Perang Batin

822 67 0
                                    

Dia menemui teman satu kosannya yang bernama Febri.

Tok... tok... tok...

"Feb?" Tamara mengetuk pintu kamar kos Febri.

Setelah beberapa saat, gadis berambut keriting muncul dari balik pintu kosannya sambil mengucek mata.

"Kenapa, Tam?" Febri sepertinya sedang tidur.

"Maaf ganggu waktu tidur lo, gue bisa minta tolong nggak?" Tamara membuang semua rasa gengsinya.

"Boleh, kenapa? Sini masuk dulu aja, Tam!" ajak Febri.

Tamara kemudian masuk dan duduk lesehan di kamar Febri yang nampak tertata rapi dan juga memiliki fasilitas lengkap tersebut.

"Gue mau pinjam motor malam ini, ibu gue masuk rumah sakit kena gagal ginjal. Barusan adik gue telepon," Tamara mengucapkan permohonannya dengan sorot mata sendu.

Tamara tidak mau terjadi hal buruk kepada ibunya. Dirinya melupakan segala malu dan ego demi bisa bertemu ibunya dan memberikan dukungannya. Tamara ingat bahwa Febri memiliki mobil dan juga motor. Motor Febri jarang dipakai setahu Tamara jadi dia memberanikan diri meminjam motor tersebut.

"Lo bisa bawa motor ke Bandung?" tanya Febri sambil menatap Tamara.

"Bisa, Feb. Gue biasa pakai motor adik gue di Bandung, boleh nggak, Feb?" mohon Tamara dengan nada memelas.

"Ya ampun! Gue turut sedih sama apa yang terjadi, lo boleh pakai motor gue selama lo bisa. Hati-hati karena ini udah malam, gue malah khawatir sama lo," ucap Febri.

"Makasih banyak ya, Feb. Gue harus pergi malam ini soalnya adik-adik gue pasti syok banget," kata Tamara.

"Lo pakai aja sebutuhnya lo, Tam. Toh motor itu jarang gue pakai kok atau gue temenin naik mobil aja, gimana?" Febri memberikan tawaran.

"Jangan, Feb! Lo besok kerja dan gue kayaknya besok sore baru balik ke sini," jawab Tamara sambil menggeleng.

"Ya udah, lo hati-hati! Nggak usah ngebut bawa motornya karena ini udah jam setengah sembilan malam. Kalau capek berhenti dulu di pom bensin atau tempat makan, ya?" Febri memberikan saran yang menurut Tamara sangat berarti untuknya.

"Siap, Feb. Terima kasih banyak, ya." Tamara tersenyum

Setelah menerima kunci motor beserta suratnya dari Febri, Tamara segera bersiap dengan secepatnya untuk menuju Bandung. Tamara memilik SIM jadi Febri bisa sedikit lega mengetahui Tamara bisa mengendarai motor.

Gadis itu melaju dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit Panti Siwi. Pikirannya sedikit kalut. Kata Alvin ibunya masih di pantau di ICU. Jika sudah lebih stabil, besok pagi akan dipindahkan ke ruang perawatan.

Tamara akhirnya sampai ke rumah sakit Panti Siwi. Dengan membawa ransel, gadis itu menemui adiknya yang berada di depan ruang ICU.

"Dek." Tamara memeluk kedua adiknya yang langsung berdiri begitu melihat dirinya datang.

"Kak, ibu di dalam." Alma, adik bungsu Tamara langsung menangis.

"Iya kakak tahu, kamu tenang, ya! Ibu pasti kuat dan baik-baik aja." Tamara menepuk punggung Alma.

Alvin kembali duduk di kursi tunggu. Wajahnya nampak lelah.

"Kalian sudah makan?" Tamara ikut duduk di bangku yang sama dengan Alvin.

Mereka berdua kompak menggeleng. Tamara menatap kedua adiknya dengan sedih. Gadis itu kemudian mengeluarkan dompetnya dari dalam tas dan mengeluarkan uang 50 ribu rupiah. Tamara memberikan uang tersebut kepada Alvin.

"Dek, ajak Alma makan di luar, ya? Kalian harus makan, kakak yang akan jagain ibu di sini," kata Tamara yang diangguki kedua adiknya.

Setelah kepergian kedua adiknya untuk makan malam, Tamara menyenderkan kepalanya ke belakang. Ibunya drop siang tadi dan adik-adiknya baru mengabarinya ketika malam. Pasti adiknya takut mengganggu waktunya bekerja.

