Tempat Dia Melarikan Diri

1.1K 67 6
                                    

"Hei!"

Tamara yang sedang makan malam menoleh ke belakang. Pras datang dengan kemeja yang dipakainya tadi siang. Tamara kembali fokus pada piringnya dan tidak menghiraukan Pras. Dia terlihat sibuk memotong daging ayam yang dimasak kecap dengan sendok dan garpunya.

Pras mendekati istrinya dan duduk tepat di samping Tamara. Wanita itu masih saja tidak menggubris kehadiran Pras yang terlihat menyesal.

"Maaf," kata Pras pelan.

Tamara berhenti bergerak. Dia kemudian menoleh ke samping dan tersenyum miring.

"Untuk apa? Kamu melakukannya dengan sadar, Mas. Jadi, aku rasa kamu nggak benar-benar merasa bersalah," kata Tamara.

Pras menggelengkan kepalanya. "Aku tahu kalau aku bersalah makanya aku minta maaf. Aku nggak bisa ngontrol diri dan kamu tahu kalau aku nggak suka orang lain mengganggu privasiku," ucap Pras.

Tamara terdiam. Dia menatap lurus ke depan dan terkekeh miris. Tamara bahkan tidak mengerti kenapa Pras bisa sebentar berubah menjadi baik dan kemudian bisa kembali menjadi Pras yang brengsek kepadanya.

"Orang lain, ya?" Tamara mengangguk paham tanpa berniat menatap Pras.

"Ayolah! Kamu juga udah tahu hubungan kita seperti apa sejak awal, kan?" tanya Pras terlihat tidak terima dengan respon yang diberikan oleh Tamara.

"Ya, aku sangat tahu akan hal itu, Mas." Tamara memberanikan diri melihat wajah Pras yang sebenarnya terlihat sangat lelah itu. "Aku sangat tahu, makanya mulai sekarang sepertinya aku membutuhkan Gangga ketika kamu nggak ada," kata Tamara dengan tenang.

Seketika mata Pras membesar dan rahangnya mengetat kuat. "Apa kamu bilang?!" tanya pria itu terdengar menahan emosi.

"Gangga, aku membutuhkannya. Lagipula aku juga nggak mau privasiku diganggu oleh orang lain," jawab Tamara sambil berdiri dari duduknya.

Tanpa menunggu Pras menanggapi ucapannya, Tamara segera berlalu dari sana. Kabur adalah jalan terbaik untuk saat ini. Meskipun tidak jadi masalah apabila mereka bertengkar di meja makan karena pembantu mereka sudah pulang ke rumah sejak sore tadi, tapi Tamara yang memang sedang tidak berminat berdebat dengan Pras.

Wanita hamil itu memilih masuk ke dalam kamarnya dan merebahkan diri di ranjang yang empuk. "Orang lain?" Tamara bergumam.

Dia kemudian terkekeh pelan. "Orang lain yang suka tidur bareng?" katanya.

Ada perasaan tidak nyaman ketika mendengar Pras mengatakan bahwa dirinya adalah orang lain. Ada perasaan tidak nyaman ketika pria itu mengatakan seolah-olah Tamara adalah si pengganggu privasi milik pria itu.

Terdengar suara pintu terbuka. Tamara langsung pura-pura tidur dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.

"Kamu udah tidur?" tanya Pras yang kemudian berbaring di sebelah istrinya.

Pras menghela napas dalam. Dia kemudian memeluk Tamara dari belakang.

"Jangan marah lagi! Aku nggak bisa menghadapi kamu yang lagi marah. Rasanya nggak nyaman kalau kita tidur dengan kondisi kita yang masih nggak baik-baik aja," kata Pras berbisik di belakang telinga Tamara.

Tamara membuka matanya dan langsung memutar tubuhnya. Kini, dirinya bisa menatap Pras dengan leluasa. Tamara melepaskan rengkuhan tangan suaminya dengan wajah datar.

"Memangnya kenapa kalau kita tidur dalam kondisi bertengkar? Toh, kita cuma dua orang asing," kata Tamara memukul Pras telak. "Atau kita bisa anggap kalau semuanya udah baik-baik aja," lanjut wanita itu sambil pura-pura tersenyum.

"Enggak!" sanggah Pras dengan cepat. "Jangan pernah nyoba untuk menemui Gangga!" kata Pras dengan tegas.

Tamara menghela napas dalam. "Lalu kamu bisa dekat dengan wanita lain? Kamu nggak adil, Mas!" kata Tamara menahan amarah.

"Aku yang memiliki harta dan aku sudah menolongmu, jangan pernah membantah ucapanku!" kata Pras tanpa perasaan.

