Hal Yang Paling Buruk

921 70 1
                                    

Pras mematung melihat Karin yang berlalu dengan langkah gontai. Pras bahkan tidak bisa menahan diri lagi kala tangan Karin beberapa kali mengusap pipinya.

"Karin!"

Tamara yang masih menggandeng lengan Pras dengan wajah tersenyum, kini mengatupkan rahangnya kuat-kuat. "Bersiap untuk hal yang paling buruk," batin perempuan yang kini mengenakan celana kerja berwarna hitam itu.

Pras menoleh sebentar ke arah Tamara kala di lihatnya Karin berhenti melangkah dan menoleh ke belakang, tepatnya menoleh ke arah Pras dengan wajahnya yang terlihat mendamba.

"Pulanglah naik taksi malam ini! Aku harus mengantar Karin sampai ke rumahnya." Pras dengan pelan melepaskan gandengan tangan Tamara dari lengannya.

Tamara hanya mampu memadang wajah Pras yang mengatakan hal terebut tanpa rasa menyesal sedikit pun. Pras kemudian berjalan menghampiri Karin tanpa menoleh ke belakang lagi. Pria itu meninggalkan Tamara yang kini mematung menatap calon suaminya pergi bersama mantan kekasihnya.

Pandangan Tamara mendadak kosong. "Kisah mereka belum selesai juga, ya?" tanya perempuan bertubuh langsing itu dengan nada lirih.

Pras dan Karin sudah tidak terlihat lagi. Kini Tamara hanya berteman sepi. Kakinya menyusuri trotoar jalan. Akhirnya, dia memilih duduk di halte bus yang paling dekat. Dengan perasaan yang tidak bisa dijabarkan lagi, jemari Tamara mulai mengetikkan pesan yang kemudian dia kirimkan untuk Gangga.

"Peduli setan!" katanya dengan nada kesal. "Nggak nyangka calon suami gue egois banget," lanjut Tamara dengan kaki yang sudah di hentakkan dengan cukup keras.

"Nggak terkirim," gumam Tamara kala melihat ponselnya kembali.

Kemudian dengan cepat, Tamara mulai memesan taksi online yang sayangnya sudah lima belas menit belum juga datang. Masalah yang biasa di hadapi di ibukota, kemacetan yang sebenarnya sangat tidak di sukai Tamara.

Helaan napas lelah terdengar keluar dari mulutnya. Dia menggenggam ponselnya dengan erat. Matanya mulai kembali menatap jalanan di depannya yang sedikit lengang dari sebelumnya. Dia menggigit bibir kala rasa sesak tiba-tiba menyerbu. Rasa kecewa akibat sikap Pras benar-benar membuat Tamara tidak bisa berpikir jernih sekarang.

"Apa gue batalin aja pernikahannya?" tanyanya dengan nada miris.

Dia lantas mengusap pipisnya yang sudah basah karena air mata yang tidak di sadarinya sudah jatuh lebih dulu tanpa memberi aba-aba.

Duaaarrrr!

"Ya Tuhan!" Tamara berseru sambil beringsut dan menutup telinganya.

Mata perempuan itu menutup secara otomatis karena rasa takut kala petir menyapa bumi. Setelah di rasa suara petir yang datang tidak sekuat sebelumnya,Tamara menurunkan kedua tangannya yang menutupi telinganya. Angin berhembus dan menyentuh kulitnya yang hari itu memakai kemeja berlengan pendek.

Tamara mendekap tubuhnya sendiri. "Kenapa harus turun hujan juga malam ini? Apa nggak cukup perasaan aneh ini bikin mood gue hancur?" Tamara mendesah kala butiran-butiran air mulai jatuh dari langit dan menyatu dengan tanah.

Hawa dingin semakin terasa dan Tamara jelas mulai menggigil kedinginan. Malam itu, hujan turun di sertai angin yang cukup kencang. Tubuh Tamara sedikit basah karena terpaan air hujan.

Perempuan itu bisa bernapas lega kala melihat taksi online yang dia pesan sudah datang. Dengan cepat, Tamara segera masuk ke dalam taksi yang membawanya kembali ke kosannya.

***

Tamara melangkahkan kakinya memasuki gedung kantor dengan enggan. Wajahnya sudah tertekuk karena rasa kesal yang di rasakannya. Semalam, dirinya menginap di kamar teman sesama penghuni kosan. Pagi ini, penampilan perempuan itu terlihat tidak cukup baik. Matanya sedikit menggembung dan wajahnya terlihat sedikit memucat.

"Tamara?"

Mata Tamara terpejam kala dirinya sedang berada di depan lift. Dia kemudian menghembuskan napas dalam. Tubuhnya berputar dan wajah Pras berhasil membuat perasaannya semakin memburuk pagi itu.

"Pagi, Pak." Tamara menunduk dengan tersenyum sekilas.

Setelahnya, dia kembali memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah lift. Sedangkan Pras, pria itu menatap punggung Tamara yang kini memasuki lift. Ada beberapa karyawan lain yang berada di dalam lift tersebut. Pras hanya bisa berdiri di belakang Tamara tanpa berani mengatakan apapun. Pria itu mencuri pandang ke arah Tamara melalui pantulan pintu lift yang mengkilap.

Tamara menatap deretan angka di depannya. Secara tidak sengaja, matanya bertemu dengan mata Pras melalui pantulan pintu lift ketika dia kembali menghadap lurus ke depan. Perempuan dengan rambut tergerai itu lantas menelan salivanya dengan rasa yang mengganjal di tenggorokannya.

"Gue nggak seharusnya marah dengan sikap Pras karena sejak awal hubungan ini hanya sekedar simbiosis mutualisme antara bos dan sekertarisnya," batin Tamara.

Langkah Tamara terlihat tergesa-gesa kala pintu lift terbuka. Pras mengikuti perempuan itu dengan langkah lebar. Matanya terlihat mengintimidasi beberapa karyawan laki-laki yang berpapasan dengan Tamara dan ingin menyapa perempuan itu. Mereka memilih tersenyum seadanya dan menundukkan kepala ke arah Pras.

Sesampainya Tamara di meja kerjanya, Pras ikut berhenti. Pria itu berdiri dengan satu tangannya yang dimasukkan ke dalam saku celana kerja.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Tamara dengan sopan setelah dirinya meletakkan tas kerjanya.

"Ekhem!" Pras menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal. "Ke ruanganku sekarang!"

Tamara menaikkan alisnya tinggi kala Pras pergi begitu saja dari hadapannya menuju ke ruangan kerja pria itu. "Dasar aneh!" gumam Tamara dengan nada kesalnya.

Dengan malas, Tamara segera menuju ke ruangan bosnya. Dia berdiri di depan meja Pras tanpa berkata-kata.

"Duduklah!" Pras menunjuk kursi di depan meja kerja dengan dagunya.

Tamara menurut. Dia duduk dengan tenang dan menatap lurus ke manik mata Pras. Pria itu terlihat tidak merasa bersalah kepada Tamara dan hal itu jelas semakin membuat hati Tamara terasa di remas kuat.

"Maaf untuk kejadian kemarin," Pras berkata dengan nada lembut.

Tamara menautkan jari-jarinya dan masih menatap mata Pras tanpa rasa terintimidasi sedikit pun. Perempuan berkulit cerah dengan bulu mata lentik itu terdiam selama beberapa detik sebelum kemudian mengangguk setelah memastikan Pras tidak mengatakan hal lain lagi.

"Tidak apa-apa, saya mengerti." Tamara berusaha terlihat normal.

Pras menghela napas dalam. "Karin sedang hamil dan aku rasa tidak benar kalau aku membiarkan dia pulang seorang diri," kata Pras.

"Apa anak itu adalah anak anda?" tanya Tamara dengan lugas.

Pras mengerutkan keningnya dalam kemudian menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Ah, bukan!" jawabnya. "Kamu jelas tahu bahwa Karin sudah memiliki suami sekarang," lanjut Pras.

"Oh begitu, saya pikir suaminya yang akan menjemput istrinya yang sedang hamil muda. Bukankah seharusnya seorang pria bertanggung jawab atas pasangannya?" tanya Tamara dengan nada menyindir.

Pras terdiam. Rahangnya mengetat kuat seiring senyum Tamara yang terlihat tidak tulus. Ruangan yang cukup besar itu kini terasa sesak bagi Tamara. Dia ingin segera keluar dari ruangan itu sekarang juga karena sepertinya Pras tidak berniat menjawab pertanyaan dari Tamara.

"Kalau sudah tidak ada yang perlu di bicarakan, saya permisi, Pak." Tamara berdiri dan menundukkan kepalanya dengan cepat.

Perempuan itu berjalan menuju pintu dengan membawa semua rasa kecewa yang kini bersarang di hatinya.

___________________________________________________________________________


Halooo, jangan lupa follow penulis dan beri vote yaaa...

Thank youuuu ~

TerberaiWhere stories live. Discover now