Seharusnya

1K 87 2
                                    

"Pagi, Pak!" Tamara berdiri dari duduknya dan menunduk ketika memberi salam kepada atasannya yang baru saja datang.

"Pagi, Tam!" Pras berhenti di depan Tamara.

Gadis itu menggigit bibirnya. Tamara tidak berani menatap mata Pras. Tamara masih sangat kecewa atas sikap Pras tempo hari yang membuat Tamara sekarang bersuara sengau karena sedang tidak enak badan.

Pras yang sedang berdiri di depan Tamara menatap gadis itu yang terlihat pucat. Pras menghembuskan nafasnya pelan. Ini kesalahannya. Kemarin Pras ingin menemui Tamara namun tidak berhasil. Dan sekarang ketika Pras sudah bertemu dengan Tamara, lidahnya seakan kelu harus memulai pembicaraan dari mana.

Pras menggaruk alisnya yang tidak gatal. "Tam, bisa ke ruangan saya sekarang?" tanya Pras.

Tamara akhirnya mendongak. Pras memperhatikan sorot mata Tamara yang terlihat tidak baik-baik saja. Mata gadis itu agak merah dan terlihat sedang tidak sehat.

"Baik, Pak." Tamara mengangguk.

Pras kemudian berjalan masuk ke ruangan dengan diikuti Tamara di belakangnya. Tolong jangan bahas yang kemarin, Pak! Tamara berdoa.

Kenapa juga rasa kecewa gue masih nggak mau pergi?! Tamara menggigit bibirnya. Ingat, Tam! Dia bos lo dan di sini lo cuma bawahan dia! Tamara mengingatkan dirinya sendiri.

Pras memang bebas ingin bersama siapa malam itu hanya saja hati Tamara seakan mengejek karena rasa kecewa Tamara bukan hanya karena Pras melupakan keberadaannya tapi juga karena Pras bersama dengan wanita lain. Wanita yang Tamara tahu lebih dari dirinya dari segi manapun.

"Duduk dulu!" Pras menunjuk sofa dengan dagunya.

"Baik, Pak." Tamara mengangguk dan segera duduk di sofa yang dimaksud Pras.

Pras melepas jasnya dan meletakkan ke gantungan khusus jas miliknya yang ada di ruangan tersebut. Kemudian dia berjalan mendekat dan duduk di samping Tamara. Tamara masih menunduk dan tidak berani melihat ke arah Pras karena rasa gugup yang tiba-tiba Tamara rasakan.

"Kemarin kamu pergi ke mana?" Pras membuka obrolan mereka setelah terdiam selama beberapa detik.

"Maksud anda?" Tamara meremas jari-jarinya.

Entah kenapa Tamara menjadi gugup seperti sekarang. Apa karena pesona Pras? Tamara segera menyadarkan diri. Dirinya bukan siapa-siapa dan juga dirinya harus fokus bekerja untuk menghidupi keluarganya.

"Kemarin saya ke kosan kamu." Pras menatap Tamara intens. "Tapi kamu nggak ada, kamu ke mana?" Pras tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan hal ini.

"Saya di apartemen sahabat saya, Pak" jawab Tamara cepat.

"Kamu baik-baik saja?" Pras kembali bertanya.

"Ya! Tentu saya baik-baik saja, Pak." Tamara memaksakan senyumnya.

"Saya mau minta maaf karena malam itu saya sudah melupakan kamu," ucap Pras.

Tamara mendongak. Gadis itu menatap Pras. Mencari keseriusan dari bola mata pria itu. Jujur saja Tamara terkejut karena Pras meminta maaf kepadanya.

"Kenapa?" entah kenapa Tamara malah bertanya pertanyaan yang kurang dipahami Pras.

Pria itu mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan Tamara. Seakan mengerti kebingungan yang dihadapi oleh Pras, gadis itu menghembuskan nafasnya pelan.

"Kenapa anda meminta maaf kepada saya, Pak?" tanya Tamara lagi.

"Karena saya, malam itu kamu pulang sendirian dan saya yakin kamu dalam keadaan yang tidak baik-baik saja," ucap Pras.

"Saya sudah memaafkan sikap anda. Lagipula saya hanya bawahan anda di kantor, jadi saya rasa harusnya saya sudah bersiap dengan hal-hal semacam itu," kata Tamara sambil tersenyum tipis.

"Saya salah dan saya akui itu. Saya rasa kamu nggak baik-baik aja sejak kejadian malam itu," Pras masih mencoba memancing Tamara supaya gadis itu mengatakan apa yang terjadi kepadanya.

Sungguh Pras akan lebih lega jika Tamara mau mengatakan segalanya kepadanya daripada gadis itu hanya diam dan menganggap kejadian kemarin tidak berarti apa-apa. Rasa bersalah Pras kian menjadi ketika Tamara mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Pras tahu Tamara tidak sedang baik-baik saja. Gadis itu sedang berusaha menutupi segalanya dari Pras.

"Apa yang mau anda dengar dari saya, Pak?" Tamara bertanya.

"Semuanya, Tamara. semuanya." Pras menatap teduh Tamara.

Tamara mendesah pasrah. Dia tidak ingin terlalu lama di dalam ruangan Pras. Aura pria itu sangat mengintimidasinya. Dia ingin masalah ini segera selesai.

"Waktu saya selesai makan dan mencoba mencari anda, saya lihat anda sedang ngobrol dengan teman-teman anda jadi saya urung untuk mendekat," ucap Tamara.

"Kenapa?" Pras terdengar tidak sabar.

"Tolong jangan dipotong dulu, Pak!" kata Tamara yang dijawab anggukan oleh Pras.

"Saya nggak berani mendekat karena saya rasa anda dan mereka adalah orang-orang penting yang mungkin sedang membahas sesuatu. Kalau saya ikut nanti saya malah merasa bingung dengan topik pembicaraan anda dan yang lainnya makanya saya niatnya nunggu anda selesai ngobrol meskipun saya terlihat aneh karena hanya sendirian dan nggak kenal siapa-siapa di sana. Seperti orang bodoh tapi saya tetap nunggu." Tamara berhenti sejenak untuk membasahi bibirnya.

"Tapi saya lihat anda pergi dengan..." Tamara meremas jari-jarinya. "Dengan wanita itu, saya pikir anda akan kembali setelahnya tapi anda nggak kembali lagi ke sana." Tamara terdengar mendesah berat.

"Saya udah coba untuk menghubungi anda tapi nggak ada balasan dan anda juga nggak angkat telepon saya. Sampai tempat itu mulai ditinggalkan para tamu karena emang sudah ditutup acaranya." Tamara menunduk.

Pras mulai gusar menunggu penjelasan Tamara selanjutnya. Dia bena-benar merasa sangat bersalah sekarang.

"Saya pulang jalan kaki karena saya nggak mengenal siapapun dan di sana juga sudah mulai sepi," Tamara sedikit bergidik ketika mengingat kembali kejadian malam itu.

"Saya tersesat dan sempat jatuh sampai kaki saya berdarah dan terkilir. Saya mencoba mengingat jalan kembali ke villa sampai akhirnya ketemu dan anda tahu sendiri kelanjutannya ketika saya di villa." Tamara kemudian tersenyum kecut.

"Tamara." Pras menyentuh bahu Tamara yang membuat gadis itu berjenggit kaget. "Maaf." Pras langsung melepaskan tangannya dari bahu Tamara.

"Sudah berlalu dan saya udah maafin anda kok, Pak," kata Tamara.

"Harusnya saya langsung nyari kamu malam itu tapi saya ada keperluan," jelas Pras.

"Nggak apa-apa, Pak! Lagipula pacar anda pasti lebih penting dan membutuhkan kehadiran anda di sampingnya." Kata-kata Tamara berhasil menohok hati Pras.

"Harusnya saya nyari kamu, Tamara. Tapi malah baru sekarang saya ajak kamu bicara." Pras menyugar rambutnya kesal.

"Saya udah maafin anda dan juga anda tenang aja saya nggak akan nuntut apa-apa, kok," kata Tamara sambil tersenyum.

"Kamu sama siapa pulang ke Jakarta?" tanya Pras penasaran.

"Saya minta dijemput Gangga, sahabat saya yang ketemu anda di tempat makan nasi goreng kambing malam-malam," jawab Tamara enteng.

"Sama dia?" Pras bertanya untuk memastikan lagi.

"Iya, Pak. Cuma dia yang selalu ada buat nolong saya," jawab Tamara.

"Ya ampun, Tamara! kamu bisa meminta saya untuk mengantarkan kamu pulang." Pras menatap Tamara dengan serius.

"Saya nggak bisa percaya lagi sama anda setelah kejadian malam itu. Maaf saya bilang ini semua. Tapi saya rasa sebaiknya kita sudahi masalah ini karena saya sudah memaafkan anda dan sebaiknya memang di antara kita berdua tidak perlu ada kepentingan di luar urusan pekerjaan lagi." Tamara kemudian menelan ludahnya gugup karena takut kalau Pras marah.

TerberaiWhere stories live. Discover now