Berikan Aku Waktumu!

1.2K 91 4
                                    

Hai! Selamat malam minggu ya!

Btw, baca chapter ini sambil dengerin lagunya urban zakapa - between us :)

Enjoy!

________________________________________________________________________________

Tamara berjalan cepat ke arah ranjang dan segera merebut ponsel yang kini dipegang oleh Pras. Namun, dengan cepat Pras mampu menghindar dan menyembunyikan ponsel milik Tamara ke belakang tubuhnya. Napas Tamara terdengar berkejaran karena rasa kesal yang menggunung di dalam dadanya.

"Mau kamu apa?!" tanya Tamara dengan mata memerah.

"Sssttt!" Pras menempelkan jari telunjuknya di depan bibir ketika mendengar pertanyaan bernada tinggi dari Tamara.

"Tamara melirik sekilas ke arah pintu. Dia kemudian berjalan dengan sedikit menghentakkan kaki menuju pintu tersebut. Dengan cepat Tamara segera menutup dan mengunci pintu tersebut. Wanita itu kembali berjalan menuju ranjang di mana kini suaminya tengah duduk dengan punggung bersandar pada kepala ranjang.

Tamara berdiri di samping ranjang dengan wajah yang sudah siap menangis. "Kembalikan ponselku!" kata Tamara sambil mengulurkan tangan dengan telapak tangan menghadap ke atas.

Pras menatap Tamara dan sedikit memiringkan kepalanya ke kanan menatap wajah istrinya. "Aku nggak akan mengembalikannya padamu sebelum kamu mengganti nomor ponselmu dan blok semua akses Gangga!" kata Pras dengan nada pelan namun terdengar begitu tidak ingin dibantah.

Tamara terkekeh pelan. "Kamu sepertinya lagi mabuk, Mas." Tamara menggelengkan kepalanya. "Aku nggak mau! Aku juga ingin memiliki pria yang mencintaiku, sama seperti kamu." Wanita itu kemudian hendak pergi.

Terlambat! Pras yang sudah mengeratkan rahangnya langsung mencekal pergelangan tangan istrinya dan menarik wanita itu hingga jatuh ke dalam dekapannya. Tamara yang terkejut langsung melebarkan matanya dengan bibir yang sudah sedikit terbuka. Dia menatap wajah Pras dari jarak sedekat itu. Tubuh mereka menempel hingga membuat Pras mungkin bisa merasakan detak jantung Tamara yang tiba-tiba seperti sedang berpesta.

"Jantung kamu sakit?"

Tamara mengerutkan keningnya dengan wajah memerah. "Enggak!" jawabnya sambil membuang wajah ke sisi kanan.

Pras tersenyum miring. Secara tidak sengaja netra pria itu jatuh pada bibir ranum milik istrinya yang terlihat basah dan juga berwarna pink pucat. Pras menelan ludah dengan perasaan gusar yang tiba-tiba menyerang dadanya.

"Kamu..." Bibir Pras tertahan.

"Kenapa?" tanya Tamara. "Ada apa denganku?" wanita itu menatap suaminya dengan wajah cemberut.

Pras tersenyum kala melihat wajah menggemaskan istrinya itu. Ada degup dan rasa gugup yang kini menghinggapi diri Pras. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, Pras merasa semuanya terasa benar, semuanya terasa nyaman.

"Kamu... cantik." Wajah Pras berubah melembut.

Tamara mengedipkan matanya dan terlihat sangat lucu bagi Pras. Rasa canggung kini mendominasi diri wanita itu.

"Kamu juga gemesin." Pras tersenyum.

Tamara membeku di pelukan suaminya sendiri. "Jangan seperti ini! Gue bisa semakin cinta sama lo, Pras brengsek!" batin Tamara dengan napas yang mulai terasa sesak.

Tapi, ini adalah momen langka di dalam hidup Tamara. Melihat Pras tersenyum. Bukan senyum biasa, tapi... senyum tulus yang terasa nyaman ketika Tamara menatapnya. Wajah Pras semakin terlihat tampan.

"Ah! Sepertinya aku harus menggosok gigi sebelum tidur!" Tamara memutus kontak mata mereka dan berusaha melepas belitan tangan Pras pada tubuhnya.

"Biarkan dulu seperti ini, Tamara!" pinta Pras yang menahan tubuh Tamara supaya istrinya itu tidak pergi.

Tamara terlihat salah tingkah. "Eh! Eumm... aduh jangan!" katanya tidak jelas.

"Kenapa? Kamu istri aku, Tamara."

"Tapi kamu nggak cinta aku, jadi jangan bersikap menyeramkan seperti ini!" jawab Tamara.