Tamara tersenyum getir. Beban pikiran ibunya pasti sangat berat. Tamara tidak menyangka bahwa ibunya akan jatuh sakit seperti ini ketika rumah mereka terancam disita.

"Ya Tuhan," Tamara bergumam lirih.

Tamara terdiam sejenak sambil memejamkan matanya kemudian tiba-tiba dia menegakkan tubuhnya. "Apa gue harus ambil tawaran Pak Pras?" Tamara membatin.

Enggak! Tamara menggelengkan kepalanya. Tapi biaya berobat ibu kalau digabung dengan utang bapak banyak banget. Bahu Tamara merosot.

Perang batin yang dirasakan Tamara membuat gadis itu menghela napas berkali-kali. Sampai akhirnya matanya menyala penuh keyakinan.

"Kayaknya nggak apa-apa jadi istri Pak Pras. Toh aku dinikahi secara sah baik di mata agama maupun di mata hukum," ucap Tamara dalam hati.

***

Nurmala dipindahkan ke ruang rawat keesokan paginya karena kondisinya yang sudah stabil. Di ruangan yang ditempati Nurmala, ada ketiga anak yang setia mendampinginya.

"Alvin sama Alma kok nggak kuliah dan sekolah?" Nurmala baru saja selesai memakan sarapannya dan meminum obat.

"Alvin masuk jam sebelas siang, Bu. Kalau Alma katanya mau sama Ibu dulu. Iya nggak, Dek?" Alvin mengalihkan tatapannya kepada Alma yang sedang sibuk makan bubur ayam.

"Iya, Bu. Alma di sini sehari, ya?" kata gadis itu yang diangguki oleh sang Ibu.

"Kamu harusnya nggak usah bolos, Ras," ucap ibunya menatap Tamara yang sekarang sedang duduk di kursi samping ranjangnya.

"Nggak apa-apa, Bu. Sekali-kali Saras ambil off, Saras pengen sama Ibu, sama kayak Alma." Tamara tersenyum kemudian menggenggam tangan ringkih Nurmala.

"Ibu udah enakan, kok. Besok Ibu pulang aja, ya?" tanya Nurmala yang langsung mendapat gelengan kepala oleh Tamara.

"Tunggu apa kata dokter dulu, Bu. Nggak boleh nekat kayak gitu! Bahaya!" ucap Tamara dengan tatapan mata penuh peringatan.

"Biayanya mahal, Ras. Kelamaan apalagi ini ruang VIP, uang dari mana?" wajah Nurmala memelas.

"Ibu tenang aja! Saras ada, kok. Saras mau yang terbaik buat Ibu, pokoknya semua beres dan Ibu nggak usah mikir apa-apa lagi, ya?" ucap Tamara sambil mengeratkan genggaman tangannya.

Ibunya mengangguk yang langsung memantik senyuman Tamara.

Apa pak Pras masih mau nerima gue? Tamara mengalihkan tatapannya ke arah dua adiknya. Bagaimana kalau Pak Pras nolak gue? Helaan napas tipis keluar dari bibirnya.

"Capek ya, Ras?" tanya ibunya.

Tamara segera menoleh. "Enggak kok, Bu." Tamara menggeleng dan tersenyum hangat.

"Udah minta izin sama atasanmu kalau hari ini ambil cuti satu hari?" Nurmala masih memperhatikan wajah putrinya dengan seksama.

Tamara mengangguk. "Tadi pagi-pagi, Tamara udah telepon atasan kantor buat minta izin satu hari karena Ibu sedang sakit." Tamara tersenyum. "Beliau langsung kasih izin tanpa bertanya apapun lagi ke Saras. Beliau sepertinya sedang dalam mood yang bagus, Bu." kemudian Tamara terkekeh.

***

"Selamat pagi, Pak!" Tamara langsung berdiri dari duduknya begitu melihat Pras datang.

"Pagi, Tamara. Sudah selesai urusannya?" Pras berhenti sejenak di depan Tamara.

"Sudah, Pak. Terima kasih sudah memberikan izin untuk saya kemarin." Tamara tersenyum.

Pras mengangguk dengan wajah datar kemudian kembali berjalan memasuki ruangannya. Sebelum berhasil memasuki ruangan, Tamara kembali memanggil Pras.

"Pak." Tamara gugup seperti sebelumnya.

Pras berhenti dan menoleh ke arah Tamara. "Ya?" Pras menaikkan satu alisnya.

"Saya ingin bicara dengan anda," kata Tamara.

TerberaiWhere stories live. Discover now