Tak Mau Menderita Sendirian

781 69 1
                                    

Pras memandang wajah istrinya dengan lekat. Dia sudah diperbolehkan pulang oleh dokter karena kondisinya sudah berangsur membaik. Pras sedang menikmati makan malamnya dengan tenang bersama sang istri yang kini semakin terlihat cantik di matanya.

"Kenapa lihatin aku terus?" tanya Tamara sambil sedikit menunduk malu.

Pras terkikik geli. "Kenapa wajah kamu merah? Aku cuma lihat istriku sendiri, emang ada yang salah?" tanyanya dengan wajah menggoda.

"Ih! Baru keluar dari rumah sakit tapi udah mau ngajak ribut." Tamara pura-pura kesal.

"Kamu cantik."

Tamara menatap suaminya dengan mata tak berkedip. Bibirnya seolah-olah terkunci dan tidak bisa ia buka untuk membalas ucapan manis dari bibir sang suami. Pras tersenyum menatap wanita di depannya yang duduk dengan piring di tangannya. Tamara sangat telaten menyuapi Pras yang masih belum menemukan nafsu makannya kembali. Pras lega. Dia memiliki sandaran seperti Tamara.

"Kenapa diam aja?" Pras terkekeh.

"Kamu ada masalah apa sih, Mas? Kenapa jadi ngomong ngelantur kayak gini? Kamu nggak lagi mabuk, kan?" Tamara salah tingkah.

Pras mengikuti gerakan mata Tamara yang beralih ke sembarang arah karena tidak berani bertatap mata dengan sang suami. Pras tertawa dan mengelus pipi sebelah kiri milik Tamara. Wanitanya sungguh terlihat menarik dan membuatnya gemas.

"Nggak sabar anak kita lahir. Pasti rumah kita jadi semakin ramai," kata Pras.

Tamara tersenyum. Hatinya terasa hangat. Satu kalimat sederhana yang bisa membuat jantungnya kembali berdetak tak karuan. Pras selalu bisa membuatnya jatuh cinta meski tidak ada jaminan apakah pernikahannya dengan Pras akan langgeng.

"Aku juga!" jawab Tamara dengan nada bersemangat.

Tiba-tiba terdengar suara panggilan dari ponsel Pras yang diletakkan di atas nakas. Tamara dan Pras spontan menatap benda pipih itu secara bersamaan. Tamara dengan berani meraih ponsel itu dan menatap nama si penelepon.

"Siapa?" tanya Pras dengan nada yang masih terdengar tenang.

Tamara melirik suaminya dan memperlihatkan layar ponsel tersebut. "Melly," jawabnya. "Coba kamu angkat, Mas. Mungkin ada hal penting di kantor," ucap Tamara.

Pras menatap istrinya sekilas dan menerima ponsel dari Tamara. Dia mengangguk dan segera mengangkat telepon tersebut.

"Semoga Melly nggak bikin ulah," batin Pras.

"Halo?" Pras menatap sang istri yang terlihat sedang membereskan piring dan hendak pergi dari hadapannya.

Namun tangan Pras langsung memegang pergelangan sang istri. "Di sini dulu, ya?" katanya dengan gerakan bibir tanpa suara.

Tamara menghembuskan napas pelan dan mengangguk. Dia kembali meletakkan nampan dan duduk di samping Pras dengan tenang. Matanya menatap wajah sang suami yang nampak sedikit tidak nyaman.

"Ada masalah di kantor," batin wanita itu dengan ekspresi prihatin.

"Apa kamu sudah pulang dari rumah sakit?" nada suara Melly terdengar lembut dan juga manja.

Pras seketika mengutuk dirinya yang tidak mampu memberi tahu Melly secara tegas dan bertindak dengan cepat supaya wanita itu berhenti mengejarnya. Pras menghela napas samar dan mengangguk.

"Ya, udah," jawabnya singkat.

Melly terdengar menghembuskan napas lega. "Syukurlah!" katanya dari seberang telepon. "Aku kangen, apa kita bisa bertemu?"

Pras memijit pelipisnya sebentar. "Maaf, nggak bisa." Dan tanpa pikir panjang atau menunggu respon dari lawan bicaranya, Pras segera mematikan sambungan telepon.

Tamara terlihat hendak membuka bibirnya. Namun, dengan cepat Pras segera memeluk sang istri dengan manja dan juga mengendus aroma leher wanita itu dengan segenap jiwa.

