Jangan Sampai Pisah

901 108 6
                                    

Yang sudah follow, terima kasih banyak ya! Semoga rezeki kalian selalu lancar dan dimudahkan semua urusannya :)

Jangan lupa tinggalkan jejak :)

________________________________________________________________________________

Pras menatap kedua anak manusia yang di matanya terlihat seperti iblis. Dia harus menajamkan penglihatannya di saat tubuhnya sulit untuk duduk tegak. Dia bersandar ke belakang dengan perasaan campur aduk.

"Apa yang udah kalian perbuat?" tanyanya dengan nada pelan.

Melly memalingkan wajahnya seolah-olah bukan dia yang memiliki kewajiban untuk menjawab pertanyaan itu. Gangga mengusap wajahnya kasar. Pikirannya terbagi antara Tamara dan kondisi di dalam apartemen Melly pasca wanita yang ia cintai pergi.

Dia hendak mengejar Tamara tapi Pras melarangnya dengan keras. Teleponnya bahkan sama sekali tidak diangkat oleh Tamara. Bagaimana dia bisa tenang? Semua adalah kesalahannya. Ego dan cinta berhasil membuatnya buta.

"Gue yang salah di sini. Melly, gue yang ajak dia buat masuk ke dalam rencana gue buat misahin lo dan Saras." Gangga nampak berbesar hati mengakui kesalahannya.

Melly sama sekali tidak menanggapi ucapan Gangga. Dia hanya diam seribu bahasa.

"Kejar Saras, Pras! Dia butuh lo. Anak kalian butuh kedua orang tuanya. Gue janji nggak akan ganggu kehidupan kalian lagi. Tapi..." Gangga menghela napas dalam. "Izinkan gue untuk meminta maaf ke Saras. Setelah itu, gue akan menghilang dari kehidupan dia," lanjutnya.

Melly menoleh dan menatap tak suka pada sosok Gangga. "Enak banget! Lo cuci tangan gitu aja setelah lo nyeret gue!" bentaknya kesal.

"Lo benar-benar jatuh cinta, Mel! Dan itu di luar kendali gue!" balas Gangga.

"Terserah! Yang jelas, Pras nggak bisa pergi ninggalin gue gitu aja!" ucapnya penuh amarah.

Pras berdiri dan berjalan sempoyongan. Sebelum mencapai pintu, dia berbalik dan menatap kedua orang itu secara bergantian.

"Kenapa gue nggak bisa ninggalin lo? Gue udah bilang kalau gue cinta istri gue. Seharusnya hal itu cukup untuk membuat lo mengerti." Pras kembali berjalan menuju ke arah pintu.

"Karena lo udah menikmati tubuh gue!" teriak Melly.

Pras kembali berhenti. Kali ini dia memutar tubuhnya dan menatap Melly dengan wajah geli.

"Kita cuma ciuman. Lo nggak perlu melebih-lebihkan hal seperti ini, Mel!" Pras nampak tak terima.

Wajah Melly nampak kaget. Dia diam. Pras melenggang pergi dari hadapannya. Melly mengeratkan rahangnya. Tangisnya hampir tumpah saat mengingat bagaimana Pras menciumnya.

"Gue minta lo berhenti, Mel. Gue udah tahu rencana lo. Lo operasi supaya lo bisa hamil dengan tenang. Sayangnya lo terlalu jauh dengan menginginkan hamil anak Pras. Gue nggak nyangka kalau lo akan melakukan hal serendah itu."

Gangga berdiri dan siap meninggalkan Melly. "Lo yang minta gue untuk menggoda Pras!" ucap Melly.

"Cuma menggoda! Bukan ngasih tubuh lo secara cuma-cuma ke Pras!" Setelah mengatakan hal itu, Gangga pergi dari sana.

Gangga masih waras. Dia tidak mungkin meminta Melly untuk tidur dengan pria yang bukan suaminya. Namun, ternyata Melly mengambil sebuah keputusan sendiri. Beruntung sekali, niat Melly tidak terlaksana. Karena jika sampai hal itu terjadi, Gangga pasti akan merasa sangat berdosa pada Tamara.

***

Pras menggeliatkan tubuhnya saat dia merasakan hangatnya sinar matahari yang membasuh wajahnya melalui celah tirai jendela kamar. Dia mengusap matanya yang masih terasa berat.

Dia bangun dan duduk di pinggiran ranjang. Kakinya menyentuh dinginnya lantai. Matanya menatap ke arah jam dinding. Sudah pukul setengah sepuluh pagi. Saat dia mulai sadar, sepi begitu terasa di rumah itu. Tidak ada suara istrinya yang akan membangunkannya saat hari sudah menjelang siang.

