Percaya Kepada Semesta

729 56 0
                                    

"Ini!" Pras meletakkan kantong plastik berlogo salah satu nama apotek yang cukup terkenal di negara ini.

Tamara yang sedang duduk sambil mengoleskan selai coklat ke atas roti terdiam dengan mata yang tidak lepas dari kantong plastik di atas meja makan. Tamara mengambil kantong tersebut dan membukanya dengan pelan.

"Aku akan menunggu di kamar, kamu bisa mengeceknya sekarang." Pras langsung pergi begitu saja tanpa mau repot-repot menunggu jawaban dari Tamara.

"Kalau gue benar hamil, kemudian anak ini lahir maka Pras akan melepaskan gue?" Tamara berbicara di dalam hati.

Tamara hanya mampu menghela napas lelah. Tubuhnya lemas pagi ini. Dia terbangun dari tidurnya dan tidak mendapati suaminya di atas ranjang yang sama dengannya. Pras pergi entah kemana dan kembali dengan kantong plastik yang berisi alat tes kehamilan untuknya.

Dia berdiri dan berjalan dengan perasaan yang tidak menentu. Tamara segera masuk ke dalam kamarnya. Dia dapat melihat sosok Pras yang sedang menatap ke luar jendela dengan tangan bersedekap.

Pras bahkan tidak mau menoleh ke arah Tamara padahal jelas-jelas pria itu mendengar suara pintu kamar terbuka. Tamara berjalan kemudian berhenti tepat di belakang Pras.

"Kalau aku benar hamil kemudian melahirkan, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Tamara dengan mata yang tidak lepas dari alat tes kehamilan di dalam genggamannya.

Pras menurunkan kedua tangannya dan berbalik badan. "Semakin cepat kita memiliki anak semakin cepat aku mendapatkan warisan. Kamu tenang aja, setelah kita bercerai nanti aku akan memberikan kamu harta yang lebih banyak lagi," kata Pras dengan tenang.

Tamara menunduk dan menelan salivanya dengan susah payah. Bongkahan es seperti sedang menimpa dadanya. Tamara tersenyum miris. Dia kemudian mendongak dan menatap Pras.

"Oke, aku akan melakukan tes kehamilan kalau gitu." Tamara kemudian berjalan menuju kamar mandi.

Pras menatap punggung istrinya dengan perasaan yang tidak menentu. Dia kemudian memilih membuang napas dengan keras sebelum kemudian duduk di pinggiran ranjang. Sambil menunggu Tamara selesai, dia membuka ponselnya. Dan di sana ada banyak panggilan tidak terjawab dari sekertarisnya.

Pras membuka aplikasi berbalas pesan dan segera mengetikkan sebuah kalimat untuk Melly. Dia rasa dia sudah mengambil keputusan yang benar.

"Tunggu aku sore ini! Aku janji akan mengantarmu untuk mengunjungi makam ibumu."

Pras menoleh ke belakang kala mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Dia menatap wajah Tamara yang terlihat tegang.

"Bagaimana hasilnya?" tanya Pras seraya berdiri.

Tamara berjalan ke arah Pras sambil membawa alat tes kehamilan di tangan kirinya. "Aku..." Tamara menelan salivanya dengan gugup. "Aku hamil." Tamara kemudian tersenyum dan menunjukkan alat tersebut kepada Pras.

Pras melotot menatap dua garis yang sangat jelas di sana. Dia tersenyum lebar sambil bernapas lega.

"Syukurlah!" Pras berjalan dua langkah dan meraih tubuh istrinya ke dalam pelukannya.

"Apa kamu bahagia?" tanya Tamara dengan suara yang teredam oleh dada suaminya.

Pras mengembangkan senyumnya dan mengangguk. "Tentu aja aku bahagia!" Dadanya membuncah.

Pras jelas sangat senang dengan kehamilan istrinya. Hanya saja dia tidak paham, dia senang karena akan mendapatkan warisan atau karena Tamara yang mengandung anaknya.

"Cepat siap-siap! Kamu harus ke kantor, Mas!" kata Tamara seraya melepaskan pelukannya.

Wanita itu segera memutar tubuhnya dan berjalan menuju lemari pakaian. Dia kemudian mengambil setelan kerja yang akan dikenakan oleh suaminya. Sementara Pras, pria itu masih berdiri menatap punggung istrinya dengan senyuman yang belum juga pudar dari bibirnya.

Dia tidak tahu, bahwa kini hati Tamara tengah bahagia bercampur merana. Dia tidak tahu, bahwa Tamara sudah menahan tangisnya sekuat tenaga semenjak istrinya itu berada di dalam kamar mandi.

***

Tamara mematut dirinya di depan cermin. Dia menghembuskan napas dalam supaya segala rasa gugup di dalam dirinya lenyap.

"Gue janji akan membuat Pras jatuh cinta sama gue, apapun yang terjadi," kata Tamara. "Demi gue dan anak kami." Tamara tersenyum kemudian berjalan meninggalkan kamarnya.

Sore ini dia akan ke dokter kandungan bersama dengan Pras. Mereka membuat janji pagi tadi untuk bertemu di rumah sakit khusus ibu dan anak yang cukup terkenal di kota tempat tinggal mereka. Hati Tamara berangsur membaik, dia tersenyum lebar karena sejak tahu dirinya hamil, suaminya itu terlihat sangat menyayanginya.

Menaruh harapan kepada pasangan dan percaya kepada semesta adalah hal sedang Tamara lakukan. Tidak ada satupun manusia yang bisa menebak dengan pasti jalan kehidupan seseorang di bumi. Tamara terus merapal di dalam hatinya, semoga suatu saat nanti Pras bisa merasakan bahwa dia tulus mencintai pria itu.

Setibanya di rumah sakit, Tamara menunggu antrian sambil memegang ponselnya. Dia menggigit bibirnya gusar karena Pras tidak juga nampak di sana. Wanita itu terlihat putus asa ketika pesan dan panggilannya tidak juga di jawab oleh suaminya.

"Kamu ke mana sih, Mas?" batin Tamara.

Dia mendongak dan menatap pintu ruang dokter kandungan dengan mata yang sudah sedikit memerah. Dia merasa kesulitan untuk menelan salivanya sendiri. Rasa sesak mulai merambat pelan di dadanya.

"Padahal kamu udah janji tadi pagi," gumam Tamara lirih.

Pada akhirnya, Tamara harus masuk ke ruang pemeriksaan seorang diri. Tidak ada suami yang menemaninya seperti para ibu hamil lainnya di sana. Tamara langsung memesan taksi online ketika pemeriksaannya selesai. Bahunya merosot ke bawah ketika sampai hari beranjak malam, Pras benar-benar tidak membalas pesannya.

"Gue tahu posisi gue, tapi setidaknya lakukan demi anak ini, Mas." Tamara memejamkan matanya sambil mendongak kala rintik hujan mulai berjatuhan di wajahnya.

Wanita itu berlari kecil menuju taksi yang sudah menunggunya. "Mas Pras nggak akan datang untuk jemput, jadi gue nggak perlu menunggu di sini seperti orang bodoh."

Sesampainya di rumah, dia mengerutkan keningnya dalam kala mendapati lampu kediamannya masih belum menyala. Keadaan rumah yang gelap gulita membuat Tamara harus meraba-raba dinding untuk mencari saklar lampu.

"Ini gila! Gue udah priksa sendiri dan ternyata dia nggak ada di rumah? Ke mana pria itu?" Tamara mengomel setelah berhasil menghidupkan semua lampu di rumahnya.

Dia berjalan menuju kamarnya dengan perasaan kesal. "Awas kalau masih nekat ketemu Karin! Gue juga akan ketemu sama Gangga lagi!" Tamara berkata dengan nada penuh penekanan karena amarah di dadanya yang sulit dia kendalikan.

***

Tamara mengerutkan keningnya. Dia masih memejamkan matanya meskipun telinganya mendengar dengan jelas suara pintu yang dibuka dan ditutup oleh seseorang. Wanita itu menelan salivanya kala merasakan ranjang di sampingnya bergerak dengan pelan.

"Kamu baru aja pulang?"

Pras membeku di tempatnya berbaring. Dia menoleh ke samping dan mendapati wajah Tamara yang baru saja terbangun dan terlihat sangat dingin. Pria itu memasang wajah yang terlihat lelah. Namun, Tamara enggan untuk mengulur waktu hingga besok pagi untuk meminta penjelasan dari suaminya.

"Kamu bisa lihat sendiri kalau aku baru pulang, Tamara." Pras menaikkan selimut sampai batas perutnya.

Tamara terkekeh pelan. "Dari mana?" tanyanya yang terdengar aneh di telinga Pras.

TerberaiWhere stories live. Discover now