"Aku kangen. Besok pagi kita beli sarapan di luar, yuk? Aku mau jalan-jalan pagi di taman sama istriku yang cantik ini," ucap Pras.

Tamara terkejut dengan sikap suaminya yang mendadak aneh. "Oke," jawabnya singkat dengan dahi berkerut.

Kemudian Tamara meminta izin sang suami untuk membereskan piring yang sudah kosong dan juga dapur yang masih berantakan. Wanita itu meninggalkan Pras yang masih duduk di atas ranjang dengan punggung bersandar ke belakang. Setelah sang istri keluar dari kamar, Pras meraih ponselnya kembali dan membuka ruang obrolan antara dirinya dan juga Melly di salah satu aplikasi berbalas pesan.

Dia mengetikkan satu kalimat yang ia harap bisa membuat Melly paham bahwa semuanya harus segera berhenti sekarang juga. Pras tidak ingin mengambil risiko atau menggadaikan kehidupan rumah tangganya yang ia rasa sudah benar tersebut.

"Tolong berhenti sekarang, Mel. Kita nggak bisa punya hubungan lebih dari sekedar atasan dan sekertarisnya atau lebih dari sekedar teman lama yang akhirnya bertemu kembali. Ada hati seorang istri yang harus aku jaga dan aku nggak mau menyakiti Tamara lagi."

Setelah mengirimkan pesan itu dan memastikan terkirim, Pras memilih mematikan daya ponselnya supaya Melly tidak bisa menghubunginya lagi. Pras mengusap wajahnya dengan sedikit kasar dan mulai merebahkan diri. Tubuhnya masih sedikit lemas dan dia butuh istirahat.

Di apartemennya, Melly membaca pesan dari Pras dengan mata melotot tajam. Dia membanting ponsel itu ke atas ranjang dan duduk dengan kedua tangan memegang kepala. Dia berbaring dengan mata menatap langit-langit kamar. Pikirannya berkelana entah ke mana.

"Nggak ada cara lain lagi," gumamnya dengan dada berdegup kencang. "Gue udah kepalang tanggung kalau kayak begini, sialan!" geramnya.

Tangan kanannya terkepal di samping tubuh dengan rahang yang mengetat kuat. Dia kemudian kembali meraih ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan di sana. Bukan untuk Pras. Tapi untuk Tamara, istri dari pria yang kini dicintai oleh Melly.

"Hai, Tam? Apa kita bisa bertemu? Ada hal yang mau aku sampaikan."

Melly tersenyum miring. "Lo maksa gue buat bertindak lebih jauh dari sebelumnya, Pras. Lo biarkan gue sendirian di saat gue punya penyakit ini. Lo biarin gue sendirian setelah lo berhasil menjadikan gue pelampiasan sesaat dari hubungan sialan lo dengan Tamara!"

Dia tidak mau menderita sendirian. "Benar kata Gangga. Gue harus melanjutkan rencana ini. Harga diri gue nggak bisa menerima perlakuan seenaknya dari lo, Pras!"

Wanita itu kemudian berdiri dan berjalan ke kamar mandi sambil melepaskan satu per satu pakaian yang ia kenakan. Dia bersenandung kecil. Lagu dari Lobo yang berjudul How can I tell her mengalun pelan dari bibir wanita itu.

Dia masuk ke dalam bath up yang sudah terisi dengan air hangat. Dengan pelan, Melly memejamkan mata dan mencoba tenang.

"Gue nggak mau menderita sendirian. Gue, Gangga, Pras dan Tamara, kita berempat bisa menikmati kehancuran ini bersama-sama. Rasanya udah sangat adil. Kecuali..." Dia tersenyum samar. "Kalau Pras mau milih gue dan ninggalin istrinya itu," lanjutnya dengan tawa yang menggema di dalam kamar mandi tersebut.

Melly mengelus perutnya dengan pelan. Dia sudah menyusun sebuah rencana di dalam kepalanya dengan sangat baik. Senyuman terbit di wajahnya.

"Aku ingin hamil," gumamnya pelan dengan tangan yang tiba-tiba meremas perutnya dengan perasaan kesal.

_______________________________________________________________________________

Jangan lupa vote dan follow penulis yaa :)

Enjoy!

Song : Lobo - How Can I Tell Her

TerberaiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt