Aku Ingin Menyambutmu Pulang

964 61 0
                                    

Pras menyesap kopinya dalam diam. Benaknya melayang pada kejadian tempo hari. Dia dan Tamara terlibat obrolan menegangkan yang berakhir dengan dirinya berjalan meninggalkan istrinya itu. Tepatnya setelah dirinya tertawa dan mengatakan kepada Tamara bahwa mereka menikah karena sebuah kepentingan, bukan karena Pras menyukai Tamara.

Pras tidak tahu kenapa ekspresi wajah Tamara berubah menjadi seperti seseorang yang sedang kecewa. Dia berharap istrinya tidak banyak menuntutnya. Pras sudah terlalu banyak urusan yang lebih penting dibandingkan dengan sekedar urusan hati dengan Tamara.

"Pak?"

Pras berbalik dan mendapati sekertarisnya sudah berdiri dengan membawa beberapa dokumen di depan meja kerjanya.

"Taruh aja di meja!" kata Pras seraya berjalan mendekati mejanya.

"Baik, Pak." Melly segera menuruti ucapan atasannya.

Wanita itu kemudian duduk di kursi tepat di depan meja Pras. Matanya sibuk mengamati wajah Pras dengan teliti.

"Kamu sedang ada masalah?" tanya Melly dengan suara lembut.

Pras memijat keningnya yang terasa sedikit pusing. "Hm." Dia kemudian menatap Melly yang hari itu mengenakan blazer berwarna krem.

"Tamara?" tebak Melly.

"Dari mana kamu tahu?" Pras mendengus.

"Aku bisa tebak, apalagi yang dipikirkan oleh seorang pria kalau semua urusan pekerjaan tidak ada kendala selain tentang rumah tangganya?" Melly terkekeh.

Pras ikut terkekeh pelan. "Ya, kamu benar." Pras mengusap bibir bawahnya dengan jari telunjuk. "Malam ini, apa kamu mau makan bersamaku?" tawar Pras.

Melly mengangguk tanpa berpikir dua kali. "Tentu aku mau. Aku tahu kamu butuh teman untuk bercerita," kata Melly dengan senyum manisnya.

"Ya." Pras mengangguk.

Melly kemudian berdiri dan berpamitan untuk keluar ruangan Pras. "Oh, ya..." Wanita itu membalikkan badan dan berhasil membuat Pras mendongak. "Aku memiliki sesuatu untukmu sebagai ucapan terima kasih karena kamu mau menerimaku bekerja di sini," kata Melly sambil tersenyum dan langsung keluar dari ruangan Pras.

Pras hanya mengernyitkan keningnya dalam. Kemudian dia mengambil sebuah kotak dari dalam laci meja karjanya. Pria itu membuka kotak yang terbungkus kardus kado lengkap dengan pitanya.

"Jadi, ini dari Melly?" gumam Pras sambil memandangi jam tangan pria bermerk rolex tersebut.

Tadi pagi, ada sebuah kotak kado di atas mejanya. Karena pikiran Pras yang memang sedang tidak fokus, dia memilih menunda untuk mencari tahu siapa yang mengirimkan kotak kado tersebut dan memasukkannya ke dalam laci.

Pras kemudian melepas jam tangan yang selama ini selalu dia pakai ke kantor dan mencoba jam tangan baru dari Melly dengan bibir tersungging. Dia menatap tangannya yang terlihat cocok mengenakan jam tangan pemberian sekertarisnya tersebut.

"Melly memang memiliki selera yang bagus. Berbeda dengan Tamara yang tidak suka dengan barang mahal meskipun kualitasnya bagus," katanya.

***

Tamara mengusap air matanya yang kembali menetes. "Ini bawang merahnya kenapa bikin mata gue keluar air mata terus, sih!" desah Tamara kesal.

Tangannya masih terus mengiris bawang merah di depannya. Dia ingin memasak capcay dengan saus tiram untuk Pras. Namun, ingatannya secara otomatis membuatnya terlempar pada kenyataan di mana Pras tidak memiliki perasaan apapun padanya.

"Gue cuma harus bersikap normal," gumamnya yang kemudian mulai menumis bumbu iris yang sudah dia siapkan.

Tamara ingin membenahi hubungannya dengan Pras yang berubah menjadi dingin sejak semalam. Pria itu bahkan tidak memakan sarapan yang dia buat tadi pagi dan hal tersebut jelas membuat Tamara merasa sedih.

Tamara segera menyelesaikan semua pekerjaannya. Dia ingin mandi sebelum Pras tiba di rumah. Wanita itu tersenyum melihat semua hasil masakannya yang kini terhidang di atas meja makan.

"Semoga Mas Pras mau berdamai dengan gue," katanya sambil tersenyum manis.

Tamara kini menuju ke kamarnya, dia segera mandi dan mengenakan dress berwarna pink pastel yang selutut dan tanpa lengan. Riasan sederhana menambah kecantikan wanita itu semakin menonjol. Tamara juga menyempatkan menata rambutnya dan memakai jepit rambut supaya tampilannya semakin manis.

"Gue ternyata cantik juga," katanya sambil terkekeh menatap cermin di depannya.

Sentuhan terakhir yaitu lipstick. Dan kini tampilan wanita di depan cermin itu terlihat sempurna. Dengan percaya diri, Tamara keluar dari kamar membawa ponselnya. Dia terus tersenyum dan duduk di meja makan dengan dada berdebar.

Rasanya seperti dirinya sedang melakukan kencan pertama yang mendebarkan. Pipinya bersemu merah hanya dengan membayangkan ekspresi terkejut Pras yang kemudian akan memujinya.

"Tenang, Tamara," gumamnya sambil menarik napas dan membuangnya secara perlahan.

Wanita itu terlihat antusias pada awalnya. Hingga detik terus berjalan menjadi menit dan menit berubah menjadi jam, wajah yang sebelumnya terlihat begitu berseri kini tertekuk dengan kerutan di dahinya.

Tamara sudah beberapa kali mondar-mandir ke teras rumahnya hanya untuk memastikan apakah Pras sudah sampai di rumah atau belum. Tamara kemudian menoleh dan menatap kecewa pada jam di dinding yang kini sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit malam.

Kemudian, matanya beralih untuk memeriksa barangkali Pras mengiriminya sebuah pesan. Tapi hanya kecewa yang kembali dia dapatkan. Bahkan pesan yang dia kirimkan sama sekali tidak di baca oleh suaminya. Tamara mengurungkan niatnya untuk kembali menelepon Pras karena dia teringat sudah lebih dari sepuluh kali dirinya mencoba menghubungi pria itu.

"Gue lapar," katanya lirih sambil mulai mengisi piringnya dengan berbagai makanan yang sudah susah payah dirinya masak.

Dengan pelan Tamara menyuapkan nasi beserta lauknya ke dalam mulut. Selera makannya menguap entah ke mana, tapi dia tetap menelan semua makanan yang masuk ke dalam mulutnya dengan rasa sesak yang kini sudah menguasai hatinya.

"Kata Ibu, gue nggak boleh buang-buang makanan," gumamnya dengan air mata yang entah sejak kapan sudah membasahi kedua pipinya.

Tamara mngusap pipinya dengan punggung tangan sambil terus mengunyah makanannya. "Rasanya enak sekali," gumamnya dengan suara bergetar.

Setelah selesai makan, Tamara segera mencuci piring dan gelasnya. Dengan langkah berat, gadis itu berlalu menuju ruang TV dan menyalakan benda tersebut dengan mata yang sama sekali terlihat tidak berminat.

Dia tetap menunggu Pras pulang. Tamara tidak ingin tidur sebelum suaminya sampai di rumah. Tapi, rasa kantuk ternyata lebih mendominasi dan membuat Tamara tanpa sadar sudah meringkuk dan memejamkan mata seperti bayi.

Setengah jam setelah wanita itu tertidur, pintu rumahnya terbuka. Pria yang masih mengenakan kemeja kerjanya itu berjalan pelan dan berhenti tepat di depan sofa di mana istrinya tidur.

Mata Pras mengamati pakaian dan juga penampilan Tamara. Kemudian dia mendekat dan berjongkok di depan istrinya yang berwajah sembab itu. kerutan hadir di dahi Pras. Dia menghela napas dalam.

"Kamu berpenampilan seperti ini untuk menyambutku pulang?" tanyanya yang tidak mendapatkan jawaban sama sekali.

TerberaiWhere stories live. Discover now