Aku Ingin Menyerah

1.8K 111 2
                                    

Hai! jangan lupa follow penulis dulu sebelum membaca ya :)

Boleh vote juga lhooo :)

Happy reading!

________________________________________________________________________________

"Mas," panggil Tamara dengan nada pelan.

"Ya?" Pras menyelipkan anak rambut Tamara ke belakang telinga.

Tamara tersenyum tipis. Dia menelan ludah dengan rasanya seperti sedang menelan duri. Tamara menggigit bibirnya kemudian menganggukkan kepalanya.

"Aku ingin menyerah," ucapnya pelan.

Pras yang tadi terlihat masih cukup tenang, kini menegakkan tubuhnya dan menangkup kedua pipi istrinya dengan telapak tangan. Pras kini terlihat lebih dari sekedar gelisah. Pria itu ketakutan.

"Kamu bicara apa? Aku nggak akan melepas kamu, Tamara!" kata Pras dengan nada tegas.

"Tapi aku ingin kita berpisah," sahut Tamara dengan nada lemah. "Perahu ini nggak dihantam badai, Mas, tapi nahkodanya yang nggak bisa membawa perahu ini ke tujuannya!"

"Kita nggak akan membicarakan hal ini lagi, Tamara!" Pras menghembuskan napas dengan kasar. "Apa selama ini kamu pikir bahwa kamu bisa meninggalkan aku? Kamu salah, Tamara! Aku tekankan sekali lagi, kita hanya menikah karena kepentingan masing-masing dan aku adalah orang yang berkuasa di sini," kata Pras.

"Maksud kamu?" Tamara mendongak dengan mata merah. "Aku nggak meninggalkan kamu, kamu juga tahu bahwa hubungan kita berdua nggak ada masa depan jadi lebih baik kita berpisah, kita sepakat aja untuk cerai," ucap Tamara.

"Diam!" Mata Pras terlihat berubah menjadi semakin gelap dan menyeramkan.

Suaranya rendah dan cukup membuat nyali Tamara menciut. Wanita hamil itu hanya mampu menahan semua sumpah serapahnya. Dia harus kembali menghadapi sifat Pras yang egois dan tidak pernah mau mempertimbangkan hati wanita itu.

"Kamu pikir kamu siapa, Tamara?" tanya Pras.

Tamara mengerutkan keningnya dalam. "Aku istri kamu," jawabnya.

"Istri yang tidak aku cinta dan di sini aku tegaskan bahwa pernikahan kita akan berakhir jika aku sudah memutuskan untuk bercerai," kata Pras tanpa perasaan. "Ingatlah! Bukan kamu yang memutuskan semuanya ini!" Pras tersenyum miring.

Tamara melepaskan diri dari rengkuhan suaminya. Pras merasa kehilangan. Dia tidak suka jika harus memeluk udara kosong setelah istrinya memilih duduk di pinggiran ranjang sambil mengusap kedua pipinya yang basah secara bergantian dengan punggung tangan.

"Kenapa kamu nggak bunuh aku aja sekalian, Mas?" tanya Tamara sambil terkekeh.

Pras membeku di tempatnya. Tamara terlihat beranjak berdiri dan membelakangi suaminya yang cukup terkejut dengan ucapan istrinya itu.

"Malam ini aku akan tidur di kamar Ibu. Besok pagi kita kembali ke rumah kamu, rasanya nggak leluasa kalau kita terus berdebat di rumah ini," ucap Tamara.

Pras masih diam membisu. Dia menatap punggung istrinya yang benar-benar pergi dari sana. Sampai Tamara menutup pintu kamar, Pras masih mematung tanpa melakukan apapun untuk mencegah istrinya pergi.

"Aku adalah pria egois, Tamara! Aku nggak suka ditinggalkan seperti sebelumnya!" gumamnya sambil mengepalkan tangannya.

***

Esok paginya, Tamara dan Pras benar-benar pulang ke rumah mereka. Sepanjang perjalanan, Tamara hanya diam dan sama sekali tidak menatap suaminya.

"Hari ini kita ke dokter," kata Pras kepada istrinya yang baru saja duduk di pinggiran ranjang.

Tamara yang sedang memakai baby oil di perutnya sontak menoleh. Pras yang kini masih berdiri di depan pintu kamar mandi kemudian berjalan hendak pergi meninggalkan Tamara. Tapi, belum sampai lima langkah, suara Tamara berhasil membuatnya berhenti berjalan.

"Aku udah priksa kemarin," ucap Tamara yang kembali mengoleskan baby oil di perutnya.

Pras berbalik, dia menatap istrinya yang sedang menunduk karena kegiatannya itu. "Kamu udah cek kandungan?" tanya Pras.

"Ya," jawab Tamara sambil mengangguk. "Aku juga udah bicara sama kamu waktu itu," lanjut Tamara.

Pras menggaruk pelipisnya dengan jari telunjuk. "Maaf, aku lupa," katanya pelan.

Tamara memutar bola matanya karena jenggah. "Kalau sesuatu menyangkut aku, kamu memang sering lupa, Mas!" kata Tamara dengan nada sinis.

Pras menghela napas panjang. "Terserah apa katamu!" ucap Pras pasrah.

Tamara memilih diam. Dia membaringkan tubuhnya ke atas ranjang. Hari baru beranjak siang tapi mata Tamara seolah enggan untuk terbuka lebih lama lagi. Semenjak hamil, dirinya menjadi lebih mudah mengantuk.

Semua gerakan tubuhnya itu tidak lepas dari perhatian suaminya. Pras masih berdiri di tempat sambil menahan senyumannya. Dia kemudian berjalan mendekati istrinya.

"Kenapa kamu masih di sini?" tanya Tamara.

Pras terkekeh geli. "Aku rindu memeluk istriku," katanya yang kemudian berbaring di sebelah Tamara.

Pria itu tiba-tiba memeluknya dengan tangan yang sibuk mengelus perutnya. Tamara terbelalak ketika merasakan gerakan lembut yang Pras lakukan.

"Dia anak yang kuat, ya?" gumam Pras.

Tamara diam selama beberapa detik. Suasana yang tadinya terasa dingin kini berubah menjadi penuh rasa haru. Tamara yang labil dengan hatinya kemudian menganggukkan kepalanya.

"Dia kuat seperti aku," jawabnya sambil tersenyum tipis.

Pras ikut tersenyum. Dia mencium puncak kepala Tamara dengan penuh perasaan. Desiran yang sebelumnya ingin disingkirkan oleh Tamara kini muncul tanpa aba-aba. Jantungnya berdetak tidak karuan. Pras selalu membuat kupu-kupu di perutnya berterbangan ke segala arah.

"Tentu aja! Aku nggak salah milih kamu untuk mengandung anakku," kata Pras.

Tamara kembali diam. Dia tidak akan munafik dengan membantah bahwa perlakuan Pras saat itu sama sekali tidak berarti untuknya. Dia adalah wanita biasa yang tetap membutuhkan Pras, sosok yang hampir sempurna di hidupnya.

Gerakan lembut Pras mampu membuat Tamara merasa nyaman hingga dia menguap. Pras terkekeh melihat bagaimana reaksi istrinya itu. Rasa kantuk yang semakin menjadi tidak mampu di tahan oleh Tamara lagi. Tamara tidak sadar, dia terlelap tidur di dalam dekapan Pras.

Pria yang sedang bimbang itu tersenyum. Dia menyadari bahwa perlakuan manisnya ini memang sangat jarang dia lakukan. Istrinya itu terlalu sering dia acuhkan. Padahal ada keturunannya di dalam perut Tamara yang kelak akan membuatnya bangga setengah mati.

Pras tanpa sadar kembali mengecup puncak kepala Tamara dengan lembut dan lebih lama dari sebelumnya. Rasa nyaman yang juga dia rasakan berhasil membuat Pras ikut memejamkan mata.

Suara dengkuran halus istrinya yang dia dengar bak nyanyian pengantar tidur. Suasana tenang dan juga hangat mewarnai kamar itu. Kamar yang menjadi saksi bagaimana Pras begitu memuja tubuh istrinya.

Pras tidak sadar bahwa dia melupakan janjinya dengan seseorang. Wanita yang dulu pernah membuatnya jatuh cinta sampai rasanya hampir mati. Wanita yang kini sedang menunggunya untuk berpisah dari Tamara.

Melly. Sekertaris yang sekarang selalu berada di sekitarnya. Melly yang sulit dia tebak dan juga Melly yang mampu membuatnya selalu goyah dalam menentukan pilihan.

"Pras ke mana , sih?!" Melly kembali menghentakkan kakinya dengan kesal.

Di restoran bergaya Korea itu, wanita dengan kemeja berwarna putih itu sedang sibuk menelepon nomor Pras yang sayanganya tidak juga di angkat oleh pria itu. Gerakan tangannya yang sedang mengetik pesan berhenti begitu saja.

Matanya menatap kosong ke arah meja di depannya. "Tamara sialan!" geramnya penuh amarah.

TerberaiWhere stories live. Discover now