Datang Padaku

998 78 0
                                    

Hai! terima kasih banyak yang sudah rajin mampir ke sini dan selalu vote maupun komen :)

Jangan lupa follow penulis juga ya, happy reading! :)

________________________________________________________________________________

Pras mengucek matanya ketika sinar mentari menerpa wajahnya. Pria itu terlonjak dari ranjang ketika sadar dia terbangun di tempat yang asing. Pras mengamati ruangan tersebut dengan dada yang sudah berdegup kencang.

"Kamu udah bangun?"

Pras menoleh ketika terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka dan muncul sosok Melly dengan handuk yang membalut kepalanya. Pras mengerutkan keningnya dalam.

"Kenapa aku bisa tidur di kamar kamu?" tanya Pras dengan ekspresi bingung.

"Kamu pingsan," kata Melly. "Aku sampai minta tolong security untuk membawamu ke kamar," lanjut wanita yang terlihat tetap cantik meskipun tanpa makeup itu.

"Aku pingsan?!" tanya Pras dengan wajah terkejut.

"Hm!" Melly menganggukkan kepalanya. "Aku memiliki teman dokter dan beruntung sekali dia mau datang ke sini semalam, dia memberimu obat yang membuatmu tidur lelap." Melly melepas handuk di kepalanya. "Katanya kamu sedang kelelahan," lanjutnya sambil menyisir rambutnya yang masih basah.

Pras masih mencoba mencerna semua ucapan Melly. Kepalanya memang terasa pening dan badannya juga masih terasa hangat. Tapi Pras bukan pria bodoh yang mau tidur di sembarang tempat.

"Kamu tidur di mana semalam?" tanya Pras sambil berjalan mendekati Melly.

Melly meletakkan sisirnya di atas meja rias dan berbalik. Dia menatap Pras sambil bersedekap.

"Aku tidur di sini," jawabnya dengan tenang.

"Apa?!" Pras menaikkan nada suaranya.

"Kenapa?" tanya Melly heran. "Kamu datang secara tiba-tiba dan meminta menginap, sedangkan kamar tamu sedang dicat ulang dan belum selesai," kata Melly menatap Pras yang nampak tidak nyaman dengan informasi yang dirinya berikan.

"Ap- apa kita..." Pras tidak bisa melanjutkan ucapannya.

"Enggak! Kita nggak melakukan hal di luar batas, Pras." Melly terkekeh.

Sementara Pras, pria itu menghela napas lega. Bibirnya tersungging begitu mengetahui bahwa dirinya terbangun dalam keadaan aman.

"Oh, ya! Salah satu security menemukan kotak ini di sakumu waktu membantuku membuka celana kerjamu," kata Melly sambil menunjukkan kotak cincin kepada Pras. "Aku menyukainya!" kata wanita itu sambil tersenyum senang.

Pras menatap kotak cincin di tangan Melly. "Oh cincin itu, ya? Sebenarnya itu akan aku berikan padamu ketika kamu ulang tahun satu minggu lagi," kata Pras.

Pipi Melly merona. "Kamu ingat tanggal lahirku?" tanya Melly takjub.

Pras menggangguk dan tersenyum lebar. "Tentu saja aku ingat!" jawabnya cepat.

***

"Ada apa?" Gangga mengamati mata Tamara yang terlihat sembab dan juga hidung yang memerah.

"Gue nggak kuat," jawabnya lirih.

Gangga mengepalkan tangannya di bawah meja kafe. "Dia nyakitin lo?" tanya Gangga dengan emosi tertahan.

Tamara mengusap matanya yang tiba-tiba kembali berair. Tamara menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Gangga menyesap kopinya sebelum kemudian kembali fokus kepada wanita hamil di depannya itu.

"Sebenarnya, dia nggak nyakitin gue tapi gue sendiri yang melewati batas," Tamara tersenyum kecut. "Gue rasanya lagi jalan menuju kematian," lanjutnya.

"Ras!" Mata Gangga membulat sempurna. "Jangan bicara sembarangan! Gue tahu lo nggak mungkin begini kalau bukan karena si brengsek itu!" kata Gangga penuh penekanan.

"Dia memang brengsek tapi dia suami gue dan ayah dari anak yang gue kandung, Ga!" sahut Tamara.

Gangga memejamkan matanya sejenak. Sikap Gangga tidak luput dari perhatian Tamara. Wanita itu jelas tahu kalau Gangga benar-benar sedang menahan emosinya. Gangga selalu seperti itu jika Tamara mengalami masalah. Pria itu akan menanggapi dengan serius masalah yang sedang dihadapi Tamara.

Beruntung. Itu yang selalu Tamara pikirkan. Hanya saja dia merasa bersalah kepada Gangga. Tamara mengerutkan keningnya dalam.

"Ga, gue minta maaf, ya?" Tamara berkata dengan nada lirih.

Gangga mendongak dan hanya diam menikmati wajah cantik wanita yang masih saja tidak mau pergi dari hatinya. Helaan napas lolos begitu saja dari bibir merah Tamara. Dan hal itu justru membuat dada Gangga terasa semakin di remas.

"Mas Pras nggak mau kalau gue sampai dekat dengan lo lagi. Sementara kalau hubungan kami sedang nggak baik-baik aja, lo selalu jadi tempat gue lari," Tamara mengusap matanya. "Gue jahat, ya?" tanya Tamara dengan suara bergetar.

Gangga menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Enggak! Lo benar memilih gue sebagai tempat lo melarikan diri. Gue akan selalu ada di sini, Ras." Gangga tersenyum manis.

Dada Tamara terasa hangat. "Lo sahabat gue yang paling baik sedunia!" kata wanita itu sambil terkekeh pelan.

Gangga hanya tersenyum menanggapi kalimat Tamara yang kembali menyakiti hatinya. "Gue sayang lo, Ras!" teriak hati Gangga.

"Gue nggak tahu sampai kapan gue bisa bertahan di samping Mas Pras, Ga." Tamara menatap mata pria di depannya.

"Lo punya gue kalau lo ingin menyerah, Ras." Gangga menggenggam tangan tangan Tamara yang ada di atas meja seolah sedang memberikan kekuatan pada wanita hamil itu.

"Gue tahu! Gue cuma punya lo dan keluarga gue," kata Tamara.

"Lo nggak mau cerita tentang sesuatu ke gue?" tanya Gangga dengan mata memicing.

Tamara menahan napasnya. Dia tidak akan pernah siap jika harus menceritakan tentang sikap suaminya yang sudah membuatnya menangis itu kepada Gangga.

"Gue belum bisa cerita banyak ke lo, Ga." Tamara menatap sahabatnya dengan wajah menyesal.

"Kenapa? Dia nggak pantas untuk lo. Gue tahu kalau lo hanya ingin menjaga nama baiknya di depan orang lain termasuk gue, dan gue rasa itu nggak perlu, Ras!" kata Gangga seakan tidak terima.

Tamara menghela napas dalam. Dia mengamati gelas jusnya yang nampak berembun. Pras bahkan tidak pernah menjaga hatinya. Kenapa Tamara harus menjaga nama baik pria itu?

"Gue nemuin kotak cincin dan itu bukan untuk gue," kata Tamara lirih. "Dan tadi pagi-pagi, ada pesan masuk ke ponsel gue." Tamara mengeluarkan ponselnya dari dalam tas.

Dia menunjukkan foto-foto Pras kepada Gangga. "Lihat ini!" kata Tamara.

Gangga melebarkan matanya. "Sialan! Dia emang brengsek!" ucap Gangga dengan penuh emosi.

"Ga, gue nggak tahu siapa pengirim foto-foto ini. Tapi yang jelas, semalam Mas Pras emang nggak pulang." Tamara mengalihkan pandangan ke arah cincin yang melingkar di jarinya.

Gangga mengeratkan rahangnya. "Maaf, Ras!" jerit batinnya.

"Menurut lo, kalau suatu saat gue udah nggak sanggup lagi, gue boleh menyerah, kan?" tanya Tamara.

Gangga tersenyum dan mengangguk. "Lo selalu punya kesempatan untuk mengakhiri pernikahan sialan lo ini, Ras."

Tamara tersenyum. "Pernikahan gue sebenarnya nggak akan jadi sialan kalau gue nggak jatuh cinta sama Mas Pras," sahut Tamara.

Rahang Gangga mengerat. Matanya menyorotkan rasa sakit yang bahkan sampai detik itu tidak pernah disadari oleh sahabatnya sendiri.

"Kalau lo lelah, datang ke gue! Gue bahkan bersedia jadi ayah sambung untuk anak lo kelak, jadi lo nggak perlu khawatir lagi mulai sekarang," ucap Gangga.

Dahi wanita yang sedang hamil tiga bulan itu berkerut. "Maksud lo?"

"Ras, gue sayang sama lo," jawab Gangga.

Tangan Tamara yang berada di atas pahanya terasa dingin. "Ga, lo jatuh cinta sama gue?" tanyanya setelah mengumpulkan keberanian.

TerberaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang