Dia Bukan Karin!

1K 67 0
                                    

"Kalau kalian sudah berniat serius, Ibu hanya bisa memberikan doa dan restu, semoga semuanya dilancarkan." Nurmala tersenyum.

Tamara dan Pras menghembuskan napas lega secara bersamaan. Mereka saling melirik. Tamara tidak mampu menahan senyuman di bibirnya.

"Kalau boleh Ibu tahu, Nak Pras kenal Saras di mana?" tanya Nurmala.

"Saya atasan Saras di kantor, Bu. Kami memang baru memutuskan untuk menjalin hubungan tempo hari tapi niat kami memang ingin segera menikah karena kami sudah sama-sama mantap dengan pilihan kami," Pras menjelaskan dengan tenang.

Nurmala mengangguk paham. "Ibu senang, sekarang Saras ada yang menjaga." Mata Nurmala berkaca-kaca.

***

Hari ini Nurmala sudah diperbolehkan pulang. Pras dan Tamara kemudian mengantar Nurmala pulang. Alvin membawa motor dan Alma sedang sekolah. Rencananya mereka akan kembali ke Jakarta malam hari karena besok pagi Pras ada rapat penting.

Semuanya berjalan dengan lancar dan Tamara merasa sejauh ini, keputusannya sudah tepat.

***

"Lo di mana? Gue jemput, ya?" Gangga menelepon Tamara.

"Gue lembur, lagi sibuk banget," jawab Tamara tidak berbohong.

"Lembur terus perasaan, lo kerja apa dikerjain sih, Ras? Gue pengen nonton, nih!" Gangga berdecak kesal.

"Ya gimana gue butuh gaji, Ga. Maaf deh! Lain kali gue temenin," ucap Tamara.

Setelahnya Gangga menjawab bahwa dirinya tidak mau menonton tanpa Tamara. Pria itu kemudian menutup teleponnya setelah memberi semangat kepada Tamara.

"Siapa?" Pras dengan tiba-tiba sudah berdiri di depan kubikel Tamara.

Tamara kaget dan segera berdiri dari duduknya setelah meletakkan ponselnya di atas meja.

"Teman saya, Pak." Tamara menunduk persis seperti anak kecil yang ketahuan ibunya karena jajan sembarangan.

"Laki-laki?" Pras menaikkan satu alisnya.

"I... iya, Pak," jawab Tamara gugup.

"Besok jangan terlalu dekat ataupun terbuka sama laki-laki lain setelah nikah, aku nggak suka," ucap Pras seraya mengelus puncak kepala Tamara.

"Baik, Pak." Tamara masih belum berani menatap Pras.

Setelah Pras pergi, gadis itu bernafas lega dan kembali duduk di kursinya. Dirinya kemudian mematikan ponselnya supaya Gangga tidak bisa meneleponnya lagi. Dia sedang tidak ingin mencari masalah hari ini karena pekerjaannya di kantor sudah terlalu banyak dan menumpuk.

"Kerjaan gue kapan selesainya!" Tamara mendumel sendiri.

"Tamara?"

Tamara menoleh ke arah pintu ruangan Pras. "Ya, Pak?"

"Jangan ngomel terus nanti cepat tua!" Pras kembali masuk ke dalam ruangannya.

Tamara menghela napasnya. "Untung ganteng dan kaya!" gumam Tamara kesal.

***

Tamara diajak bertemu orang tua Pras di kediaman keluarga Setiaji malam ini. Tamara sempat kesal kepada Pras karena siang hari setelah makan siang, pria itu baru mengabarinya. Tamara bahkan belum sempat membeli dress baru yang bagus untuk pertemuan tersebut. Tamara hanya ingin terlihat layak di mata keluarga Pras yang Tamara tahu sangat kaya itu.

"Kamu nggak bilang dari awal, aku nggak ada baju bagus, Pras!" ucap Tamara jengkel.

"Di belakang ada baju baru, aku pesan dari butik langganan kakak aku, dipakai ya!" ucap Pras yang membuat Tamara melongo.

"Kamu beli baju nggak pakai mikir! Pasti mahal, deh!" Tamara mengomel sambil mengambil paper bag di bagian belakang.

"Enggak mahal, kok." Pras terkekeh jika sudah mendengar Tamara mengomel seperti itu.

"Tuh, kan!" Tamara menatap price tag yang lupa Pras lepas. "Ini mahal banget, Pras! Baju apaan sampai dua juta lima ratus!" Tamara kesal bukan main. "Buang-buang uang tahu nggak?!" Tamara kemudian menaruh kembali paper bag tersebut di kursi belakang.

"Itu paling murah, aku sengaja pilih yang biasa biar kamu nggak ngomel tapi tetap aja ngomel." Pras terkekeh geli. "Aku lupa copot harganya juga tadi." Pras menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.

"Paling murah aja masih mahal menurut aku, emang ya kalau orang kaya mah selalu bebas." Tamara meringis.

"Dan kamu adalah calon istri orang kaya." Pras menaik turunkan alisnya.

"Iya iya!" Tamara terkekeh.

Mereka kemudian menuju kosan Tamara karena Tamara harus bersiap terlebih dahulu sebelum berangkat untuk makan malam di rumah orang tua Pras. Sejujurnya Tamara sangat gugup. Dirinya tidak menyangka hari ini akan tiba, hari dimana dia akan bertemu calon mertuanya. Semua rasa menjadi satu. Senang dan juga merasa tidak percaya diri.

Tamara takut jika keluarga Pras menolaknya. Mengingat dia bukan dari kalangan seperti mereka. Tamara juga hanya karyawan biasa di kantor Pras. Tamara pusing sendiri jika memikirkan hal-hal tersebut.

"Kamu kenapa?" Pras bertanya kepada Tamara yang nampak sedang memikirkan sesuatu.

"Aku gugup, Pras. kepikiran aja kalau keluarga kamu nggak suka sama aku gimana?" Tanya Tamara.

"Mereka baik dan aku jamin mereka pasti nerima kamu dengan tangan terbuka, kok. Lagian aku udah cerita semuanya ke mereka jadi kamu nggak perlu takut," kata Pras menenangkan.

"Oke." Tamara menghembuskan nafas lega.

Sesampainya di kosan, Tamara bergegas turun dengan diikuti Pras di belakangnya. Pras sudah dua kali masuk ke dalam lingkungan kosan Tamara.

"Duduk dulu ya, Pras! Aku siap-siap sebentar," kata Tamara mempersilahkan Pras duduk lesehan di dalam kamar kosan dengan pintu terbuka lebar.

"Pintunya aku tutup aja, ya?" Pras menatap Tamara yang mulai membersihkan make up di wajahnya.

"Nggak usah, Pras! Takut ada yang bikin gosip kalau ditutup," kata Tamara nyengir kuda.

Pras mengangkat bahu acuh. Pria itu meneliti setiap sudut kamar kos Tamara. Tidak ada barang berharga disana. Kamar Tamara tidak memiliki fasilitas yang biasanya dimiliki oleh orang lain ketika memutuskan untuk menyewa kamar kos.

"Nggak ada TV, AC dan kulkas," batin Pras. "Sepertinya dia cuma punya laptop yang aku yakini udah berumur tua kalau dilihat dari modelnya yang masih jadul," Pras masih sibuk membatin sambil menghela napas pelan.

Tamara sedang mandi oleh karena itu Pras berani menatap sekeliling kamar Tamara. Tempat tidur single dengan alas karpet kuno dan sebuah meja kecil di sampingnya. Pras melihat di atas meja belajar Tamara. Disana ada beberapa alat kecantikan. Pras menebak mungkin semacam skincare dan juga make up milik Tamara. Lagi-lagi pria itu menghela napas pelan.

Tamara hanya memiliki beberapa alat kecantikan dan Pras menduga harganya juga murah. Berbeda sekali dengan Karin yang memiliki segala macam alat kecantikan dengan harga yang mahal. Satu buah lipstick milik Karin saja seharga ratusan ribu bahkan Karin memiliki skincare yang Pras tidak tahu merk-nya apa dan juga fungsinya untuk apa dengan harga jutaan. Pras memang pernah menemani Karin berbelanja alat kecantikan jadi Pras tahu dengan pasti selera seorang Karin. Pras menggelengkan kepalanya dengan cepat saat dia sadar akan sesuatu.

"Stop it, Pras! Ingat! Tamara memang bukan Karin!" batin Pras memberi peringatan keras. 

TerberaiWhere stories live. Discover now