Pras menghela napasnya dalam. Mereka berdua mengunci bibir masing-masing. Tamara yang lebih memilih menatap ke arah bantal yang ada di belakang punggung Pras membuat pria di depannya berdecak kesal.

"Kalau aku minta kamu untuk menunggu, apa kamu bersedia?" tanya Pras dengan raut wajah serius.

Tamara berkedip beberapa kali, mencoba mencerna pertanyaan yang diajukan oleh suaminya itu. "Menunggu? Apa yang harus aku tunggu?" tanya Tamara.

"Aku!" sahut Pras dengan cepat. "Bisakah kamu menungguku?" tanya pria itu dengan mata yang terlihat teduh.

Mata wanita hamil itu tiba-tiba terasa memanas. "Kamu..." suaranya tercekat.

"Ya! Berikan aku waktumu!" sahut Pras.

"Sampai kapan aku harus memberikan waktuku untukmu?" tanya Tamara.

Pras menunduk sejenak sebelum kemudian terkekeh pelan. Dia kembali menatap mata indah istrinya. Mata yang entah sejak kapan telah membuat dadanya bergetar setiap melihatnya. Sesuatu yang baru disadarinya ketika dia pulang ke rumah dan tidak bisa menemukan Tamara di seluruh bagian rumahnya.

"Aku nggak tahu," jawab Pras dengan wajah sedihnya.

Tamara memberanikan diri untuk menyentuh pipi suaminya. Dia mengelusnya dengan gerakan pelan dan penuh kelembutan. Seolah-olah Pras memanglah hal yang sangat berarti bagi hidupnya.

"Apa karena wanita itu?"

Pras memejamkan matanya menikmati gerakan tangan Tamara yang terasa sangat nyaman. Pria itu menganggukkan kepalanya. Dia memilih menjawab jujur kepada istrinya.

"Dia memiliki nama, apa kamu ingin tahu siapa namanya?"

Tamara menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Lebih baik aku nggak tahu siapa wanita yang udah bikin kamu jatuh cinta," jawabnya.

Pras tersenyum. "Aku bahkan nggak tahu apa aku udah cinta kamu atau belum, aku bahkan masih ragu dengan hal ini."

Nyeri kembali menyerang hati Tamara. "Kalau kamu nggak tahu dan ragu, jangan memintaku untuk menunggumu!" kata Tamara. "Aku memiliki hidup yang harus terus berjalan dan akan anak yang harus aku perhatikan," katanya.

"Aku tahu, aku sangat tahu akan hal itu tapi-"

"Tapi kamu tahu kalau kamu mencintai dia," sahut Tamara dengan nada bergetar.

Pras terdiam. Dia membiarkan istrinya berspekulasi tentang dirinya. Dia membiarkan Tamara dengan segala pikiran buruknya.

"Kamu nggak cinta sama aku, mungkin kamu ragu karena kamu hanya terbawa suasana," lanjut Tamara dengan air mata yang sudah menetes. "Aku paham perjanjian pernikahan kita seperti apa." Wanita itu membiarkan tangannya menempel di dada Pras. "Aku yang terlalu berharap sampai aku beneran jatuh cinta sama kamu."

"Kamu nggak akan paham, Tamara."

"Ya! Terserah kamu aja! Pernikahan ini hanya tentang kamu, jadi aku nggak perlu repot untuk memahami semuanya!" jawab Tamara dengan napas terengah-engah karena rasa kesal yang sudah memuncak.

"Maaf," ucap Pras.

Tamara menggeleng. "Kamu nggak bersalah! Aku yang salah," jawab Tamara. "Aku yang udah jatuh cinta sama kamu sampai sedalam ini. Aku yang bodoh karena mengira bahwa mungkin kita bisa benar-benar membangun rumah tangga ini dengan benar." Tamara terisak lirih.

"Maaf, Tamara." Pras meraih tubuh Tamara dan memeluknya.

"Kamu nggak akan tahu, apa yang sedang aku hadapi sekarang," batin Pras lemah.

Baju yang dipakai Pras terasa basah. Tamara masih menangisi hubungan mereka yang arahnya tidak menentu. Pria itu memilih diam sambil menahan segala sesak di dadanya. Dia mengelus punggung istrinya dengan lembut.

Tamara yang merasa pelukan Pras menjanjikan kedamaian semu, memilih melerai dekapan suaminya itu. Dia mengusap kedua pipinya bergantian. Dia mencoba menahan tangisnya supaya berhenti.

"Aku udah memikirkan ini semalam," ucap Tamara.

Pras mengerutkan dahinya.

"Meskipun aku masih sedikit ragu, tapi sepertinya nggak ada jalan lain lagi," kata Tamara.

TerberaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang