Chapter LXXVI (Hope)

1K 117 43
                                    

"Begitu... ya?"

Sembari mengelus pelan surai Haechan yang tengah tertidur pulas dalam pelukannya itu, masih dalam posisi terduduk dengan punggung menempel pada sandaran ranjang rumah sakit, Mark yang sempat tertegun usai mendengar segala penjelasan Chenle pun lantas tersenyum tipis.

Tentu saja Mark tidak akan melupakan bagaimana pecahnya tangis Haechan tadi siang. Hingga membuat Mark hanya bisa terus memeluk tubuh tunangannya tersebut, seraya membisikan kata penenang apapun itu yang setidaknya mampu meredakan ketidakstabilan kondisi emosional Haechan. Bahkan gara-gara itu, Mark sampai lupa sekaligus mengabaikan kehancuran kondisi emosionalnya sendiri, lantaran rasa bersalah dan kekhawatirannya lebih mendominasi dirinya untuk terfokus pada Haechan seorang.

Tentu saja.

Seingat Mark, ini merupakan kali kedua Haechan memergoki dirinya yang sedang bergelut dengan kecenderungannya untuk melukai dirinya sendiri, oleh karena merasa tertekan hingga menimbulkan stres ekstrim yang sangat mempengaruhi mood dan kewarasannya.

Namun yang Mark tidak sangka adalah, Haechan dengan atau tanpa ingatannya sekalipun, akan memiliki reaksi yang sama akan sisi gelapnya yang sebenarnya jarang sekali muncul tersebut; yaitu menangis penuh rasa syok hingga membeku dan tak mampu mengucap apapun, sampai pada akhirnya meluap jadi raungan tangis tak terbantahkan.

Iya.

Mark sangat menyesali bagaimana Ia melupakan, walau manusia kehilangan ingatan sekalipun, tapi mereka juga memiliki perasaan.

Sebuah perasaan yang tentunya sangat peka sekali, akan segala apapun yang berhubungan dengan memori manusia... dan juga kepada orang yang sangat mereka cintai.

Setidaknya hal tersebut yang selanjutnya disadari oleh Mark, berkat kemunculan Chenle secara mendadak sebelumnya, meski kini tengah terduduk dengan begitu lesunya di sebuah kursi yang menghadap pada ranjang rawat Mark.

Mark juga tidak akan melupakan, bagaimana di tengah-tengah pecahnya tangis Haechan tadi, suara pintu ruang rawatnya yang mendadak terbuka disertai suara kegaduhan pun, lantas membuat Mark refleks menempelkan jari telunjuk pada permukaan bibirnya sendiri yang sedikit mengering, oleh karena sosok Chenle yang mendadak muncul di ambang pintu dengan raut panik, kaget, dan cemas yang begitu mendominasi wajahnya.

Tentu saja.

Bagaimana Chenle tidak merasakan semua itu?

Meski samar-samar, tangis Haechan benar-benar terdengar sangat menyayat hati dari luar ruang rawat Mark. Sebuah fakta yang menghantarkan Chenle untuk memberanikan diri menerobos masuk, setelah sempat memutuskan untuk menunggui Haechan yang ternyata sedang menyelinap masuk ke dalam ruang rawat Mark dari luar.

Padahal niat awalnya, Chenle yang memahami kegelisahan Haechan bahkan sejak sahabatnya itu mendengar bila Mark telah tersadar dari komanya, berniat untuk memberikan waktu bagi keduanya untuk bertemu dan mengobrol, sesuai dengan apa yang telah direncanakan oleh mereka sebelumnya.

Iya.

Haechan memang sempat mengutarakan pada Chenle sebelum jam keberangkatan mereka membesuk Mark di rumah sakit. Bahwa Ia sudah mempersiapkan diri untuk melaksanakan skenario yang tercipta di kepalanya, untuk bersikap layaknya seperti Hyuckie di masa dulu, berbekal memorinya yang diceritakan oleh Renjun maupun Jaemin sejak dua minggu yang lalu.

Bukan tanpa alasan, Haechan bahkan Chenle sendiri pun memahami, bila sang pewaris Keluarga Seo tersebut memang harus melakukan semua itu, demi menggaransi kondisi emosional Mark usai mendengar kabar tentang Haechan yang kehilangan ingatannya secara total.

Karena mereka sama-sama tahu, bahwa skenario palsu yang terpaksa Haechan perankan saat ini, pastinya akan membuat Mark paling hancur hingga titik terendah dalam hidupnya.

ReverseWhere stories live. Discover now