan memasuki halaman rumah sambil merogoh tas guna mencari ponselnya.

"Pras belum membalas pesan gue?" katanya ketika dia berhenti dan memeriksa ponselnya. "Awas saja kalau dia sampai terlambat atau nggak datang ke sini!" kata Tamara kesal.

"Menantu Mama sudah datang!"

Tamara mendongak dan menemukan Vena yang sedang berdiri di depan pintu masuk sambil tersenyum lebar kepadanya. Tamara segera memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berjalan cepat ke arah Vena.

"Mama!" Tamara segera memeluk wanita yang sore itu mengenakan baju terusan berwarna abu-abu.

"Bagaimana keadaan cucu Mama?" tanya Vena setelah pelukan mereka terlepas.

Tamara merasa terharu melihat Vena mengelus perutnya dengan sayang. "Dia baik, Ma." Tamara tersenyum.

"Ayo masuk! Mama masak makanan kesukaan kamu dan Pras," kata Vena yang kemudian membawa Tamara untuk masuk ke dalam rumah.

Tamara yang sudah sah menjadi menantu Setiaji dan Vena masih saja merasa kagum dengan rumah megah milik mertuanya itu. Wanita itu sampai di ruang keluarga yang terlihat sepi.

"Papa ke mana, Ma?" tanya Tamara setelah dia duduk di sofa yang empuk.

"Papa masih di luar, sebentar lagi pasti pulang. Oh, ya..." Vena terlihat membuka toples kaca di atas meja. "Pras bisa ke sini, kan?" tanyanya.

Tamara mengangguk. "Bisa, Ma."

"Baguslah! Coba makan kue nastar buatan Mama!" kata Vena.

Tamara mengangguk dan mengambil satu kue yang diatasnya ditaburi keju itu kemudian memakannya. "Enak banget, Ma!" seru Tamara.

Vena terkekeh. "Mama senang kalau hasilnya enak," katanya.

Ketika Tamara dan Vena terlibat obrolan ringan mengenai restoran dan juga kehamilan pertama yang dialami Tamara, tiba-tiba ponsel wanita itu berbunyi. Dia kemudian mengambil ponselnya dan menerima telepon dari suaminya itu.

"Maaf, sepertinya aku nggak bisa ke rumah Mama."

________________________________________________________________________________

Pras beneran nyebelin, ya? Btw, kalian tim mana?

Pras - Tamara

Pras - Melly

Gangga - Tamara

Enjoy this chapter! :)

TerberaiWhere stories live. Discover now