Kenangan di Rumah Itu

812 93 4
                                    

Hai! Jangan lupa follow dulu sebelum membaca

Btw musim hujan cocok banget sore-sore bikin kopi atau teh hangat sambil baca kisah Tamara dan Pras :)

________________________________________________________________________________

"Ngapain ke sini lagi, Kak?"

Pras tersenyum tipis. Dia telah sampai di teras rumah Nurmala saat jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Sudah tiga minggu ini, Pras akan pulang ke sana setiap hari Sabtu. Dia pikir, istrinya itu pasti akan pulang ke sana.

"Alvin!" Nurmala datang dengan dan memberikan peringatan kepada anak keduanya itu. "Nggak boleh kayak gitu! Yang sopan sama Kak Pras!"

Alvin yang awalnya memasang wajah tak suka, kini memaksa senyumnya di depan sang ibu.

"Selamat pagi, Bu!" Pras mendekat dan meraih tangan Nurmala untuk ia cium seperti biasanya.

"Selamat pagi." Nurmala tersenyum.

"Eh, Ibu. Sarapannya udah jadi, Bu?" tanya Alvin.

Nurmala mengangguk. "Udah. Nak Pras, ayo masuk! Kita sarapan bersama," ajak Nurmala.

Pras mengangguk dan membawa tas ransel berisi pakaian ke dalam rumah. Dia langsung berhenti di meja makan. Alma terlihat sedang menata piring dan sendok di atas meja. Wajahnya seketika terkejut melihat Pras datang dan duduk di kursi.

"Kak Pras?" Alma tersenyum lebar.

"Selamat pagi, Alma." Pras mengangguk.

Rutinitas setiap akhir pekan yang Pras lakukan. Alma lebih bisa menahan emosinya daripada Alvin ketika bertemu dengan Pras. Terlebih Nurmala. Ibu kandung Tamara itu membiarkan putri serta menantunya untuk menyelesaikan masalah mereka.

Pras jelas ingat. Saat itu tepat di hari Sabtu, dia datangke rumah Nurmala di jam sepuluh pagi. Sejenak Nurmala terlihat bingung dengan kedatangannya ke Bandung tanpa membawa sang istri.

"Saras nggak ikut?" tanya Nurmala.

Pras menggeleng dan tersenyum samar. Di sana ada Alvin dan Alma yang sedang duduk di ruang keluarga. Alvin melirik Pras dan tidak mengajak pria itu bicara. Bahkan Alvin enggan untuk menyapa Pras. Sedangkan Alma, gadis itu masih terlihat ramah seperti biasa kepadanya.

"Pras mau bicara, Bu." Pria dengan kaos berwarna hitam itu memberanikan diri untuk memulai.

"Ada apa?" Nurmala nampaknya sudah menunggu momen seperti ini.

"Saras marah besar dan Pras yang salah. Saras nggak pulang ke rumah kami, Bu." Pras menunduk sejenak.

Nurmala menghela napas dalam. Alma memilih mematikan televisi dan pergi dari sana untuk menghormati obrolan kedua orang dewasa itu. Sementara Alvin, memilih menunggu di sana sambil bermain ponsel. Dia pura-pura tidak mendengar apapun.

"Apa yang sudah kamu lakukan sampai Saras marah besar? Ibu tahu bagaimana sifat Saras. Dia nggak akan marah dan memilih kabur dari kamu kalau kesalahan yang kamu lakukan bukan kesalahan besar." Nurmala menatap menantunya yang kini terlihat menyesal.

"Pras..." Pria itu menelan ludah gugup.

Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh ibu mertuanya seandainya dia berkata jujur. Tapi... Pras tidak mau berbohong. Biarlah dia menerima jika pada akhirnya ibu mertuanya menyumpah dirinya karena telah membuat sang putri kesayangan terluka.

"Pras selingkuh," ucapnya.

Nurmala tidak bereaksi. Sampai akhirnya dia kembali membuka suaranya.

"Ibu minta maaf kalau putri Ibu memiliki banyak kekurangan. Ibu minta maaf kalau Saras memiliki kesalahan sehingga kamu memilih berselingkuh. Meskipun demikian, seorang Ibu tidak akan rela kalau anaknya dikhianati, apalagi kalian sudah berumah tangga. Jadi kalau memang Saras tidak cukup baik untukmu, lepaskan saja putri Ibu. Selesaikan pernikahan kalian setelah Saras melahirkan dan tolong..." suara Nurmala terdengar bergetar. "Tolong kembalikan Saras kepada Ibu dengan baik, seperti saat kamu memintanya dulu."

Hati Pras robek. Hal yang dia takutkan keluar dari bibir ibu mertuanya. Matanya merah dengan tangan gemetar. Melepaskan Tamara dan anak mereka bukan hal main-main. Pras turun dari kursinya dan bersimpuh menghadap sang ibu mertua.

Alvin memutar bola matanya jengah. Dia marah tapi dia juga tidak tega melihat Pras yang kini sudah hampir menangis. Dia memilih berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Meski sebenarnya, Alvin sangat ingin memukul wajah Pras karena sudah melukai kakaknya.

"Ibu, Pras minta maaf." Pria itu menunduk lesu. "Tolong beri Pras kesempatan lagi. Pras janji nggak akan menyakiti hati Saras lagi. Pras mengaku salah." Pras meneteskan air mata.

Nurmala menahan diri untuk tidak ikut menangis meski hatinya terasa hancur. "Kalau kamu memang ingin sebuah kesempatan, temukan Saras dan bawa dia kembali ke rumah kalian. Yakinkan dia bahwa kamu tidak akan melakukan hal yang sama lagi. Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kalian. Biar Saras yang mengambil keputusan. Ibu tidak akan ikut campur dengan masalah kalian."

Pras mendongak dan menatap mata ibu mertuanya yang terlihat kecewa dan juga sedih. Dia mengangguk paham.

"Pras janji akan bawa Saras pulang, Bu. Pras minta doa restu dari Ibu supaya rumah tangga kami kembali utuh."

***

Hari minggu tiba. Pras menyiram tanaman yang ada di halaman rumah Tamara. Kegiatan pagi hari yang cukup membuatnya tenang. Setelahnya, pria itu membuat kopi dan duduk diam di teras rumah.

Matanya memandang tanaman-tanaman yang sudah terlihat segar. Dia menghirup udara sebanyak yang ia bisa ketika rindu kembali menggelayut di hatinya.

"Kenapa nggak nyerah aja, Kak?"

Pras terbelalak ketika sebuah suara datang dari arah pintu. Alvin, adik iparnya itu sedang berdiri dengan sebuah cangkir di tangannya. Pras tersenyum dan menunjuk kursi di sebelah meja yang kosong dengan dagunya.

"Duduk sini, Vin!" ucapnya.

Alvin berjalan mendekat dan duduk di kursi. Dia meminum kopi susunya dengan pelan karena masih panas. Matanya menatap lurus ke depan dan Pras tahu kalau Alvin masih saja marah kepadanya.

"Kakak tahu kalau kamu sebenarnya sudah mendengar kabar itu dari Kak Saras," kata Pras.

Alvin mengangguk. "Ya, Kak Saras cerita banyak ke aku," jawabnya.

Kemudian dia menoleh dan menatap Pras. "Kenapa Kakak tega sama Kak Saras? Aku yakin Kak Saras udah berusaha jadi wanita sempurna buat Kak Pras." Mata pemuda itu terlihat kecewa.

"Kak Pras minta maaf. Kak Saras nggak salah dan dia juga istri yang sempurna buat Kak Pras. Kak Pras yang salah, Vin." Pras jelas tidak akan membela diri.

Alvin kemudian diam dan matanya kembali menatap ke arah depan.

"Maaf kalau kehadiran Kak Pras di rumah ini mengganggu kamu. Tapi..." Pras menelan ludah dengan perasaan sakit. "Cuma di rumah ini, Kak Pras bisa merasakan kehadiran Kak Saras. Istri Kak Pras tumbuh besar di rumah ini bersama kalian, keluarga yang dia cintai. Kak Pras merasa tenang karena ada kenangan Kak Saras di dalam rumah ini. Kak Pras awalnya nggak pernah bisa tidur. Tapi setelah Kak Pras ada di kamar Kak Saras, Kak Pras bisa memejamkan mata meski hal itu jelas nggak bisa mengobati rindu Kak Pras sama Kakakmu dengan sempurna." Pras tersenyum miris.

Ya, itu adalah alasannya datang ke rumah Nurmala setiap akhir pekan. Pras menemukan kedamaian ketika berada di rumah itu. Seolah-olah, sang istri ada di sana bersamanya.

"Kak Pras selalu merasa bahwa Kak Saras akan pulang ke sini suatu saat nanti. Dan perasaan itu yang membuat Kak Pras memiliki harapan."

Alvin meneguk ludah kasar. Dia menimbang-nimbang, apakah dia harus mengatakan kepada kakak iparnya itu ke mana kakaknya pergi? Alvin kemudian meraih cangkirnya dan meminum kopinya dengan tenang.

Setelah ini, dia pasti tidak akan lolos dari amarah kakak perempuannya.

"Aku bisa kasih tahu di mana keberadaan Kak Saras kalau Kak Pras mau."


TerberaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang