Secangkir Air Putih Hangat

1K 88 4
                                    

Tamara baru saja terlelap. Setelah Gangga pulang ke rumah orang tuanya, Tamara memutuskan untuk tidur siang. Beberapa hari ini, pikiran dan tubuhnya terasa benar-benar lelah.

Tamara tidak sadar sudah berapa jam dia tertidur di kamarnya. Wanita itu mencium aroma tubuh suaminya di ranjang itu. Tamara semakin mengeratkan pelukannya.

"Bahkan di saat gue tidur, kehadiran Mas Pras di mimpi gue terasa sangat nyata," batinnya.

Tamara spontan membuka matanya. Wanita itu mendongak dan mendapati wajah Pras yang sedang tertidur dengan lelap. Dia mendorong tubuh Pras menjauh.

"Astaga, Tamara!" Pras terkejut.

Wajah pria itu terlihat masih sangat mengantuk. "Kamu udah bangun?" tanya Pras sambil mengucek matanya.

Mata Tamara berkedip beberapa kali. Dia pikir dia sedang bermimpi. Ternyata, dia benar-benar memeluk dan mencium aroma tubuh suaminya sendiri. Tamara menyenderkan punggungnya ke belakang.

"Ada perlu apa kamu datang jauh-jauh ke sini?" tanya Tamara dengan nada dingin.

Mata wanita itu sama sekali tidak mau menatap Pras lagi. Hal itu jelas membuat Pras menghela napas dalam. Dia tahu bahwa Tamara sedang mencipta jarak di antara mereka di saat dirinya tersesat. Rasanya memang tidak adil, lelahnya harus dibalas dengan wajah tidak peduli milik Tamara.

"Tam? Ayo kita pulang besok pagi!" ajak Pras dengan nadalembut.

Pria itu masih setia menatap istrinya yang merajuk. Tamara melirik sekilas ke arah Pras sebelum kembali membuang muka.

"Aku masih ingin di sini. Lagipula nggak ada yang memintamu untuk datang ke sini dan menjemputku pulang," ucap Tamara dengan tegas.

Pras kemudian membenarkan duduknya. Dia ikut menyenderkan punggung pada kepala ranjang. Mereka berdua kini duduk bersisian. Pras menatap pintu kamar Tamara yang tertutup rapat dan terkunci dari dalam. Dia sendiri yang menguncinya karena takut Tamara akan kabur ketika mereka berdua terlibat pembicaraan seperti sekarang.

"Ibu mengirimiku pesan. Beliau tanya, apa kamu udah pamit ke aku kalau kamu pulang ke rumah ibu atau belum," ucap Pras.

Tamara langsung menoleh ke samping dan menatap Pras dengan mata yang siap membunuh. "Kamu nggak bilang kalau kita sedang nggak baik-baik aja, kan?" tanya Tamara.

Pras terkekeh. "Aku nggak bilang kalau kamu sedang merajuk," jawab Pras. "Maka dari itu aku pergi ke sini untuk jemput kamu," lanjutnya.

"Maksud kamu?" Tamara mengerutkan dahinya.

"Aku bilang ke ibu kalau aku akan menyusulmu ke sini dan menjemputmu pulang," jawab Pras dengan nada tenang.

"Aku belum tahu akan pulang ke rumah kamu kapan. Aku rasanya masih rindu dengan ibu dan semua yang ada di sini," Tamara menahan diri supaya suaranya terdengar tetap normal.

"Itu juga rumah kamu!" sahut Pras cepat.

Tamara menggelengkan kepalanya. "Jangan membodohiku lagi!" katanya. "Semuanya itu milikmu. Kamu adalah orang yang menolongku dan kamu adalah orang yang memiliki semua harta itu," lanjutnya sambil tersenyum tipis.

"Tam-"

"Aku udah baik-baik saja sekarang," Tamara memotong ucapan Pras.

Pras bungkam. Atmosfer di dalam kamar itu terasa sangat dingin dan juga menusuk. Hanya suara air conditioner yang terdengar sedang menyala dan menambah dingin hati mereka berdua.

"Siapa wanita itu?"

Pras menoleh ke samping. "Siapa yang kamu maksud?" tanya Pras.

Tamara tersenyum. Dia kemudian menoleh dan saling bertatapan dengan suaminya itu. Tamara menggelengkan kepalanya cepat.

"Lupakan! Aku nggak ada hak apapun untuk bertanya siapa wanita yang udah merebut hatimu itu," ucap wanita hamil itu tanpa menangis sedikitpun meski hatinya terasa diremas dan hancur.

"Tamara, bisakah kita tidak membahasnya sekarang? Aku hanya ingin menjaga hati ibu kamu," ucap Pras.

"Oke!" jawab Tamara. "Kamu memang orang yang sangat luar biasa, Mas." Tamara terkekeh kecil.

"Ayolah, Tamara!" Pras memijat pelipisnya.

Tamara diam. Dia kemudian berdiri dan terlihat sedang merapikan rambut serta bajunya. Tamara berjalan menuju pintu. Sebelum dia membuka pintu tersebut, Tamara menoleh sedikit ke samping.

"Mari kita saling memerankan peran masing-masing sebaik mungkin selama di sini, Mas!" ucap Tamara dengan air mata yang sudah siap tumpah.

Pras menatap punggung istrinya yang terlihat sedang membuka pintu lalu keluar dari kamar itu. Pras meninju udara kosong di depannya.

"Brengsek!" makinya dengan suara pelan namun penuh emosi.

***

Tamara terlihat sedang menikmati kegiatannya sampai tidak sadar kala ibunya keluar dan duduk di kursi yang ada di teras rumah itu.

"Jangan kebanyakan air nanti malah layu dan mati!" kata Nurmala menginterupsi kegiatan sang putri yang sedang menyiram tanaman di depan rumah.

Tamara menoleh ke belakang dan tersenyum melihat Nurmala sedang memegang cangkir. "Ibu?!" Tamara kemudian buru-buru mematikan kran air dan berjalan menuju ibunya. "Apa yang sedang Ibu minum?" tanya Tamara penasaran.

"Air putih," jawab Nurmala sambil tersenyum lembut kepada putrinya.

Tamara hanya mengangguk dan tersenyum. Dia duduk dan menatap ibunya yang kini sedang meminum air putih di cangkir yang biasa di gunakannya untuk menikmati teh. Nurmala terlihat sangat tenang.

Tamara menahan air mata yang ada di ujung matanya. Dia tahu kebiasaan ibunya itu. Nurmala sangat suka meminum teh di teras rumah. Hal kecil yang sekarang sangat dijauhi oleh Nurmala sejak penyakit mengerikan itu datang merebut senyumnya.

"Ibu," panggil Tamara.

Nurmala menoleh. "Ya?"

Tamara kemudian mengambil cangkir dari tangan Nurmala. "Air putih hangat," batin Tamara.

Wanita itu meminumnya dan berpura-pura memasang wajah senang. "Ternyata enak juga minum air putih hangat. Lebih sehat ya, Bu?" Tamara menoleh ke samping.

Nurmala mengangguk dan tersenyum lebar. "Lebih sehat dan juga hemat," kata Nurmala yang memancing kekehan dari bibir Tamara.

"Betul! Saras bakal lebih banyak minum air putih mulai sekarang. Saras akan menemani Ibu menikmati secangkir air putih hangat seperti ini," ucap Tamara yang mampu membuat mata sang ibu berkaca-kaca karena rasa haru.

"Maaf karena Ibu udah menyusahkan kamu," ucap Nurmala dengan nada penuh penyesalan.

Tamara menggeleng dengan cepat. "Enggak, Bu! Ibu nggak menyusahkan Saras sama sekali," jawab Tamara.

"Ibu bersyukur masih diberi kesempatan untuk hidup dan menikmati udara di dunia ini, apalagi sebentar lagi Ibu akan punya cucu yang lucu," kata Nurmala. "Ibu juga sangat bersyukur karena kamu udah menemukan Pras sebagai pendamping hidupmu. Dia adalah pria yang baik."

Tamara terdiam selama beberapa detik sebelum kemudian dia menganggukkan kepalanya. "Apapun akan Saras lakukan demi Ibu," batin Tamara pilu.

"Hormati suamimu! Bahagiakan dia dan Ibu minta jangan pernah mengkhianati cintanya," kata Nurmala memberikan petuah kepada Tamara.

Tamara mengulas senyum. "Iya, Saras akan mengingat ucapan Ibu," jawabnya.

"Ibu, Mas Pras udah banyak bikin Saras menangis! Saras ingin menyerah tapi bagaimana dengan Ibu dan adik-adik Saras?" batin Tamara ingin menjerit.

"Kalau pada akhirnya Ibu harus pergi, setidaknya Ibu sudah melepaskan kamu pada orang yang tepat. Dan maaf karena Ibu harus kembali menyusahkanmu dengan menitipkan adik-adikmu padamu." Mata Nurmala menerawang menatap langit yang terlihat cerah.

TerberaiWhere stories live. Discover now