Tidak Ada Emosi

775 98 3
                                    

Selamat membaca! Jangan lupa tinggalkan voment kalian :)

________________________________________________________________________________

Pras memandang sebuah rumah sederhana yang ada di dalam gang. Tangannya terkepal sempurna. Setelah berbincang dengan Alvin di teras rumah, Pras tidak mau mengulur waktu. Dia segera pergi ke kota hujan, tempat di mana istrinya berada. Setidaknya itu yang dikatakan oleh Alvin kepadanya. Meski ia sendiri tidak yakin kalau Tamara benar-benar ada di sana.

"Kak Pras bisa segera ke sana siang ini. Aku baru aja dapat pesan kalau Kak Saras hari ini di rumah. Tapi..." Alvin menatap Pras yang kini melebarkan matanya dengan otot-otot di wajahnya yang menegang. "Kalau sekali lagi Kak Pras bikin Kakakku menangis, aku nggak akan kasih Kak Pras kesempatan lain," lanjut pemuda itu.

Pras sudah berjanji pada Alvin bahwa dia akan membawa Tamara pulang ke rumah mereka di Jakarta. Dia sudah berjanji akan menjaga kakak kandung dari pemuda itu. Dan di sinilah Pras berada. Dia berdiri di depan pintu rumah kontrakan Tamara dengan jantung berdebar hebat.

Rasanya dia seperti sedang bermimpi. Hari ini dia akan berjumpa dengan sang istri. Dia bahkan tidak peduli kalau hari sudah gelap. Ya, Pras terjebak macet saat menuju ke Bogor. Salahnya yang terlalu senang sampai dia tidak berpikir untuk memilih melewati tol Cipularang. Tapi karena harapannya untuk bertemu sang istri begitu besar, dia tidak mau menyerah.

Dengan tangan sedikit gemetar dan perasaan gugup, Pras mengetuk pintu di depannya. Dia sengaja tidak memanggil nama si penghuni rumah karena takut kalau istrinya justru tidak mau membuka pintu karena mengenali suaranya.

Pras berdiri di sebelah kursi plastik yang ada di teras rumah sederhana itu. Dia menunggu dengan sabar. Sekitar dua menit, pintu rumah tak juga dibuka dan tidak ada suara yang ia dengar dari dalam, Pras akhirnya mengetuk pintu itu sekali lagi dan kembali menunggu.

Malam itu, udara cukup dingin karena hujan baru saja reda. Pras mendekap tubuhnya sendiri untuk menyalurkan rasa hangat. Karena pintu tak juga dibuka, dia memilih duduk dan mengamati jalanan kecil di depan rumah itu.

"Nyari siapa, ya?"

Pras menoleh dan melihat seorang ibu yang masih memakai mukena. Sepertinya ibu tersebut baru saja kembali dari masjid. Pras segera berdiri dan melemparkan senyum ramah.

"Saya nyari Tamara, Bu," jawab Pras dengan suara tenang.

Ibu itu kemudian ikut tersenyum. "Oh, Tamara lagi pergi sama Fadli."

Pras mengernyitkan kening dalam. "Fadli?" tanyanya.

"Iya, Fadli anak saya. Mungkin Aa' bisa balik ke sini besok. Nanti saya sampaikan ke Tamara kalau ada yang nyari. Udah malam, kalau gitu saya pulang dulu, A'." Ibu itu tersenyum dan melenggang pergi setelah Pras menganggukkan kepalanya.

Kemudian dengan lunglai, Pras kembali duduk. Dia menatap hampa jalanan di depannya. Pria itu meneguk ludah dengan perasaan cemas. Sekilas, dia melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul delapan malam dan istrinya belum tiba di rumah.

Dia menunduk dengan kaki yang bergerak gelisah. Siapa pria itu?

Kepalanya spontan mendongak saat mendengar suara motor berhenti di teras rumah itu. Pras menatap sosok wanita yang selalu terlihat cantik itu dengan detak jantung yang hampir berhenti.

Fadli menatap Pras dengan dahi berkerut dalam. Sementara Tamara yang belum lama berbalik badan hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Pelindung kepala juga belum sempat ia lepaskan.

"Siapa, Tam?"

Bukan Pras yang bertanya. Tapi Fadli, pria itu terdengar akrab dengan Tamara dan Pras jelas mulai bersiap dengan segala hal yang akan dia dengar setelah itu.

"Dia-"

Pras berdiri. "Saya suami Tamara," sahut Pras dengan cepat.

Tamara terbelalak kaget mendengar suara Pras yang berat dan tajam. Fadli diam beberapa detik sambil menoleh untuk menatap Tamara.

"Iya, A'. Ini suami saya," ucap Tamara membenarkan.

Pras menahan diri. Dia berusaha bersabar demi rumah tangganya.

"Oh!" Fadli mengangguk. "Saya Fadli, teman Tamara," ucap pria itu sopan sambil menatap Pras yang nampaknya tidak senang dengan keberadaannya.

Tamara melepaskan pelindung kepala dan memberikannya kepada Fadli. "Terima kasih, ya."

Fadli mengangguk dan tersenyum. "Aku pamit, ya!" ucapnya. "Mari!" lanjut pria itu sambil menganggukkan kepalanya ke arah Pras.

Fadli melajukan motornya dan meninggalkan Tamara yang masih berdiri di depan teras. Pras menatap wanita di depannya dengan sorot rindu dan juga... cemburu?

Tamara berjalan menuju ke arah pintu rumah. Dia diam dengan mata yang tidak memperhatikan Pras sama sekali. Wanita itu merogoh tasnya dan mengambil kunci rumah. Sementara itu, Pras sudah berada di belakang Tamara dengan wajah lelahnya.

"Kamu nggak mau ngomong apa-apa sama suamimu?" tanya Pras saat Tamara membuka pintu dan masuk ke dalam.

Tangan pria itu menahan pintu yang hendak wanita itu tutup. Tamara sama sekali tidak berbasa-basi pada suaminya. Dia bahkan berniat langsung menutup pintu rumah dan meninggalkan Pras di teras.

"Nggak!" jawabnya ketus.

Pras menghela napas dalam. Meski lelah, dia masih memiliki cukup tenaga untuk membuka pintu itu dengan sedikit memaksa. Tamara mundur dan menatap tak suka pada apa yang Pras lakukan. Pria itu masuk tanpa permisi dan menutup pintu di belakangnya. Matanya tak lepas dari wajah sang istri yang kini semakin terlihat menggemaskan di matanya.

Ah! Pras sungguh ingin memeluk wanita itu sekarang juga! Mereka berdua hanya berhadapan tanpa bersuara. Sunyi dan sepi. Kemudian terdengar suara hujan yang turun ke bumi. Pras meneguk ludahnya. Dia melangkah maju.

Tapi, langkahnya terhenti saat sang istri justru berjalan mundur ke belakang satu langkah. Hati pria itu teriris. Dia tersenyum meski rasanya sulit. Tamara menatapnya dengan pandangan datar. Seperti tidak ada emosi apapun yang Pras temukan di sana. Tamara tidak terlihat rindu, sedih atau bahkan gembira karena berjumpa dengan sang suami.

Inilah yang ditakutkan oleh Pras. Saat istrinya memilih untuk tak lagi memiliki perasaan apapun terhadap dirinya. "Aku..." Pras seperti kebingungan.

Padahal dia sudah memikirkan kalimat yang akan ia katakan kepada sang istri saat dia dalam perjalanan ke Bogor. Tapi semuanya kini nampak tak berguna. Ingatannya mendadak tumpul saat Tamara memilih berbalik dan berjalan menuju ke dapur.

Pras berkacak pinggang dengan rasa letih yang kini semakin menguasai tubuhnya. Dia kemudian duduk di sofa usang yang ada di ruang tamu rumah tersebut. Tak berapa lama, istrinya datang dengan sebuah nampak di tangannya. Tamara meletakkan cangkir berisi teh hangat di atas meja.

"Maaf, di sini cuma ada teh. Setelah minum, Mas bisa kembali pulang ke Jakarta," ucapnya.

Nada suara wanita itu terdengar dingin dan berhasil menampar Pras. Pria itu tersadar bahwa perjuangannya kali ini tidak mudah.

"Kamu mau ke mana?" tanya Pras saat Tamara hendak masuk ke dalam kamarnya.

"Aku mau istirahat," jawab istrinya dengan kepala sedikit menoleh ke samping.

Wanita itu sudah memegang gagang pintu saat suara suaminya kembali terdengar. "Aku lapar, belum makan."

_______________________________________________________________________________

Credit :

Song by Afgan - Entah

TerberaiWhere stories live. Discover now