Hidupku Terlalu Berharga

789 97 6
                                    

Kalian lebih suka aku update tiap hari atau seminggu 2 sampai 3 kali aja?

Yuk jangan lupa follow penulis dulu dan tinggalkan voment kalian! :)

_______________________________________________________________________________

Pras duduk dengan senyum tipis. Dia melihat makanan yang dihidangkan oleh istrinya di atas meja makan. Tidak lupa, Tamara juga menyiapkan minum untuk pria yang masih sah sebagai suaminya itu.

"Maaf, aku cuma bisa masak mie goreng." Wanita itu sama sekali tidak memandang Pras.

Pras mengangguk. "Nggak apa-apa, aku suka mie goreng dengan telur. Terima kasih, ya!" kata pria itu dengan senyuman lebar.

Tamara tidak menanggapi ucapan terima kasih dari sang suami. Dia memilih duduk di kursi yang ada di samping Pras. Matanya menatap sang suami yang nampak lahap memakan makanannya.

Ada rasa hangat yang menyusup di dadanya. Meski sekuat tenaga wanita itu menyingkirkan semua perasaannya pada Pras, nyatanya hanya dengan melihat pria itu makan makanan yang ia sajikan, Tamara merasa lega.

"Enak! Kamu mau nggak?" tanya Pras sambil menoleh ke samping.

Tamara menggeleng. "Enggak! Buat Mas aja," tolaknya dengan cepat.

Pras tersenyum. "Udah lama nggak makan masakan kamu. Rasanya kangen banget," ucap pria itu.

Tamara mengalihkan pandangannya ke arah lain. Pras mengerti bahwa sang istri enggan untuk membicarakan hubungan mereka, meski hanya hal kecil. Dia menahan perih di dada yang kembali terasa. Senyumnya tetap terpatri di wajah lelahnya.

Dia kembali memakan makanannya sampai habis. Dan selama itu, mereka berdua benar-benar hanya diam dan tidak berbicara. Sesekali Tamara akan melirik suaminya, begitu juga dengan Pras. Pria itu jelas tidak ingin membuang kesempatan untuk bisa menatap wajah cantik istrinya.

"Udah selesai," ucap Pras disusul suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring.

Tamara segera meraih piring yang sudah kosong dari hadapan Pras dan membawanya ke tempat cuci piring. Pras memandang tubuh Tamara yang semakin gemuk dari arah belakang. Dia meminum air yang sudah disediakan oleh sang istri dengan rakus.

Kemudian dengan segala keberanian yang ia miliki, Pras berjalan mendekati sang istri yang sedang mencuci piring. Pria itu menyusupkan kedua tangannya ke pinggang Tamara dan meletakkan dagunya di pundak wanita itu.

Tubuh Tamara menegang merasakan pelukan suaminya. Dia terdiam dengan tangan yang masih basah. Tamara meneguk ludah gugup saat Pras mulai mencium tengkuknya dengan lembut. Hembusan napas pria itu tepat mengenai leher Tamara yang putih dan bersih.

"Aku kangen, Tam," bisik pria itu pelan.

Wanita itu memejamkan matanya untuk menahan tetes air mata yang hendak jatuh. Rahangnya terkatup rapat dengan tangan yang masih menggantung di udara. Tamara mengatur degup jantungnya yang tak beraturan akibat sentuhan sang suami. Dia menarik paksa kesadarannya supaya kembali.

Wanita itu menghela napas samar saat dia memperoleh kembali kekuatannya. Dia kembali melanjutkan aktivitasnya mencuci piring. Sementara Pras masih bergelayut manja di punggungnya. Sampai Tamara selesai mencuci piring, Pras tak juga mau melepaskan diri dari tubuh sang istri.

Akhirnya, Tamara menunduk dan menatap kedua tangan Pras di pinggangnya. Pria itu mengusap perut Tamara dengan gerakan lembut. Tamara menguatkan hati. Dia melepaskan kedua tangan sang suami dengan paksa.

"Kalau udah nggak ada urusan di sini, sebaiknya Mas segera pulang ke Jakarta," kata wanita itu dengan nada suara yang ia buat sedingin mungkin.

Pras membeku di tempatnya berdiri. Istri berjalan menjauhinya. Pras menoleh dan menatap punggung Tamara dengan sedih.

"Kamu nggak kangen aku?" tanyanya mirip seperti anak kecil.

Pras berjalan mendekati Tamara yang berhenti melangkah. "Kamu nggak kangen semua tentang kita?" dia kembali mencoba peruntungannya.

Tamara berbalik dan menatap mata Pras dengan sorot dingin. "Apa aku kelihatan kangen kamu?" dia justru balik bertanya.

Pras merasa tertohok dengan ucapan istrinya. "Apa..." Dia kelihatan kecewa dengan jawaban yang diberikan istrinya. "Ap- apa pria tadi dekat denganmu?" Rasa penasaran yang sejak tadi ia simpan rapi akhirnya keluar dari bibirnya.

Tamara tersenyum tipis. "Bukan urusanmu," jawabnya singkat.

"Kita masih sah sebagai suami istri, Tamara," Pras masih mencoba bersabar menghadapi sikap istrinya.

Malam semakin larut. Sebenarnya tubuh mereka berdua sama-sama merasa letih. Tapi sayangnya, mereka justru berdebat satu sama lain. Tamara berjalan satu langkah ke depan sehingga membuat jarak di antara mereka berdua semakin menipis.

Dia sedikit mendongakkan kepalanya dengan tatapan mata angkuh. "Aku udah minta cerai sama kamu. Kalau kamu masih merasa paling superior di antara kita berdua, kamu salah. Aku bukan lagi Tamara yang kamu kenal sebagai istrimu." Tamara tersenyum mengejek. "Hidupku terlalu berharga untuk terus berputar di sekelilingmu. Kita selesai di sini dan silahkan tinggalkan rumahku!"

Setelah mengatakan hal yang terdengar sangat kejam di telinga Pras, Tamara memilih memasuki kamarnya dan menutup pintu dengan cara membanting. Pras menatap pintu kamar yang sudah tertutup rapat. Dia juga mendengar suara kunci yang diputar oleh Tamara. Habis sudah waktunya hari ini untuk mendapatkan istrinya.

Pria itu mengusap tengkuknya yang terasa pegal. Pelipisnya terasa tegang karena emosi yang coba ia tahan sekuat tenaga. Tamara terlalu keras kepala. Sepertinya Pras tidak bisa memaksa wanita itu untuk kembali ke Jakarta bersamanya dalam waktu dekat.

Pria itu kemudian merebahkan diri di atas sofa. Dia akan bersikap masa bodoh dengan pengusiran yang dilakukan oleh istrinya. Meski sofa yang ia tempati tidak cukup besar untuk menampung seluruh tubuhnya, tapi Pras memaksa dirinya untuk terlelap di atasnya.

Kakinya ia lipat dengan kedua tangan bersedekap, seolah-olah sedang memeluk tubuhnya sendiri. Rasa kantuk berhasil menghinggapinya dengan cepat. Hanya dengan memikirkan bahwa Tamara ada di jarak yang sangat dekat dengannya, Pras mampu tidur dengan nyenyak malam itu.

Dia tidak menghiraukan tubuhnya yang bahkan belum mandi dan berganti pakaian. Udara dingin semakin terasa. Pria itu menggigil kedinginan padahal dia baru memejamkan matanya sekitar lima belas menit.

Pras terbatuk dengan hidung yang terasa tidak nyaman. Pria itu mengubah posisinya menjadi miring menghadap meja. Ah! Dia terlihat sangat menyedihkan. Tapi, bagi Pras hal seperti ini adalah sebuah proses yang harus ia jalani dengan segenap hati.

Sementara itu, Tamara yang berada di atas ranjangnya yang hangat dan nyaman hanya bisa menahan diri untuk tidak membuka pintu demi bisa mengintip kondisi suaminya.

Dia mencebikkan bibir dengan kerutan-kerutan di dahinya. "Siapa yang minta dia bertahan di sini? Keras kepala banget di suruh pulang!" batinnya jengkel.

Wanita itu memakai lengannya sendiri sebagai bantal. Dia tidur dengan posisi miring ke kiri sehingga dia bisa memandangi pintu kamarnya. Rasanya sangat tidak tenang. Tamara bahkan tidak bisa memejamkan matanya barang lima menit saja. Pikirannya masih berkelana ke luar kamar di mana sang suami berada.

"Awas kalau sampai besok sakit!" geramnya masih di dalam hati.

Karena sudah hampir satu jam Tamara tidak juga bisa tenang mendengar Pras yang beberapa kali terbatuk dan juga bersin, dia memutuskan untuk beranjak dari ranjangnya. Wanita itu membawa selimut bersih yang ia ambil dari lemari pakaiannya.

Dengan langkah tenang, dia membuka pintu kamar. Tamara berjalan mendekati Pras yang nampak memejamkan mata. Dia membuang napas kasar. Susah sekali berada di posisinya sekarang. Dengan pelan, dia menyelimuti tubuh Pras.

Wanita itu menunduk dan menatap wajah Pras yang nampak tenang seperti bayi. "Jangan sampai sakit," dia berkata dengan lirih.

TerberaiWhere stories live. Discover now