Rasa hampa tiba-tiba begitu mencekiknya. Pras benci perasaan itu. Semalam, dia memilih pulang naik taksi dan beristirahat sejenak. Tubuhnya tentu tidak bisa ia ajak pergi ke banyak tempat untuk mencari istrinya. Dia dalam kondisi mabuk semalam. Meski masih sadar tapi dia tidak bisa berjalan dengan tegak.

"Tamara..." bisiknya lirih.

Hanya suara pendingin AC yang tertangkap oleh indra pendengarannya. Dia rindu istrinya yang selama ini sudah mengabdi padanya. Hati Pras terasa nyeri. Rasa nyeri yang membuatnya bergegas bangkit berdiri dan bersiap untuk mencari istri tercintanya.

"Kita nggak boleh selesai seperti ini, Tam. Tunggu aku, tolong!" pintanya di dalam hati.

Pras mandi dengan cepat dan membawa beberapa pakaian ganti. Dia berjaga-jaga jika waktu yang ia butuhkan lebih dari satu hari. Meski dia berdoa semoga hari itu, dia segera menemukan Tamara.

Pras tahu ke mana dia akan pergi. Setelah memakan selembar roti tawar dengan selai coklat, serta tak lupa secangkir kopi yang nyatanya tidak senikmat buatan sang istri, Pras mengendarai mobilnya menuju kota Bandung.

Rumah ibu mertuanya adalah tujuan pertama Pras. Dia yakin istrinya berada di sana. Pras kini sedang berdiri di depan pintu rumah yang tertutup rapat. Jantungnya bergemuruh. Rasanya sangat campur aduh. Antara senang karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan wanita cantik itu atau sedih karena kemungkinan dia akan sulit mendapatkan kata maaf dari sang istri.

"Eh, Nak Pras?" Nurmala tersenyum saat tahu siapa yang datang.

"Ibu, apa kabar?" Pras meraih tangan Nurmala dan menciumnya sebagai tanda hormat seorang anak kepada ibunya.

"Kabar Ibu baik," jawab Nurmala. "Ayo masuk!" ajaknya.

Nurmala berjalan tertatih-tatih dan hal itu jelas membuat Pras merasa tertampar. Dia segera mendekati sang ibu mertua dan memapahnya menuju sofa.

"Ibu sendirian di rumah?" tanya Pras saat mereka sudah duduk.

Nurmala mengangguk dan tersenyum. "Iya, adik-adikmu sekolah." Nurmala terlihat terengah-engah.

Pras mengamati wajah tua di depannya. Seketika dia merasa malu. Dia bertanya-tanya di dalam benaknya, apa semua pria brengsek di dunia ini juga merasa malu saat bertemu orang tua dari wanita yang mereka sakiti?

"Eum... Apa Saras di rumah, Bu?" tanyanya dengan nada sedikit ragu.

Nurmala mengerutkan keningnya. "Apa Saras nggak hubungin Nak Pras?" Nurmala malah balik bertanya.

Pras menggeleng pelan.

"Saras sudah pulang ke Jakarta tadi pagi. Maaf karena anak Ibu nggak kasih kabar. Ibu sendiri lupa mengingatkan Saras tadi pagi," Nurmala merasa bersalah.

"Saras pulang ke Jakarta?" Pras melebarkan matanya senang.

Istriku pulang.

Nurmala mengangguk. "Iya, katanya pulang ke Jakarta."

Pras pikir ucapan Nurmala adalah sebuah jalan baginya untuk bertemu sang istri. Nyatanya, saat dia meminta bawahannya untuk memeriksa rumahnya, Tamara tidak kembali ke rumah mereka. Pras tidak tahu keberadaan istrinya.

Dan yang jelas, istrinya juga berbohong pada keluarganya. Jalan Pras ternyata cukup sulit. Dia menelan ludah dengan wajah gusar. Pria itu sedang duduk di sebuah meja yang ada di dalam restoran cepat saji. Dia pantas dikasihani. Wajahnya yang muram dengan aura kesedihan yang mendalam.

Dia pamit pulang kepada Nurmala saat dia pikir Tamara benar-benar pulang ke rumah mereka. Tapi saat mendengar kabar bahwa istrinya tidak berada di rumah mereka, Pras merasa hilang arah. Dia bahkan langsung kembali ke Jakarta tapi harapannya semakin terasa menipis.

Pria itu mengisi perutnya dalam diam. Matanya memerah menahan lelah di tubuhnya. Baru semalam dia bisa tertidur dengan pulas. Efek dari alkohol yang ia minum. Tapi tubuhnya tidak bisa berbohong.

"Jangan sampai pisah!" batinnya sambil memakan burgernya.

_________________________________________________________________________

Credit :

Song by Jeong Sewoon

TerberaiWhere stories live. Discover now