"Gangga bisa mengembalikan semua uang yang kamu kasih ke aku kalau aku mau bilang ke dia!" sahut Tamara dengan cepat.

"Jangan macam-macam, Tamara!" geram Pras.

Tamara kemudian bangkit dari tidurnya dan membuka laci meja di samping tempat tidurnya. Dia kemudian melempar sebuah kotak kecil ke arah Pras dengan dada kembang kempis.

"Kamu selingkuh!" ucap Tamara dengan mata memerah.

Mata Pras melotot menatap kotak cincin yang dia beli beberapa waktu lalu. "Tamara," Pras mengambil kotak tersebut dan mendekati istrinya.

"Jangan mendekatiku, brengsek!" Tamara memundurkan tubuhnya.

Bahu Pras merosot melihat Tamara sudah menangis dengan air mata yang mengalir deras di pipi wanita itu. "Ak- aku bisa menjelaskan semuanya!" kata Pras sedikit terbata.

"Nggak perlu!" ucap Tamara. "Aku juga nggak ada hak apapun untuk cemburu dan marah. Jadi, kamu tenang aja! Karena aku nggak akan ikut campur dengan semua urusanmu," kata Tamara.

"Oke," Pras kemudian bangkit berdiri dan pergi meninggalkan Tamara seorang diri di dalam kamar itu.

Sementara itu, Tamara yang sedang mengandung darah daging Pras merasa diperlakukan seperti seorang wanita yang sedang meminjamkan rahimnya saja. Tamara mendengus dengan segala pikiran baiknya tentang hubungannya dan Pras. Nyatanya semuanya tidak sesuai dengan harapannya.

Tamara kembali berbaring dan menatap langit-langit kamarnya yang terlihat remang-remang. Kalau saja tadi sore ketika dirinya sedang membereskan pakaian kerja Pras di laundry room, dia tidak akan menemukan kotak kecil yang di dalamnya terdapat cincin mahal.

"Gue bodoh banget!" kata Tamara sambil menangis tak bersuara.

Ada secarik kertas kecil yang dilipat rapi di dalam kotak cincin tersebut. Pras memberikannya untuk cinta semasa mudanya. Jelas itu bukan Tamara. Wanita yang awalnya mengira cincin itu untuknya berubah sendu begitu tahu bahwa dia jelas belum bertemu dengan Pras ketika pria itu masih menempuh pendidikan.

"Siapa wanita itu, Mas Pras?" gumam Tamara dengan hati gundah.

Lelah menangis, Tamara jatuh tertidur seorang diri. Malam itu, Pras tidak kembali pulang. Dia pergi ke apartemen seseorang yang akhir-akhir ini justru yang paling mengerti dengan keadaannya.

"Kamu kenapa?"

Pras tersenyum dengan wajah lesu. "Aku lapar," katanya.

"Ayo masuk! Aku akan memasak makanan untukmu," Melly memundurkan tubuhnya dan membiarkan Pras masuk ke dalam apartemennya.

Melly menatap punggung pria yang merupakan suami wanita lain itu dengan wajah senang. "Tunggu sebentar, ya!" ucapnya dengan nada halus.

Pras duduk di depan TV dan menatap Melly sambil tersenyum. Dia kemudian mengusap wajahnya yang kusut. Pras menyenderkan punggungnya ke belakang. Helaan napas berat keluar dari mulutnya.

Melly menjadi tempat di mana dirinya melarikan diri dari rumahnya selama ini. Pras bahkan kembali menaruh harapan pada hubungan terlarang mereka berdua. Kepala yang terasa berat membuat pria itu memutuskan untuk memejamkan mata sejenak.

Pras tidak tahu berapa lama dirinya tertidur di sofa ruang TV tersebut. Dia membuka matanya pelan kala mendengar namanya disebut dengan lembut. Bahunya digoncang pelan.

"Pras?" Melly mengamati wajah tampan bosnya itu. "Bangun! Makan dulu," katanya.

"Jam berapa sekarang?" Pras terbangun sambil mengucek matanya.

"Setengah sembilan malam, kamu tertidur sebentar di sini," jawab Melly sambil tersenyum.

Pras kemudian menatap Melly yang masih berjongkok di depannya. Wajah cantik dan pembawaan Melly yang dewasa membuat Pras menutup mata.

"Malam ini, aku ingin menginap di sini lagi. Nggak apa-apa, kan?" tanya Pras sambil menatap mata Melly dengan lembut.

Melly mengangguk tanpa pikir panjang. Dia tersenyum lebar dengan dada berdebar hebat.

TerberaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang