Apa Sesulit Itu?

1.8K 103 4
                                    

Halooo! Terima kasih untuk yang selalu hadir di kisahnya Pras dan Tamara :)

Terima kasih untuk yang sudah follow dan selalu vote maupun komen :)

Semoga kalian menikmati chapter ini, yaa :)

_________________________________________________________________________

Gangga menarik kedua ujung bibirnya setelah menerima pesan dari Tamara. Namun, senyum tersebut hanya bertahan selama lima detik sebelum pesan dari sahabatnya itu berhasil membuatnya lenyap. Gangga menelan ludah dengan kasar.

"Ga, maaf gue nggak bisa datang. Mas Pras lagi sakit."

Gangga mendongakkan kepalanya. Pria itu terlihat mengusap wajahnya dengan kasar. Dia menghela napas panjang untuk meredam semua emosi yang tersulut akibat membaca kata yang sangat dia benci.

"Pras..." gumamnya dengan nada yang terdengar sangat lirih.

Gangga kemudian segera mengetikkan pesan balasan supaya wanita yang dia cintai tidak perlu menunggu lama. Gangga menatap pesannya yang hendak dia kirimkan dengan hati yang menahan jengkel.

"Oke! Kebetulan gue juga masih di apartemen, Ras. Mungkin lain kali kita bisa tata ulang jadwal pertemuan ini," tulisnya di layar ponselnya.

Gangga segera menekan tombol 'kirim' dengan jari yang sedikit gemetar. Setelahnya, dia meletakkan ponselnya ke atas meja sedikit membanting hingga membuat beberapa orang yang berada di sekitarnya menatap ke arahnya dengan penuh tanda tanya. Gangga tidak peduli.

Dia meraih gelas berisi es kopi yang permukannya sudah terlihat berembun. Gangga menyesap es kopi yang hanya tersisa seperempat gelas tersebut dengan rahang yang tertarik kuat. Pria itu kemudian menatap ke sekitarnya yang terlihat cukup ramai.

Dia berbohong. Dia telah berbohong kepada Tamara supaya wanita yang sudah banyak disakiti oleh suaminya sendiri itu tidak merasa bersalah kepadanya. Gangga terlalu baik hati, kan? Pria itu bahkan sudah tiba di kafe, tempat yang disebutkan oleh Tamara beberapa hari untuk bertemu. Gangga sudah menunggu wanita cantik itu selama hampir satu jam.

Dengan pikiran yang kalut dan juga hati yang merasa cemas, Gangga mencoba tetap duduk dengan sabar di kursinya. Pria itu beberapa kali hendak menghubungi Tamara, namun dai mengurungkan niatnya. Dia tidak ingin membuat Tamara merasa terburu-buru karena panggilan telepon dan juga pesan singkatnya.

Pada akhirnya senyum yang tercipta sedari pertama kali dia melangkahkan kaki memasuki kafe itu harus terenggut paksa. Dia hanya rindu pada wanita yang telah bersuami tersebut. Dia hanya ingin membantu Tamara untuk segera keluar dari kehidupan Pras. Tapi rencananya tidak berjalan dengan mulus.

Bahkan kini dia sudah mengutuk wanita yang berjanji akan membantunya. "Seharusnya gue tahu kalau dia hanya wanita bodoh yang bahkan sudah meninggalkan pria yang dia cintai demi impiannya!" geram Gangga sambil mengepalkan tangan.

Pria itu meraih ponselnya dan memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celana. Gangga berjalan keluar dari kafe setelah membayar es kopinya. Perasaannya semakin tidak menentu sekarang. Dia sudah tidak bisa membedakan apakah keinginannya adalah sebuah cinta sejati atau hanya obsesi semata. Gangga tidak pernah mau tahu. Yang dia tahu, dia hanya ingin Tamara menua bersamanya.

***

Tamara berjalan mondar-mandir di depan jendela sebuah ruangan bernuansa putih. Dia menggigit kuku jempol tangan kanannya dengan perasaan gelisah. Sudah satu jam dan suaminya yang keras kepala itu masih belum membuka matanya. Tamara bahkan lupa mengabari Gangga bahwa dia terpaksa membatalkan janji temu mereka hari itu.

Pras tiba-tiba jatuh pingsan di depannya setelah terus memintanya untuk tetap tinggal. Dengan cepat Tamara memanggil sopir keluarga Pras yang memang rumahnya tidak jauh dari kediaman Tamara.

Wanita itu sudah menangis sesenggukan kala tubuh tegap suaminya itu oleng dan terjatuh tidak berdaya tepat di depan kakinya. Tamara tidak bisa berpikir jernih kala melihat Pras harus dilarikan ke UGD di rumah sakit yang letaknya paling dekat dengan rumah mereka. Tamara terlalu banyak menahan kecemasan hingga tangannya kini terasa dingin dan terus saja bergetar.

"Mas?" bisiknya sambil berjalan mendekati ranjang tempat suaminya berbaring dengan selang infus yang tertancap tangannya.

Tamara duduk di kursi kemudian menatap wajah Pras dengan lekat. Wajah pucat itu tidak lagi mengeluarkan kalimat-kalimat yang selama ini Tamara pikir adalah sebuah omong kosong. Kelelahan. Kata dokter yang memeriksa pria itu, suami Tamara sepertinya kelelahan dan juga terlalu stres.

Tamara bahkan sampai harus meminta sopir pribadi keluarga Pras untuk tidak mengatakan apapun terlebih dahulu kepada orang tua Pras. Dia hanya tidak mau mereka semua khawatir. Terlebih alasan Pras sampai jatuh sakit seperti ini. Tamara yakin mereka akan bertanya kepadanya tentang rumah tangganya bersama Pras.

Tamara tidak sanggup dan belum siap untuk menjawab. Matanya kembali mengeluarkan air yang ternyata belum juga surut. Tamara mengelus lengan Pras dengan lembut. Dia takut terjadi sesuatu yang fatal pada diri Pras.

"Mas, kamu nggak mau bangun? Anak kamu kangen ayahnya," katanya pelan dengan nada bergetar.

Pras masih tertidur dengan sangat damai. Tamara bahkan sudah kembali terisak. Dia menyesal karena sempat membantah ucapan Pras. Dia tidak menyangka bahwa suaminya sampai jatuh sakit karena stres dan juga kelelahan.

"Maaf karena aku, kamu jadi seperti ini." Tamara menggigit bibirnya. "Mas..." Tamara menahan dadanya yang terasa seperti dihimpit batu. "Apa sesulit itu untuk bertahan bersamaku? Apa karena menikah denganku, kamu jadi terlalu banyak pikiran sampai stres dan kelelahan?"

Wanita hamil itu menyalahkan dirinya sendiri. Dia merasa bertanggung jawab atas Pras. Pria itu bahkan terlihat baik-baik saja dan termasuk jarang sakit sebelum mereka menikah. Dan sekarang, umur pernikahan mereka bahkan belum menginjak satu tahun, Pras jatuh pingsan di depan matanya.

"Kenapa nggak bilang kalau aku emang hanya jadi beban untuk kamu, Mas?" tanyanya.

Tamara menghela napas sebanyak yang dia bisa. Dia menegakkan tubuhnya dan mengusap kedua pipinya. Tidak ada gunanya mengajak Pras berbicara ketika pria itu masih memejamkan matanya. Seolah-olah, Pras merasa jauh lebih damai ketika dia tertidur seperti itu. Tanpa Tamara dan juga beban hidupnya yang tidak pernah diketahui istrinya sendiri.

"Mas, aku keluar sebentar, ya? Jangan lama-lama tidurnya, aku..." Tamara menghela napas panjang kemudian memaksakan senyumannya. "Aku kangen kamu, Mas."

Tidak berhasil. Suara Tamara tetap bergetar dan juga serak. Wanita itu kemudian merah tas yang ada di nakas kemudian melangkah pergi dari sana. Tamara mencari kantin yang ada di rumah sakit tersebut. Perutnya terasa lapar karena sejak pagi dia tidak memakan apapun. Perdebatan antara dirinya dan juga Pras sangat menyita waktu dan energi.

Anak di dalam perutnya membutuhkan nutrisi yang cukup. Tamara tidak ingin Pras marah ketika tahu anaknya ikut kelaparan dan menilai Tamara telah lalai sebagai ibu. Ah! Tamara terlalu mencintai Pras dan juga bayinya. Bahkan semua rasa sakit yang dia rasakan saat ini dia kesampingkan dan dia telan bulat-bulat.

Tamara memicingkan matanya kala kakinya sampai di koridor tempat di mana ruangan VIP berada. Dia sengaja memperlambat langkahnya. Bibirnya bergumam lirih menyebutkan satu nama dari orang yang dia kenal.

"Melly?"

TerberaiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora