Bersiaplah Sayang!

1K 60 1
                                    

"Masuk ke ruangan saya sekarang!" kata Pras yang diangguki oleh Tamara.

Tamara berjalan di belakang Pras dengan tangan yang saling bertaut. Setelah sampai Tamara dipersilahkan Pras untuk duduk di sofa.

Pras kemudian berjalan dan duduk di samping Tamara. "Jadi kamu mau bicara apa?" tanya Pras.

"Begini, apa tawaran anda kemarin masih berlaku?" tanya Tamara yang memberanikan diri menatap mata tajam milik Pras.

Semuanya demi mereka yang lo sayangi! Tamara sekilas mengepalkan tangan kirinya.

Pras mengangguk. "Ya, kalau kamu mau menerima tawaran itu maka saya akan merasa sangat senang," ucap Pras.

"Tapi bisakah anda berjanji kepada saya?" Tamara sedikit mengubah posisi duduknya supaya bisa menghadap ke arah Pras.

"Ya tentu! Apa yang kamu inginkan dari saya?" tanya Pras dengan senyuman menyeringai.

"Saya ingin anda melunasi utang ayah saya dan juga menanggung biaya hidup keluarga serta biaya pengobatan ibu saya," ucap Tamara tanpa ragu.

"Hanya itu?" tanya Pras.

"Ya." Tamara mengangguk.

"Tidak sulit sama sekali." Pras mengangkat bahunya. "Kalau perlu besok ibumu akan menerima perawatan dari rumah sakit milik papaku," kata Pras lagi.

Tamara tahu, rumah sakit milik papa Pras adalah rumah sakit yang sangat bagus kualitasnya. Setiaji Hospital, menjadi rumah sakit swasta kelas A sekarang ini. Fasilitas penunjang serta tenaga medis yang hebat, semuanya ada disana. Rumah sakit yang terkenal dengan pengobatan kanker maupun penyakit dalam lainnya. Meskipun ada banyak poli disana namun rumah sakit tersebut memang sangat terkenal dalam hal menangani penyakit dalam yang mematikan.

"Apa bisa?" Tamara bertanya.

"Tentu! Oh ya, ibumu sakit apa memangnya?" tanya Pras.

"Ibu saya kena gagal ginjal dan kata dokter harus cuci darah sebulan sekali," ucap Tamara.

"Baiklah!" Pras menggaruk sekilas alisnya. "Setelah ibumu kembali dari rumah sakit, aku akan ke rumahmu untuk melamarmu." Pras kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Tamara.

Dia kemudian membisikkan kalimat yang membuat dada Tamara berdetak kencang. "Bersiaplah menjadi istriku, Sayang!" Pras kemudian bangkit berdiri sambil tersenyum.

"Kalau begitu saya permisi, Pak," kata Tamara yang langsung berdiri dan melangkah pergi dari ruangan Pras.

Sampai di mejanya, Tamara memegang dadanya yang masih berdetak tidak karuan. Dia menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Sssh!" Tamara memukul pelan kepalanya.

Dia mengambil napas dan membuangnya perlahan beberapa kali untuk menetralkan kerja jantungnya. Gadis itu kemudian mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu disana.

Tamara : Gimana kondisi ibu?

Setelah lima menit belum ada jawaban dari adiknya, Tamara kemudian meletakkan ponselnya di samping mouse dan mulai menyalakan komputernya. Mungkin Alvin sedang tidak bisa menjawab pesan singkatnya jadi Tamara memutuskan untuk membuat laporan atas meeting yang dilaksanakan kemarin sore ketika dirinya tidak ada di tempat.

***

"Ini, makanlah!" Pras berdiri di depan meja Tamara sambil menyerahkan kantong plastik yang Tamara tebak adalah makan siang.

"Apa ini?" Tamara mengernyit heran sambil menerima kantong plastik dari Pras.

"Makan siang untuk calon istriku, tadi sepulang dari bertemu klien aku membelikanmu nasi bebek," ucap Pras sambil tersenyum.

Tamara terpana sesaat. "Maaf tadi saya nggak bisa ikut anda bertemu klien karena laporan yang kemarin belum selesai dan harus selesai setelah jam makan siang untuk meeting lanjutan," jelas Tamara merasa tidak enak.

"Tidak masalah lagipula klien yang tadi bermata keranjang, aku nggak mau dia lihat kamu," kata Pras yang kemudian berlalu meninggalkan Tamara yang masih menatap Pras dengan heran.

Pras menutup pintu ruangannya sambil tersenyum.

***

Tamara mencium aroma bebek panggang yang berwarna kecoklatan mengkilat di depannya dengan perut yang sudah memberontak. Tamara kemudian memakan makanannya dengan lahap.

"Baru jadi calon istri aja, gue udah makmur. Gimana kalau jadi istrinya besok?" Tamara membatin.

Pak Pras tahu banget gue sedang malas ke kantin buat makan siang. Makanan dari pak Pras sangat menolong gue yang sedang dikejar deadline karena kemarin cuti. Tamara tersenyum.

"Kalau gue pikir-pikir lagi, gue beruntung. Pak Pras masih muda, ganteng dan kaya." Tamara terkikik geli di dalam hati.

Kemudian satu sisi hatinya mengolok-oloknya. Lo nggak ubahnya sedang menjual diri kepada Pras.

Tamara segera menggelengkan kepala untuk mengusir etan yang berusaha menjatuhkan mentalnya. Dia tidak mau ambil pusing lagi. Dia akan dinikahi secara hukum dan agama. Dia istri sah Pras besok jadi menurutnya semuanya bisa diluruskan jika mereka sudah menikah nanti!

***

Tamara berjalan di koridor rumah sakit bersama dengan Pras yang berada di sampingnya. Pras kemudian menggenggam tangan Tamara. Hati gadis itu menghangat. Pras memang selalu perhatian dan banyak melakukan hal-hal manis untuknya. Mereka baru saja selesai membayar biaya ibu Tamara selama dirawat di rumah sakit. Pras bahkan sudah melunasi utang ayah Tamara yang tidak sedikit itu.

Tamara sadar dia tidak akan bisa lari lagi karena semua biaya yang dia minta sudah diberikan oleh Pras. Lagipula, Tamara mulai sedikit menaruh harapan akan hubungannya dengan Pras.

"Makasih banyak, ya. Kamu udah banyak bantu aku," kata Tamara seraya tersenyum menatap Pras.

"Sama-sama, kamu calon istri aku dan udah seharusnya aku bantu kamu, kan?" Pras mengeratkan genggamannya pada tangan Tamara.

Tamara mengangguk dan tersenyum lagi. Tamara tidak tahu apakah Pras akan berakhir mencintainya atau tidak. Tamara hanya tahu bahwa saat ini Pras masih menyimpan nama Karin di dalam hatinya. Tamara tidak serta-merta tahu tapi Pras sendiri yang mengatakannya dan pria itu meminta Tamara untuk membantunya melupakan Karin.

Mereka berdua berjalan menuju ruang rawat inap ibu Tamara. Ketika mereka tiba disana, ibu Tamara memasang wajah jahilnya.

"Wah ada tamu! Siapa ini, Ras?" Nurmala tersenyum penuh arti.

"Emm..." Tamara menoleh ke samping dimana Pras berdiri. "Ini Pras, Bu," jawab Tamara.

"Saya Pras, Bu." Pras kemudian maju selangkah dan mengambil tangan Nurmala untuk bersalaman.

"Oh, Nak Pras." Nurmala tersenyum.

"Saya pacar Tamara," lanjut Pras yang membuat mata Tamara langsung mendelik.

"Ibu sudah duga Nak Pras pacarnya Saras." Nurmala terkekeh. "Kenapa nggak pernah bilang kalau sudah punya pacar?" Nurmala mengalihkan perhatiannya kepada Tamara.

"Ya..." Tamara menggaruk leher bagian belakangnya. "Ya karena Saras nunggu waktu yang tepat, Bu," Tamara beralibi. "Emm..." Tamara melirik ke arah Pras sekilas. "Pras sudah jadi pilihan Saras, Bu. Jadi kami berdua di sini mau minta restu," kata Tamara yang membuat Pras menoleh ke samping untuk menatap wajah gugup Tamara.

Nurmala mengerutkan keningnya. "Kalian sudah berniat ke arah yang lebih serius?" Nurmala bertanya.

"Ya, Bu," Pras dengan cepat menyahut. "Saya ingin menikahi Tam..." Pras mengerutkan dahinya sekilas. "Emm maksud saya Saras, atas izin dari Ibu," lanjut Pras.

Dada Tamara tiba-tiba membuncah. "Bu, kami memang berniat menikah tapi kami akan menunggu Ibu sehat dulu," kata Tamara.

TerberaiWhere stories live. Discover now