Terlanjur Tidak Berharga

1.2K 86 0
                                    

Tamara mengedipkan matanya dan setetes air mata berhasil lolos begitu saja dari matanya. "Menjual diri?" Dia menatap Pras dengan tatapan nanar.

"Ya, kamu nggak salah dengar!" sahut Pras tanpa perasaan.

Tamara terkekeh pelan dan mengangguk. "Oke, aku udah jual diri dengan menikahi kamu dan aku rasa nggak ada salahnya juga kalau aku menjual diri dengan mengencani Gangga. Aku udah terlanjur nggak berharga jadi sekalian aja, kan?" Tamara berbalik dan berjalan meninggalkan Pras dengan langkah cepat.

Pras buru-buru mengejar istrinya dengan napas memburu. "Kurang ajar sekali kamu!" katanya menahan geram.

Tamara buru-buru masuk ke dalam kamar dan hendak menutup pintunya, namun Pras lebih dulu menahan pintu itu. Tenaga Tamara tidak sebanding jika harus melawan Pras. Wanita itu sedikit terdorong ke belakang setelah Pras memaksa membuka pintu dan masuk ke dalam kamar mereka berdua.

Gemuruh di dada Tamara begitu terasa hingga rasanya jantung wanita itu hendak keluar dari tempatnya. "Aku ingin sendiri," katanya pelan sambil menatap Pras dengan nyalang.

"Kamu nggak bisa kabur begitu aja setelah kamu berani membangunkan amarahku!" kata Pras dengan mata menggelap.

Tamara hanya menatap suaminya itu tanpa minat. Tubuhnya lelah dan dia tidak boleh stres karena sedang hamil. Tamara berbalik dan berjalan dengan tenang menuju ranjang mereka.

"Kamu mulai membangkang, Tamara!" gertak Pras.

Tamara hampir mencapai ranjang, namun sepertinya Pras tidak membiarkan dirinya tenang malam ini. Tamara menoleh ke belakang dan menatap suaminya dengan tatapan mengejek.

"Bilang aja kalau kamu cemburu!" ucap wanita itu dengan berani.

Pras tertawa hambar. "Cemburu? Bukannya kamu yang cemburu padaku?" Pras berjalan mendekati istrinya dan berhenti tepat di belakang Tamara yang enggan membalik badannya.

"Setelah aku pikir lagi, nggak ada untungnya untukku cemburu padamu. Silahkan aja kalau kamu mau selingkuh! Aku nggak peduli! Lagipula aku juga bisa mencari kesenanganku di luar sana." Tamara duduk dengan tenang.

Pras mengepalkan kedua tangannya. "Sialan kamu!" katanya sambil mendorong tubuh Tamara ke belakang.

"Mas!" Tamara terkejut dengan tindakan Pras.

"Aku akan menunjukkannya padamu, bagaimana posisimu di rumah ini!" geram Pras.

Tamara terbelalak kala Pras tiba-tiba menciumnya dengan paksa. "Hmmphhh!" Tamara berusaha mendorong tubuh Pras yang jauh lebih besar darinya.

Pras menggigit bibir Tamara karena wanita itu tetap tidak mau membuka bibirnya. Hingga Tamara menjerit tertahan kala darah segar keluar dari bibirnya. Pras menghentikan ciumannya yang brutal setelah dia merasakan rasa asin dan suara isakan Tamara yang terdengar lirih.

"Tamara," ucap Pras hampir seperti menggumam.

Tamara menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia menangis terisak kala merasakan nyeri dan juga perih pada bibir bawahnya. Tamara tahu dengan pasti bahwa bibirnya kemungkinan besar robek.

Pras menegakkan tubuhnya. Dia menatap Tamara dengan sorot mata yang melembut. Wanita itu memeluk kedua kakinya. Matanya enggan menatap Pras barang sedetik saja.

"Tamara." Dada Pras terasa dicubit.

"Pergilah!" kata Tamara di sela isakannya.

"Aku-"

"Pergilah! Aku nggak akan menghalangi kamu kalau kamu ingin menemui wanita itu kayak semalam," kata Tamara.

Pras tertegun di tempatnya berdiri. Kerongkongannya terasa sulit untuk menelan. Pras seperti dihantam sesuatu tak kasat mata. Dadanya terasa sesak dan tiba-tiba rasa takut datang menghantuinya.

"Aku mau sendiri," kata Tamara dengan nada lemah.

Pras yang bingung harus melakukan apa kemudian berjalan menjauhi ranjang dan segera keluar dari kamar tersebut. Tamara menangis tertahan kala punggung Pras benar-benar sudah tidak terlihat lagi. Dia tidak tahu jika Pras akan bersikap begitu jahat padanya. Seandainya dia memiliki uang, semuanya tidak akan sampai seperti ini.

"Ibu, Saras sepertinya nggak kuat." Tamara mengusap matanya pelan.

Tanpa Tamara tahu, Pras masih berdiri dan bersembunyi di balik tembok kamar mereka. Pria itu memejamkan mata kala mendengar kalimat Tamara yang terdengar putus asa itu. Pras kemudian memilih pergi dari sana.

***

"Lho, Ras?" Nurmala terkejut ketika Tamara pulang rumah tanpa memberi tahu terlebih dulu.

"Ibu," Tamara tersenyum.

Wanita itu memeluk ibunya yang kini terlihat lebih kurus dengan wajah yang sedikit pucat. "Saras kangen," kata Tamara sambil menahan tangis.

Nurmala melerai pelukan mereka dan membingkai wajah anaknya. "Ibu juga kangen," ucap Nurmala sambil tersenyum.

Nurmala kemudian beralih menatap Gangga yang berdiri sambil membawa tas berisi pakaian milik Tamara. "Gangga!" Nurmala tersenyum lebar. "Sudah lama Ibu nggak ketemu kamu," kata Nurmala.

"Halo, Bu! Bagaimana kabar Ibu?" Gangga kemudian mencium tangan Nurmala sekilas.

"Kabar Ibu baik, terakhir kali ketemu waktu Saras menikah, ya?" kata Nurmala.

Gangga mengangguk sembari tersenyum. Nurmala kemudian meminta mereka berdua masuk ke dalam rumah.

"Adik-adikmu sedang pergi, katanya ke bioskop," ujar Nurmala.

Tamara mengangguk. "Mungkin ada film bagus yang ingin mereka tonton, Bu."

Nurmala mengangguk. "Langsung makan dulu setelah bersih-bersih," kata Nurmala.

Tamara dan Gangga yang berhenti di ruang tamu kemudian mengangguk dan berjalan menuju ruang makan. Tamara lebih dulu membersihkan tubuhnya dan mengganti bajunya dengan daster. Sedangkan Gangga, pria itu kini sedang berada di dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Bagaimana kabar cucu Ibu?" tanya Nurmala sambil menata piring untuk Gangga dan Tamara.

Tamara yang sudah duduk manis dengan mata yang memandang makanan di depannya dengan takjub kemudian beralih menatap wajah ibunya. "Anak Saras sehat, Bu." Dia tersenyum lebar sambil mengelus perutnya.

"Syukurlah! Ibu senang dengar cucu Ibu sehat," ucap Nurmala sembari duduk. "Oh, ya! Bagaimana kabar suamimu?" tanya Nurmala dengan wajah tenang.

Wajah Tamara berubah sendu. Hanya beberapa detik saja, setelahnya dia segera mengubah ekspresinya.

"Mas Pras baik, Bu." Tamara kemudian mengambil nasi dan juga lauk.

"Kenapa tidak minta diantar suamimu?" tanya Nurmala dengan wajah curiga.

Tamara menghela napas pendek. "Mas Pras sibuk, Bu," jawab Tamara singkat.

"Suami Saras sibuk karena sedang ada proyek baru, Bu." Gangga tiba-tiba datang dan duduk di sebelah Tamara. "Lagipula, karena Gangga juga lagi kangen rumah makanya sekalian aja Gangga ajak Saras pulang ke sini," lanjut Gangga.

"Memangnya Pras tahu kalau Saras pulang ke sini sama kamu?" tanya Nurmala.

Gangga mengangguk mantap. "Pras tahu, Bu." Gangga kemudian meraih tangan Tamara yang ada di bawah meja kemudian menggenggamnya dengan erat.

Tamara mengangguk. "Iya, Bu." Tamara tersenyum. "Lagipula Saras cuma satu malam di sini, Saras kangen sama rumah ini dan juga orang-orang di dalamnya," katanya.

Nurmala hanya menggelengkan kepalanya. "Ya udah, Ibu pikir kalau Pras nggak tahu kamu pulang ke sini sama Gangga," ucap Nurmala. "Kamu udah jadi istri Pras jadi kalau pergi harus minta izin suamimu, itu yang namanya istri menghormati suami," lanjut Nurmala.

Tamara hanya mengangguk tanpa berniat menanggapi ucapan Nurmala. "Ibu nggak tahu bagaimana Pras memperlakukan Saras selama ini," batin Tamara pilu.

TerberaiWhere stories live. Discover now