Parasit

1.2K 90 1
                                    

"Saras, ambilkan makanan untuk suamimu!" kata Nurmala.

Tamara melirik ke arah Pras yang baru saja duduk dan bergabung bersama Tamara, Nurmala dan juga adik-adik Tamara. Pras terlihat tersenyum ramah pada adik-adik Tamara dan juga Nurmala.

Dengan malas, Tamara segera mengambilkan makanan untuk Pras. Dia mengambilkan porsi yang sangat banyak untuk Pras. Suaminya itu hanya mampu menatap dengan mata sedikit melotot ke arah piring yang masih di pegang oleh Tamara.

Tamara meletakkan sepiring penuh makanan ke hadapan Pras, "Ayo di makan, Sayang!" kata Tamara dengan wajah yang tersenyum manis.

"Sayang, ini banyak sekali," ucap Pras sambil tersenyum.

"Kamu biasanya juga makan sebanyak itu di rumah, Mas." Tamara menjawab sambil menatap Pras yang masih terlihat belum menyentuh makanannya. "Kamu udah lelah bekerja jadi kamu harus makan makanan bergizi, Sayang."

Pras tersenyum kaku. Dia memilih tidak menanggapi ucapan Tamara dan mulai memakan makanan yang ada di depannya.

"Makanan Ibu nggak seenak masakan Tamara, ya?" goda Nurmala.

Pras menoleh ke arah kiri di mana Nurmala duduk. "Bukan begitu, Bu." Pras menggelengkan kepalanya. "Hany-"

"Nggak apa-apa, Ibu paham. Namanya juga pengantin baru!" Nurmala terkekeh.

Alvin dan juga Alma ikut tertawa karena wajah Tamara dan Pras kini berubah memerah seperti tomat.

"Kak Saras salah tingkah lho, Bu!" celetuk Alvin sambil menatap Tamara yang sudah melototo kepadanya.

"Alvin! Jangan pernah berani menggoda Kakak, ya! Atau nggak akan ada uang saku untuk minggu besok!" Tamara memicingkan matanya.

Pras tersenyum melihat bagaimana Alvin menangkup tangan dan meminta maaf kepada Tamara seolah-olah hukuman Tamara memang sangat berat.

"Kalau Kak Saras nggak transfer uang sakumu, kamu bisa hubungi Kak Pras, Vin." Pras kemudian kembali menyendokkan nasi dan lauk ke dalam mulutnya.

Alvin mengacungkan jempolnya ke depan. "Baik, Kak! Alvin nggak takut lagi sama Kak Saras," ucap pemuda itu sambil menjulurkan lidahnya kepada Tamara.

Tamara memasang wajah cemberut dan menatap Pras dengan mata yang siap menguliti pria itu. Pras hanya mengangkat bahunya dan tersenyum penuh arti pada Tamara.

Suasana ruang makan terasa sangat hidup malam itu. Masing-masing dari mereka sama-sama merindukan momen kebersamaan yang jarang terjadi semenjak Tamara menikah. Pras sendiri merasa betah di sana. Semua orang di rumah itu sangat baik kepadanya.

Pras tersenyum melihat bagaimana Tamara tertawa lepas di sana. Nurmala dan juga adik-adik iparnya terlihat sangat bahagia dengan kebersamaan mereka. Ada sedikit rasa bersalah yang tiba-tiba hadis di hati Pras. Sebagai suami Tamara, dia terlalu banyak membuat wanita itu menangis.

"Maafkan Pras, Bu!" batinnya.

Selesai makan malam, Alvin pamit pergi untuk mengerjakan tugas bersama teman-temannya di sebuah kafe. Sedangkan Alma sudah masuk ke dalam kamar untuk belajar. Dua anak manusia yang selalu membuat Tamara bangga dan tidak berhenti bersyukur. Adik-adiknya sangat rajin belajar dan mengerti tanggung jawab mereka masing-masing.

Sedangkan Nurmala, wanita itu juga sudah masuk ke dalam kamar karena harus segera beristirahat. Kini, Tamara duduk di teras rumah dengan secangkir air putih hangat di tangannya.

"Kamu ada di sini?" Pras datang dengan secangkir kopi dan berjalan mendekati istrinya.

Tamara yang sedang menatap halaman rumahnya kemudian menoleh. Dia melihat bagaimana sikap tenang Pras ketika bertemu dengannya. Bahkan Tamara kesal karena dia tidak bisa memiliki sikap setenang Pras hari itu.

"Ada apa?" tanya Tamara sambil mengalihkan perhatiannya ke halaman rumah.

Pras menatap istrinya dari samping kanan. Pipi Tamara terlihat lebih berisi dari sebelumnya. Ada rasa hangat dan juga tenang di dalam dadanya.

Pras menyesap kopinya dengan pelan. Rasa pahit begitu mendominasi lidahnya. Kopi hitam tanpa gula dan juga creamer adalah pilihan Pras malam itu. Pria itu meletakkan cangkirnya ke atas meja dengan senyum mengembang.

"Bagaimana keadaan anak kita?" tanya pria itu sambil terus menatap istrinya.

Tamara menoleh sekilas. "Dia sehat dan juga bahagia," jawab Tamara sambil menekankan kata 'bahagia' di akhir kalimatnya.

Kata sindiran yang benar-benar membuat senyum Pras musnah seketika. "Besok kita pulang ke rumah, ya?" Pras masih tidak ingin menyerah.

Tamara menghela napas panjang. "Kamu sudah dengar apa yang aku katakan sebelumnya, kan? Aku masih ingin berada di sini, Mas." Wajah Tamara terlihat kesal.

"Aku masih sah menjadi suamimu, Tamara." Pras mengusap wajahnya. "Kamu harus mendengarkan ucapanku," kata Pras.

Tamara terkekeh pelan. "Ya, kamu benar! Apalagi kamu yang memiliki semua harta itu dan kamu sudah berbaik hati menolongku," jawab Tamara dengan nada menyindir.

Pras mendongak sejenak. "Oke! Aku minta maaf kalau aku sempat mengatakan hal itu padamu. Tapi memang begitulah keadaan yang sebenarnya dan aku nggak suka rumah sepi karena istriku nggak menuruti ucapanku," ucap Pras.

Tamara menoleh dan menatap Pras dengan tajamnya. "Rumah sepi? Kenapa kamu nggak ngajak wanita itu untuk tinggal bersamamu di sana?" tanya Tamara dengan nada mengejek.

"Dia bukan istriku! Aku nggak sebodoh itu, Tamara."

"Aku tahu kalau kamu adalah pria berpendidikan tapi sayangnya nggak semua orang berpendidikan bisa memperlakukan istri mereka dengan benar," sahut Tamara dengan nada bergetar.

"Oke!" Pras mengangguk. "Sekarang, apa yang kamu inginkan? Kamu ingin berpisah dariku?" tanya Pras menantang.

Tamara terlihat melebarkan matanya. Hanya beberapa detik sebelum kemudian dia memasang wajah datar kembali. Tamara menelan salivanya dengan cepat.

"Kalau kamu ingin bercerai, aku ingin meminta bagianku." Tamara menatap lurus ke depan.

"Apa maksud kamu?" Pras tahu bahwa Tamara tidak pernah takut jika dirinya menceraikan istrinya itu.

Tamara terkekeh. Dia bersedekap tanpa mau menoleh dan menatap suaminya itu.

"Mas, aku nggak bodoh! Kita sebentar lagi memiliki seorang anak dan aku ingin mendapatkan bagian dari harta kamu," kata Tamara dengan nada tegas.

Pras tertawa. "Ucapan dia emang benar! Kamu seperti parasit, Tamara!" kata Pras sambil beranjak berdiri.

Pria itu terlihat mengepalkan tangan kanannya dengan kuat. Dia benci keadaan mereka berdua makam itu.

Tamara mengeratkan rahangnya. "Dia?" tanyanya.

"Ya, dia adalah seseorang yang aku cinta dan kabar baiknya dia emang lebih beradab dari pada kamu!" jawab Pras.

Tamara hendak mengatakan sesuatu. Namun, Pras sudah lebih dulu melangkah pergi dari sana meninggalkan dirinya berteman dengan angin malam.

"Aku tahu kalau kamu nggak akan bisa menerima perpisahan kita sekarang ini dan aku jelas tahu kalau egomu sedang terluka. Tapi sejujurnya aku juga nggak tahu apakah aku bisa hidup tanpa kamu atau enggak!" jerit hati Tamara.

Tamara beranjak berdiri dari sana. Dia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar di mana ada Pras di dalamnya. Tamara mengantuk dan dia ingin tidur. Masa bodoh dengan Pras yang berada di satu kamar yang sama dengannya.

Pria itu terlihat sedang memeriksa ponselnya sambil duduk di atas ranjang. Tamara melotot.

"Kamu sedang apa?!" tanyanya dengan wajah panik.

Pras mendongak dan tersenyum miring. "Kamu benar-benar nakal, Tamara."

TerberaiWhere stories live. Discover now