Hal-hal Baru

848 102 3
                                    

Kalau aku up novel baru di sini, kalian mau baca nggak?

Oh ya! jangan lupa follow dulu ya biar aku semangat

______________________________________________________________________________ 

Wanita dengan perut yang sudah terlihat besar itu nampak cantik dalam balutan dress selutut yang baru saja ia beli di pasar. Dia mematut diri di depan cermin di depannya. Tamara tersenyum meski matanya tidak bisa berbohong, dia masih merasakan sakit di dalam dadanya.

"Ibu udah kelihatan cantik, Dek! Ayo kita masak!" ucapnya kepada sang bayi yang masih ada di dalam kandungan.

Kamar yang bisa dibilang sempit itu dirasa sudah cukup baginya. Tamara tidak menginginkan rumah yang mewah saat ini, dia hanya berharap bisa hidup dengan tenang meski kini dia harus tinggal di rumah kontrakan kecil. Dia ingin memulihkan luka di hatinya yang masih terasa menyiksa.

Kota Bogor adalah kota yang ia pilih untuk melarikan diri. Nyalinya tak cukup besar jika harus pergi ke kota yang lebih jauh. Selain itu, tabungannya tidak banyak. Dia memilih kota yang tidak asing baginya untuk bertahan hidup setelah menghadapi peliknya kisah rumah tangganya bersama dengan Pras.

"Ada sisa nasi semalam, Dek." Dia kembali tersenyum.

Dengan cekatan, Tamara segera menyiapkan semua bumbu yang dibutuhkan. Wanita itu menyalakan kompor di depannya. Dia hendak membuat nasi goreng dengan potongan sosis dan juga telur. Sarapan yang mudah dan bisa ia siapkan dalam waktu singkat.

"Sayang kalau nasinya dibuang," ucapnya di dalam hati.

Dia harus menghemat uangnya. Menabung untuk biaya melahirkan adalah hal yang ia utamakan untuk saat ini selain kebutuhan anak di dalam perutnya.

Setelah nasi gorengnya matang, dia segera melahapnya karena perutnya sudah terasa sangat lapar. Meja makan kecil dengan dua kursi plastik kini menjadi tempat makan wanita itu. Rumah dengan satu kamar, dapur yang menjadi satu dengan ruang makan, kamar mandi serta ruang tamu itu adalah tempatnya pulang mulai saat ini.

Suasana sepi jelas sangat mendominasi. Tidak ada suara selain dentingan sendok dengan piring yang terdengar di telinga Tamara. Dua minggu dia tertatih untuk kembali berdiri dan menjadi wanita tegar seperti sebelum dia menikah. Tidak mudah. Tapi setidaknya dia terus mencobanya.

"Ibu udah selesai makan," ucapnya.

Wanita itu bergegas mencuci piring bekas makan paginya dan segera berangkat bekerja. Menjadi seorang admin gudang di sebuah perusahaan distributor makanan ringan adalah jalannya untuk mendapatkan rezeki demi sang buah hati. Tamara bersyukur setidaknya dia bisa mendapatkan pekerjaan di sana. Meski perusahaan itu bukan perusahaan besar. Pemilik rumah kontrakan yang ia tempati adalah orang yang membantunya untuk bisa masuk ke perusahaan itu.

"Lho! A' Fadli?" Tamara melebarkan matanya.

Pria dengan jaket dan juga tas ransel itu tersenyum melihat wajah cantik Tamara yang nampak kaget. "Iya, ini aku." Dia kemudian turun dari motor matic-nya dan berjalan mendekati Tamara. "Berangkat sama aku aja, ya?" dia meraih tas kerja Tamara yang ada dia tas kuris sementara wanita itu tengah mengunci pintu rumah.

"Aduh! Nanti saya ngerepotin A' Fadli," jawab Tamara sopan.

"Enggak atuh, Tam. Santai aja sama aku mah." Fadli bergegas kembali ke motornya.

Dengan sabar, pria itu menunggu Tamara naik ke motornya. "Ini tasnya." Fadli menyerahkan tas Tamara.

"Terima kasih ya, A'." Wanita itu menatap wajah Fadli dari kaca spion motor.

Fadli menyalakan mesin dan mengangguk sambil tersenyum. Tidak ada percakapan penting yang mereka lakukan. Mereka hanya akan membicarakan hal-hal umum. Fadli sendiri nampaknya sudah mengerti bahwa Tamara tidak ingin membicarakan hal pribadi.

Sesampainya di kantor, Tamara segera mengerjakan pekerjaan yang sudah menunggunya. Menjadi admin gudang ternyata cukup melelahkan baginya. Dia harus mencatat barang yang masuk maupun keluar dari gudang. Tamara bahkan tidak sadar jika dia hari sudah menjelang siang.

Pukul dua belas lebih lima belas menit. Tamara masih berada di mejanya dengan komputer menyala serta jari-jari yang menari dengan indahnya di atas keyboard. Dia masih berkonsentrasi dengan pekerjaan di hadapannya. Sampai kemudian sebuah suara menginterupsinya.

"Ayo makan siang dulu, Tam!"

Jari-jari wanita itu berhenti dan menatap pria yang kini sudah berdiri di depan pintu. Tamara tersenyum melihat siapa yang datang. Fadli berjalan mendekati mejanya yang hanya berjarak beberapa langkah dari pintu.

Pria itu memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana. Fadli dengan pembawaannya yang dewasa serta wajah yang bisa dibilang tampan menjadi salah satu pria yang diincar oleh para karyawan wanita di perusahaan itu.

"Sebentar ya, A'! Aku beresin kerjaanku dulu," ucap Tamara yang kemudian kembali mengetikkan beberapa data di layar komputernya.

Fadli mengangguk dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya saat berhadapan dengan Tamara. "Iya, aku tunggu," jawabnya.

Setelah selesai dengan pekerjaannya, Tamara segera berdiri dan berjalan beriringan dengan Fadli menuju ke kantin kantor. Beberapa orang yang melewati mereka tentu saja melayangkan pandangan anehnya kea rah Tamara dan Fadli.

"Nggak usah kamu pikirin!" Fadli melirik Tamara sekilas.

Wanita itu sejak tadi hanya menundukkan kepalanya. "Maksud Aa'?"

"Tatapan mereka," jawab Fadli.

Tamara mengangguk paham. "Hm! Aku ngerti, A'. Mereka belum ngerti latar belakangku." Wanita itu tersenyum tipis.

Fadli berhenti padahal mereka sudah tiba di depan kantin. Tamara juga ikut berhenti dan menatap pria di sampingnya dengan pandangan penuh tanya. Fadli menghela napas dalam.

"Kalau kamu butuh teman buat cerita, kamu bisa cerita padaku, Tam. Nggak perlu sungkan! Aku janji akan jaga rahasia kamu sebaik mungkin. Lagipula..." Fadli menelan ludah dengan cepat. "Aku cuma ingin menjagamu," lanjutnya.

Tamara hanya diam dan tidak mampu menanggapi ucapan Fadli selain mengangguk. Fadli mengerti, dia mengajak Tamara untuk masuk ke kantin dan memesan makan siang mereka. Setelah satu minggu bekerja di sana dan bertemu Fadli setiap hari, Tamara kini mulai mengerti bahwa Fadli tertarik padanya.

Entah tertarik sebagai teman atau bukan. Tamara tidak bisa mengatakan banyak hal mengenai hatinya karena di dalam sana masih tertanam nama suaminya. Pras, sampai saat ini pria itu belum menemukan Tamara.

Di kota lain, pria itu tengah berdiri dan menatap gedung-gedung pencakar langit. Pandangannya nyaris kosong. Dia melamun. Orang-orang yang sudah ia mintai bantuan belum juga menemukan sang istri. Pikirannya sering berkelana ke masa lampau, di mana pertama kali Tamara bekerja di kantornya.

Lalu dia memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana. Pras mengeluarkan ponsel pintarnya. Dia membuka salah satu foto sang istri yang ia ambil secara diam-diam. Tepatnya saat Tamara sedang tertawa.

"Cantik," bisiknya. "Selalu cantik."

Pras menatap foto itu selama beberapa saat. "Cepat pulang, Sayang. Aku nggak bisa kamu tinggal terlalu lama. Rasanya aku hampir mati," ucap pria yang kini memiliki kumis tipis dan bulu-bulu halus di sekitar rahangnya.

TerberaiDove le storie prendono vita. Scoprilo ora