Tanpa Hati

888 64 1
                                    

Tamara memutuskan untuk mengajukan resign dari kantornya sesuai kehendak Pras. Pria itu ingin Tamara fokus terlebih dahulu dengan rumah tangga mereka setelah menikah. Tamara merasa keberatan tapi dia tidak bisa membantah ucapan Pras yang memang sangat keras kepala jika sudah memiliki keinginan.

***

"Gimana aku mau hidupin keluarga aku kalau aku nggak kerja?" tanya Tamara di tengah obrolan santai mereka di dalam kamar kos Tamara.

"Aku yang akan menanggung biaya hidup mereka, kamu nggak perlu cemas." Pras menyenderkan punggungnya ke tembok yang berada tepat di belakangnya.

Tamara terdiam. "Sebutkan alasan kenapa kamu ingin aku berhenti bekerja!" kata Tamara.

"Karena aku ingin kamu fokus dengan rumah tangga kita dan juga aku ingin kamu segera hamil," jawab Pras tanpa pikir panjang.

Mata Tamara membulat. "Hamil?" tanya Tamara ingin memastikan pendengarannya.

"Hm." Pras menganggukkan kepalanya. "Kenapa? Kamu keberatan dengan keinginanku?" tanya Pras.

"Ah, tidak!" Tamara menggelengkan kepalanya. "Hanya saja, aku masih belum siap jika harus berhenti bekerja." Tamara menatap Pras dengan intens.

"Apa yang kamu takutkan? Kamu takut kalau aku nggak bisa jamin kehidupan kamu dan keluargamu?" tanya Pras sambil terkekeh. "Aku bahkan bisa memberikan satu anak perusahaanku pada keluargamu kalau kamu mau," lanjut Pras.

Tamara menghela napas dalam. "Apa aku kelihatan materialistis?" tanyanya dengan perasaan yang tidak menentu.

"Aku nggak bilang kamu materialistis, aku hanya menyampaikan isi kepalaku aja." Pras tersenyum. "Kenapa kamu sejak kemarin jadi sensitif banget?" Pras menggelengkan kepalanya.

"Aku masih kesal dengan sikapmu yang meninggalkanku sendirian di pinggir jalan demi Karin." Mata Tamara terlihat menyala.

Rasa kesal yang dipendamnya selama ini akhirnya bisa diungkapkan di depan Pras. "Kenapa kamu bisa dengan seenaknya meminta maaf setelah meninggalkan calon istrimu demi mantan pacar yang bahkan hamil dengan orang lain?" Tamara sudah tidak bisa menahan emosinya.

"Tamara!" Pras menaikkan nada bicaranya untuk memberikan peringatan kepada gadis di depannya itu.

"Kenapa? Kamu nggak terima? Kamu minta aku untuk berhenti bekerja dan kamu ingin aku hamil anakmu, sementara kemarin kamu memperlakukanku seperti sampah!" Tamara berkata dengan dada yang sudah kembang kempis.

"Kenapa kamu tiba-tiba mengungkit masalah kemarin?" tanya Pras.

"Karena kamu nggak peduli dengan aku, yang kamu pedulikan hanya wanita tukang selingkuh yang merayu calon suamiku!" Tamara sudah tidak bisa mengontrol ucapannya sendiri.

"Jaga bicaramu!" Pras menegakkan tubuhnya dan menunjuk Tamara tepat di depan wajah gadis itu. "Karin bukan wanita yang suka selingkuh! Dia berselingkuh karena aku tidak segera menikahinya! Dan satu lagi, dia tidak pernah merayuku! Aku yang sukarela menjadi sandarannya sampai sekarang!" Pras mengatakan itu semua dengan nada yang menggebu.

Mata Tamara terbelalak dan memerah. Dia berkedip sekali, napasnya tercekat kala mendengar semua ucapan Pras yang terdengar seperti sembilu di hatinya. Telapak tangan Tamara terasa dingin karena sorot mata tajam yang Pras berikan untuknya. Dia tidak menyangka kalau Pras akan membela wanita itu.

"Kamu membelanya," kata Tamara lirih.

"Ya, tentu saja! Aku bahkan masih sangat mencintainya kalau kamu mau tahu, dan kamu bukanlah sesuatu yang penting untuk aku bela! Ingat Tamara, kita menikah karena kita saling membutuhkan." Pras memajukan wajahnya hingga Tamara bisa merasakan hembusan napas Pras yang penuh dengan amarah.

TerberaiWhere stories live. Discover now