Aku Mau Kamu

746 86 0
                                    

Pras sudah bisa menebak jika hal semacam ini bisa terjadi. Tamara yang masih belum mau bersikap lunak padanya. Tapi, tidak apa-apa. Setidaknya wanita itu tidak mengusirnya lagi. Pras masih bisa tidur di rumah tamu memakai sleeping bag yang ia beli setelah semalam tidur di atas sofa yang terlalu kecil untuk tubuhnya.

Pria itu meregangkan otot-otot tubuhnya setelah bangun dari tidur lelapnya. Aroma sedap masakan tercium dari arah dapur. Pras tersenyum. Dia segera berjalan ke dapur dan pemandangan yang ia rindukan akhirnya bisa ia nikmati kembali. Tamara sedang sibuk di depan kompor.

"Kamu masak apa?" tanya Pras seraya duduk di kursi.

Tamara menoleh ke belakang. "Aku masak tumis buncis dan wortel. Lauknya telur mata sapi."

Wanitu itu kembali mengaduk masakannya. Pras tersenyum senang.

"Wah! Kayaknya enak! Aku udah nggak sabar buat sarapan," katanya penuh antusias.

Tamara menoleh dan menaikkan alisnya. "Aku masak untuk bekal makan siangku hari ini. Dan aku nggak masak banyak, hanya cukup untuk satu orang aja. Kalau kamu mau sarapan, kamu bisa bikin roti pakai selai coklat itu." Tamara menunjuk ke arah meja dengan dagunya, di mana roti tawar dan juga selai yang ada di dalam toples kaca berada.

Pras meneguk ludah pelan. Senyuman di wajahnya hilang saat sang istri sudah kembali sibuk menata makanan di dalam kotak bekal.

"Aku masih suami kamu kalau kamu lupa," ucap Pras sambil meraih roti tawar dan mengolesnya dengan selai.

Wajahnya nampak murung dan seketika nafsu makannya menghilang begitu saja. "Bahkan kamu udah nggak mau masak untukku. Nggak apa-apa," ucapnya. "Yang penting aku masih bisa lihat kamu tiap hari." Pria itu tersenyum lembut.

Tamara yang sedang mencuci alat-alat masaknya sontak menoleh dan menatap sang suami. Helaan napas keluar begitu saja dari mulutnya. Dia buru-buru mencuci tangan dan menghampiri suaminya.

Dengan pelan dia meletakkan dua kotak bekal ke atas meja. "Aku sebal sama kamu tapi karena aku masih punya hati..." Dia mendorong satu kotak bekal ke arah Pras. "Ini bekal makan siangmu hari ini, maaf kalau kotak bekalnya jelek."

Dengan wajah cemberut, Tamara segera berjalan meninggalkan Pras di meja makan. Pras melirik kotak bekal di depannya dan segera menoleh saat sang istri sudah memasuki kamarnya. Wajah pria itu seketika berubah menjadi senang. Dia meraih kotak bekal itu dan membukanya. Telur mata sapi dan tumis sayur ada di dalamnya. Nasi putih yang masih hangat juga nampak menggoda.

Pria itu kemudian memakan rotinya hingga habis dan meneguk air putih dengan cepat. Perutnya sudah kenyang. Dia berjalan mendekati kamar sang istri yang tidak ditutup. Dengan percaya diri, Pras masuk ke sana dan duduk di pinggir ranjang. Matanya sibuk melihat sang istri yang sedang merias wajahnya.

"Kamu tambah cantik," ucapnya tanpa sadar.

Tamara yang sedang menyapukan bedak ke wajah sontak menoleh dan memberikan tatapan tajamnya kepada Pras. "Nggak usah ngerayu! Aku masak buat kamu karena aku juga masih punya hati nurani. Lagipula aku memang cantik dari dulu, banyak yang bilang begitu. Kamu aja yang baru sadar. A' Fadli yang belum lama kenal aku aja bilang aku cantik." Tamara tidak sadar dengan apa yang baru saja ia katakan.

"Siapa?" Pras menegakkan tubuhnya.

Tamara terdiam dan menelan saliva dengan cepat. "Bukan siapa-siapa," jawabnya.

Dia segera berdiri dan berjalan menuju lemari. Namun, Pras menahan tangannya. Pria itu menarik Tamara hingga istrinya itu terduduk di atas pangkuan Pras. Tamara melebarkan matanya. Dia berusaha melepaskan diri dari Pras, tapi tidak bisa.

"Kamu maunya apa, sih?!" bentak Tamara dengan nada marah.

"Aku mau kamu!" sahut Pras dengan nada cepat.

"Mimpi!" ucap Tamara.

"Apa?" Pras tersenyum miring. "Kamu nyebut nama pria lain waktu kondisi rumah tangga kita nggak baik-baik aja, Tamara." Rahang Pras nampak mengetat kuat.

Tamara sedikit mendongak dan memandang mata Pras tanpa rasa takut. "Daripada kamu, menghadirkan wanita lain di saat aku sedang hamil. Kamu pikir siapa yang bodoh di sini?" Tamara melotot tak terima.

Pras mengepalkan tangannya. Bibirnya terkunci rapat. Tamara bisa melihat ada gurat marah dan rasa bersalah di wajah sang suami. Dengan cepat, Tamara segera melepaskan diri dari pelukan Pras. Wanita itu buru-buru keluar kamar. Sementara Pras, pria itu tidak lagi menahan sang istri. Dia hanya diam dan membiarkan Tamara pergi dari hadapannya.

Pras tetap mengantarkan sang istri berangkat bekerja dan menjemputnya pulang tapi Tamara sama sekali tidak mau bersikap hangat pada suaminya. Diam-diam, Tamara berharap Pras menyerah padanya dan pergi dari hidupnya.

"Kamu udah makan?" tanya Pras di hari minggu yang cerah.

Tamara yang sedang bermain dengan ponselnya langsung mendongak dan menatap tubuh suaminya yang tinggi menjulang. Dia sedang bersantai di teras rumah dengan segelas susu ibu hamil. Pagi itu suasana rumah mereka masih sama kakunya seperti hari-hari sebelumnya. Tepatnya setelah sang suami membuatnya marah sebelum berangkat bekerja. Mood wanita itu hancur seharian.

"Udah," jawabnya singkat.

Terdengar helaan napas berat dari Pras saat melihat Tamara yang kembali bermain dengan ponselnya. Seolah-olah kedatangan sang suami tidaklah penting bagi wanita itu. Pras akhirnya masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan apapun lagi.

Tamara kemudian berdiri dan menyusul sang suami. Dia duduk di samping Pras dan berhasil membuat pria itu kaget. Wajah Pras nampak lucu. Dia menatap Tamara yang sedang meneguk susu coklatnya hingga tandas.

Pria itu bergerak mendekat dan mengulurkan tangannya ke wajah sang istri. Tamara sontak bergerak mundur dan memberikan tatapan waspada. Pras hanya diam dengan jari jempolnya yang bergerak membersihkan sisa susu coklat di sudut bibir sang istri.

Mata Tamara melebar sempurna. Ada debaran yang tak biasa kembali ia rasakan. Rasanya seperti saat pertama kali dia menyadari bahwa ada nama Pras di dalam hatinya. Tanpa rasa sakit maupun marah.

"Apa perasaanmu udah jauh lebih baik?" tanya Pras seraya menarik tangannya kembali.

Tamara mengangguk dan memalingkan wajahnya ke arah lain. "Ya," jawabnya.

"Syukurlah."

Pras kemudian nampak menatap laptop yang ada di atas meja dengan serius. Pria itu memang sengaja membawa pekerjaannya kembali ke rumah kontrakan Tamara. Sang istri mengerutkan keningnya dalam karena menyadari bahwa ini bukanlah kebiasaan suaminya.

"Hari minggu, kenapa kamu masih kerja?" tanyanya.

Pras yang sedang mengirimkan email kepada klien tersenyum samar. Dia menatap Tamara dan mengusap kepala sang istri pelan.

"Jarak dari Jakarta ke Bogor dan sebaliknya itu nggak dekat untukku. Aku harus pulang lebih awal supaya bisa jemput kamu pulang kerja. Pekerjaanku banyak yang nggak bisa aku selesaikan di kantor. Tapi nggak masalah! Aku bisa mengerjakannya di sini. Asal kamu baik-baik aja, itu udah cukup untukku." Pras kemudian kembali menatap layar laptop.

"Kenapa?"

Pras menoleh kembali dan menatap sang istri dengan wajah bingung.

"Kenapa kamu mau melakukan itu semua?"

TerberaiWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu