Semakin Runyam

729 85 3
                                    

Tamara bergegas masuk ke dalam kamarnya ketika Pras baru saja membuka pintu rumah mereka. Rasanya dia kesulitan untuk berada di satu ruangan yang sama dengan suaminya sendiri. Semua ucapan Melly begitu membekas di kepalanya. Pras berselingkuh.

Meski sudah tahu sejak awal tapi Tamara tetap tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya pada suaminya itu. Dan ketika dia berdiri di samping ranjang tidur dengan bibir yang digigit, Pras masuk ke dalam kamar mereka.

Pria itu langsung tersenyum begitu melihat istrinya yang nampak cantik dengan daster hamil berwarna putih. Pras berjalan menuju ke arah Tamara. Dia meletakkan jasnya di kursi rias dan melonggarkan dasi yang membelit lehernya.

"Aku ingin makan banyak malam ini," ucap Pras.

Tamara mengangguk paham. "Aku udah masak. Kamu makan sendirian, ya? Aku lagi nggak nafsu makan," jawab Tamara seraya menghindari tatapan mata suaminya.

Pras mengerutkan kening. Dia duduk dan menggenggam jemari tangan istrinya. Pras membawa Tamara duduk di sampingnya. Tangannya bergerak menyentuh perut Tamara. Dia membungkuk dan membuat Tamara melebarkan mata. Pras mencium perut istrinya dengan penuh kasih sayang.

Napas Tamara tertahan. Dia meneguk ludah dengan hati yang rasanya tercubit. Pras kemudian tersenyum kepadanya. Tamara hanya bisa terdiam melihat wajah Pras yang nampak teduh.

"Kamu kenapa?" tanya suaminya.

Tamara masih diam sambil menggelengkan kepalanya. Pras sedikit hafal dengan tabiat sang istri jika sedang ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"Jangan bohong! Kamu lagi mikir apa?" tanya pria itu tak percaya.

"Aku..." Tamara kehilangan suaranya.

Dia kesulitan untuk meneruskan ucapannya. Wanita itu hanya mampu diam dengan mata yang tiba-tiba muncul genangan air. Pras mengerutkan dahinya dengan tangan yang semakin erat menggenggam jemari sang istri.

"Apa semua ini tentang aku?" tanya Pras.

Tamara memejamkan mata seraya menunduk. Dia mengangguk lemah. Rasanya seperti ada badai yang datang di hati Pras. Tenggorokannya tercekat dengan mata yang mengerjap beberapa kali.

"Aku kira masalah kita udah selesai. Apa lagi yang bikin kamu kayak gini?" Pria itu mengusap punggung tangan Tamara dengan pelan.

"Aku mau siapin makanan buat kamu dulu, ya?" Tamara berdiri dengan tiba-tiba dan bergegas pergi dari hadapan Pras.

Pria dengan kemeja yang sudah tidak rapi itu menoleh ke arah pintu kamar dan menatap kepergian sang istri dengan jantung yang merosot sampai ke perut. Dia menghela napas berat. Tangannya melepas dasi yang ia kenakan dengan sedikit kesal.

Tubuhnya lelah, pikirannya juga lelah. Dan setelah pulang ke rumah, hatinya juga ikut lelah. Pras berdiri dan membanting dasi yang baru saja ia lepas ke atas lantai. Dia meninju udara di depannya dengan sekuat tenaga.

"Brengsek!" makinya.

Tangannya menyugar rambut dengan mata terpejam. Kepalanya seketika terasa berat. Tanpa ia sadari sang istri masih berada di balik pintu. Tubuh Tamara menggigil dengan tangan kanan membekap mulutnya. Dia terperanjat ketika Pras memaki dengan suara keras.

Tubuhnya gemetar. Isakannya tertahan tapi air matanya mengalir dengan deras. Dengan cepat dia berjalan ke ruang makan. Wanita itu mengusap air mata di pipinya dengan punggung tangan.

"Jangan membuat semuanya menjadi semakin runyam, Ras!" batinnya.

Tamara segera menyiapkan makanan untuk Pras. Dan ketika semuanya sudah selesai, suaminya datang dengan rambut yang masih basah. Tamara menoleh ketika mendengar suara kursi yang ditarik ke belakang.

Dia menatap Pras yang duduk tanpa banyak bicara. Wajahnya nampak tidak bersahabat. Tamara melihat kaos Pras yang sedikit basah karena air dari rambut pria itu yang masih menetes. Wanita itu menghela napas berat. Dia berjalan meninggalkan Pras sendirian di meja makan.

Tak berapa lama, Tamara kembali. Dia merentangkan handuk berwarna abu-abu yang ada di tangannya. Dengan lembut, wanita itu mengusap rambut Pras. Tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Pras yang sempat kaget kemudian memilih untuk tetap diam dan memakan makanannya.

Keheningan terjadi cukup lama sampai Tamara selesai mengeringkan rambut suaminya. Setelahnya dia memilih masuk kamar dan mencoba menata hatinya yang tidak bisa tenang barang sebentar saja. Sejak kembali dari pertemuannya dengan Melly, Tamara benar-benar merasa tertekan.

"Perselingkuhan kamu udah kecium orang lain, Mas," batinnya sambil mengusap dahi dengan gerakan resah.

Pras terdiam di meja makan ketika istrinya memilih menghindarinya. Dia membanting sendoknya dan meminum air di gelas yang sudah di sediakan oleh Tamara. Pras berusaha menahan amarahnya. Meski rasanya dadanya sudah hampir meledak menghadapi kemarahan Tamara di saat dirinya sedang stres dengan urusan kantor, tapi Pras masih memiliki logika.

"Wanita terbaik memang susah diyakinkan," batinnya.

Setelah selesai makan, Pras segera menyusul sang istri ke kamar. Dia membuka pintu kamar dengan hati-hati. Dan di saat itulah, dia melihat Tamara yang sedang mengusap air mata di kedua pipinya secara bergantian.

Pras mendekati sang istri. "Kenapa kamu menangis?" tanyanya dengan nada lembut.

Tamara menatap Pras yang kini memandangnya dengan mata sendu. "Seharusnya kamu udah tahu kenapa aku seperti ini, Mas." Dia menunduk dan menahan isakannya.

Pras mendengus. "Ayolah, Tam! Kamu udah dewasa. Katakan padaku, kenapa kamu menangis! Apa itu sangat sulit?" Pras nampaknya tidak sadar bahwa nada suaranya sedikit meninggi.

Tamara terkesiap. Mungkin karena hormon kehamilan, Tamara menjadi lebih cengeng dan juga sensitif. Seperti sekarang.

"Kenapa kamu malah bentak aku? Kamu yang salah, Mas!" katanya dengan nada kesal.

"Ya Tuhan!" Pras mengeratkan rahangnya. "Aku pulang dari kantor dalam keadaan capek dan kamu tiba-tiba mendiamkan aku. Kamu menghindar dan sekarang menangis padahal aku nggak merasa udah melakukan sesuatu yang menyakiti hati kamu. Jangan kekanakan, Tamara!" ucap Pras.

Tamara menarik napas dalam. "Melly tahu kalau kamu selingkuh," katanya dengan wajah berurai air mata. "Kamu dengar?" tanyanya.

Pras tercengang. "Maksud kamu?"

"Dia menemuiku dan mengatakan semuanya. Dia tahu kamu selingkuh. Dia tahu tentang cincin sialan itu!" teriak Tamara tak terkendali. "Dan hebatnya sampai sekarang kamu nggak ngomong ke aku siapa wanita itu, Mas!" tubuh Tamara gemetaran.

Rasanya amarah yang selama ini ia tahan meledak dengan hebat. Mata dan hidungnya memerah. Kedua tangannya mencengkram bantal yang ada di pangkuannya dengan erat. Tatapan tajamnya menghunus Pras yang kini hanya diam dengan wajah kaget.

"Kalian bertemu?" tanyanya dengan nada pelan.

Tamara mengangguk dengan tegas. "Ya." Dia sesenggukan. "Di saat aku mau pulang ke rumah, Melly ngomong kalau kamu..." suaranya bergetar.

Tamara bahkan kesulitan untuk meneruskan kalimatnya. Semuanya terasa tertahan di tenggorokannya. Wanita itu menelan ludah dengan susah payah. Rasanya hatinya seperti dipukul bertubi-tubi.

"Kamu mungkin udah tidur dengan wanita itu," lanjutnya dengan telapak tangan yang terasa dingin.

Tamara memejamkan matanya. Sebulir air mata kembali jatuh ke pipinya. Wanita itu terlihat rapuh dan hancur di mata Pras.

"Kamu nggak perlu dengar omongan Melly!" ucap Pras dengan mata tajamnya.

________________________________________________________________________________

Ada yang kesal sama Melly nggak? 

Btw selamat membaca dan jangan lupa vote, komen dan follow penulis ya :)

Terima kasih ~

TerberaiWhere stories live. Discover now