Harga Diri Dan Perasaan

938 70 0
                                    

Pratinjau : Jangan memulai hal yang akan kamu sesali, Tamara!

______________________________________________________________________

Menginjak usia ke tiga bulan, Tamara mulai sering merasakan mual ketika dirinya makan nasi putih. Bahkan siang itu, dia membuat mie instan karena sama sekali tidak bisa memakan nasi. Wanita itu juga mengalami morning sickness yang benar-benar menganggu aktivitasnya sehari-hari.

Tamara akan bermalas-malasan ketika suaminya sedang bersiap pergi bekerja. Wanita itu memutuskan untuk memakai jasa pembantu untuk sementara waktu. Bahkan untuk mencium aroma bawang putih saja Tamara tidak mampu, oleh sebab itu untuk urusan dapur kini wanita itu lebih mempercayakan kepada pembantu mereka.

"Non, sedang bikin apa?"

Tamara yang sedang menuangkan bumbu ke atas piring menoleh sekilas dan tersenyum. "Sedang bikin mie instan ini, Mbak." Tamara berjalan menuju kompor dan mengaduk mie-nya yang sedang di masak di atas panci.

"Biar Mbak aja yang masak. Non Tamara tunggu aja di ruang TV," kata Mbak Ita.

Tamara menggelengkan kepalanya. "Enggak, Mbak," jawabnya. "Biar aku terbiasa aktivitas di dapur lagi, aku bosan sebenarnya," kata Tamara menambahkan.

Mbak Ita tersenyum. "Sabar, Non. Akan ada waktunya Non Tamara biasa lagi di dapur dan nggak mual." Mbak Ita terlihat sedang mengelap kulkas.

Tamara mengangguk dan tersenyum. Dia kemudian menuang mie ke dalam mangkuk dan membawanya ke meja makan. Tidak ada Pras di rumah jadi dia bisa bebas memakan mie instan. Sejak rasa mualnya datang jika berhadapan dengan nasi dan juga sesuatu yang terlalu banyak mengandung segala macam protein hewani dan juga bawang, Tamara terkadang lebih memilih memakan salad sayur atau salad buah.

Dan karena kali ini keinginan untuk makan mie instan sangat kuat, alhasil dirinya memberanikan diri memasak mie setelah sebelumnya memberitahu mbak Ita supaya tidak mengadukan perbuatannya kepada Pras.

"Lho, kenapa kamu udah pulang?" Tamara baru saja meletakkan mangkok berisi mie instannya ke atas meja dan dia langsung dikejutkan dengan kehadiran Pras secara mendadak.

Pras menaikkan satu alisnya sambil melonggarkan dasi yang melilit lehernya. Dia kemudian berjalan mendekati Tamara yang kini terlihat sedang berdiri dengan wajah tegang. Pras mencium aroma yang langsung membuatnya menatap istrinya dengan tajam.

"Kamu makan mie instan?" tanya pria itu sambil melihat mangkok di atas meja.

Tamara menundukkan wajahnya. "Aku mual, Mas." Dia memilin jari-jarinya.

"Udah berapa kali aku bilang? Jangan pernah makan mie instan! Apa kamu nggak punya otak?!" Pras meraih mangkok tersebut dan membawanya ke dapur.

Sementara itu, Tamara mendongak dan menatap udara kosong di depannya dengan raut tidak percaya. "Ak- aku nggak punya..." Tamara menelan salivanya pelan, "otak," lanjutnya dengan mata berair.

Semenjak hamil, perasaannya menjadi semakin sensitif. Dia kemudian memutar tubuhnya dan berjalan cepat menuju kamarnya. Wanita itu berdiri di depan jendela besar yang ada di sana dengan tatapan sedih.

"Tam?"

Wanita itu tidak ingin menoleh ke belakang. Suaminya pasti sedang berada tepat di belakangnya. Air mata sudah mengalir dengan deras di kedua pipinya. Dia bahkan tidak tahu alasan Pras mengatakan bahwa dia tidak punya otak.

"Tam? Ayo kita makan di restoran pasta kesukaan kamu!" ajak Pras sambil menyentuk bahu istrinya dengan lembut.

Tamara masih enggan menoleh. Dia menggigit bibirnya supaya tidak ada suara isakan yang keluar.

"Hei," Pras membalik tubuh istrinya dan seketika lidahnya terasa kelu.

Pras menghela napas berat. Tamara menundukkan wajahnya dengan pipi berlinang air mata. Pria itu kemudian menarik tubuh istrinya dengan lembut dan mendekapnya. Pras mencium puncak kepala Tamara.

"Maaf," bisik Pras.

Tamara menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Kamu nggak salah, Mas." Wanita itu mencium aroma parfum yang sedikit aneh pada tubuh suaminya.

"Aku udah mengatakan hal yang membuatmu sakit hati, maaf." Pras menangkup kedua pipi istrinya dan menatap Tamara tepat di manik mata wanita hamil itu.

"Kamu benar," kata Tamara. "Aku emang nggak punya otak," suaranya terdengar bergetar hebat.

"Ssstttt!" Pras menaruh jari jempolnya ke atas bibir istrinya dan menggeleng pelan. "Enggak, itu nggak benar! Aku yang udah lepas kendali," sanggah Pras dengan cepat.

"Kamu sepertinya jujur waktu mengatakannya, Mas," ucap Tamara dengan mata meredup.

Pras menghela napas berat. "Maaf, aku hanya sedang ada masalah di kantor," katanya.

Tamara mengangguk paham. "Ya, aku mengerti," jawabnya.

Tamara tidak akan pernah bisa marah kepada suaminya. Dia juga benci jika harus memaafkan Pras dengan semudah itu. Wanita itu bahkan sudah duduk di sebuah restoran pasta bersama Pras dengan mulut yang sibuk mengunyah makanan.

"Mas?" Tamara menatap Pras.

Pria itu sibuk mengetikkan sesuatu ke dalam ponselnya tanpa mendengar panggilan istrinya. Tamara menelan pasta dan menaruh garpunya. Dia menghela napas, Pras dan ponselnya benar-benar membuat wanita itu muak.

"Siapa?" tanya Tamara seraya merebut ponsel dari tangan suaminya.

Pras melotot. Dia kembali merebut ponselnya dengan gerakan cepat hingga membuat terkejut.

"Jangan lancang, Tamara!" Pras memberi peringatan dengan mata tajamnya.

Tamara seketika mengkerut di tempat duduknya. Dia menahan diri supaya tidak terpancing emosi.

"Kamu bentak aku, Mas?" tanya wanita itu dengan tenang.

"Karena kamu kurang ajar! Kalau kamu nggak kurang ajar, aku nggak akan bentak kamu," jawab Pras seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

Tamara tersenyum tipis. "Kamu selalu sibuk dengan ponselmu setiap kali kita sedang berkencan, aku..." Tamara memberikan jeda pada kalimatnya sambil menatap suaminya yang kini juga sedang menatap dirinya dengan wajah datar. "Aku nggak suka," lanjut Tamara dengan jujur.

Pras menaikkan satu alisnya. Sedetik kemudian pria itu terkekeh sambil memalingkan wajah sekilas ke arah kanan.

"Berkencan?" tanya Pras. "Jangan memulai hal yang akan kamu sesali, Tamara!" ucap Pras tajam.

Tamara tahu dirinya hanya akan berakhir dengan perasaan malu di hadapan suaminya sendiri. "Baiklah! Aku mengerti," sahut Tamara dengan cepat.

Wanita itu terlihat membereskan tasnya dan berdiri dari duduknya. "Sebaiknya aku pergi, silahkan kalau kamu mau melanjutkan kegiatanmu yang tertunda," kata Tamara dengan tenang.

Pras melihat bagaimana Tamara berjalan meninggalkannya seorang diri di restoran pasta tersebut dengan rahang yang mengetat kuat. Dia merasa di ludahi oleh istrinya sendiri.

"Terserah!" geramnya dengan kedua telapak tangan terkepal kuat.

Tamara yang berjalan menyusuri trotoar terlihat menahan tangis. Matanya sudah memerah dengan rahang yang sudah mengetat kuat. Pras kembali membentaknya.

"Gue benci jadi seperti ini!" gumamnya.

Dia bukan gadis cengeng, tapi sekarang Tamara berubah menjadi wanita yang sangat sensitif dan sering menangis. Dia benci keadaan ini.

Tamara kemudian menghentikan taksi yang melaju pelan. Dia memutuskan untuk segera pulang ke rumahnya. Pras bahkan tidak menahan dirinya. Perut yang belum sepenuhnya terisi oleh makanan tidak lagi di pedulikan oleh wanita itu. Menyelamatkan harga diri dan perasaannya jauh lebih penting sekarang.

TerberaiWhere stories live. Discover now