Chapter CXXI (Seven Dream: 1)

757 62 51
                                    

Jeno pikir, hantaman badai yang akan melanda hubungan dan Jaemin akan berakhir, setelah Ia berhasil meyakinkan kekasihnya itu untuk tetap melanjutkan hidup bersamanya dan para sahabat mereka. Bahkan Jeno juga sempat merasa optimis, setelah mendengar bila Keluarga Seo sangat terbuka hati untuk menerima Jaemin sebagai anak asuh mereka sampai kapan pun, sesuai dengan wasiat dari Tuan dan Nyonya Na, yang ternyata sudah mereka tulis bahkan saat Jaemin masih di dalam kandungan.

Jeno pikir, dengan selalu mendampingi Jaemin berbekal waktu dan tenaga yang sepenuhnya Ia curahkan. Semua itu cukup mampu untuk meringankan Jaemin dari kesedihan terdalamnya, lantaran kehilangan kedua orang tuanya di umur semuda itu. Bahkan Jeno sangat berterima kasih pada Renjun dan Haechan, yang senantiasa menemani Jaemin kapan pun dan kemana pun, saat semesta tidak memberinya kesempatan untuk bisa berada di sisi sang kekasih.

Jeno pikir, dukungan emosional maupun kasih sayang yang Jaemin terima dari seluruh orang-orang terdekatnya, sekiranya mampu meringankan luka hati Jaemin akan kehilangan kedua orang tuanya. Bahkan jika memungkinkan, mampu kembali menorehkan senyum dan keceriaan di wajah Jaemin, untuk menghapus kilatan kesedihan yang masih menghiasi hidup sang kekasih selama menjalani hari-harinya.

Namun ternyata tidak.

Bagaimana pun, luka akan kehilangan seseorang, bukanlah sebuah hal yang bisa disembuhkan sesimpel itu, meski sebanyak apapun cinta dan kasih sayang yang dihujani oleh orang lain kepadanya.

Semua itu Jeno rasakan, setelah mendapati kondisi Jaemin yang kembali drop sampai titik terendah, pasca peristiwa penculikan Haechan terjadi.

Peristiwa yang terjadi sebulan yang lalu itu pun, setidaknya sangat berhasil membuat Jeno lebih sadar dari sebelumnya, bahwa luka di hati Jaemin amatlah kompleks, hingga menyebabkan trauma yang mampu melebar ke berbagai hal.

Sebuah trauma, yang tak semudah itu ditangani oleh Jaemin yang masih saja terus menyalahkan dirinya-sendiri, apalagi setelah mendapati sebuah realita tentang Haechan yang ditemukan dalam kondisi cukup parah, dengan ingatannya yang rusak berbekal reaksi ekstrim tak terdeskripsikan yang menyertainya.

Kini Jeno memahami kondisi emosional Jaemin sepenuhnya.

Tentang Jaemin yang menyembunyikan perasaan bersalah terdalamnya, yang termanifestasi begitu menyakitkan dalam sebuah penyesalan tak berujung.

Bahkan Jeno dapat menerka-nerka, segala perandaian yang menghimpit kewarasan Jaemin pada setiap detak dari denyut nadinya.

Perandaian berupa;

Apa jadinya, kalau di malam itu Jaemin tidak menginap di apartemen Jeno?

Apakah ada kemungkinan Jaemin bisa ikut ke surga bersama kedua orang tuanya?

Atau lebih bagus lagi, Jaemin berkemungkinan mampu menyelamatkan kedua orang tuanya dari kebakaran yang ada?

Apa jadinya, kalau di siang hari itu sedikit saja Jaemin bisa lebih awas pada kondisi di sekitar jalan yang Ia lalui bersama Renjun dan Haechan?

Apakah Jaemin bisa mencegah peristiwa penculikan yang telah menimpa mereka bertiga?

Atau lebih bagus lagi, mereka bisa menangkap siapapun itu pihak yang berniat menyelakai mereka?

Apa jadinya, kalau di saat itu Jaemin tidak cukup pengecut, dengan memenuhi permintaan Haechan untuk kabur bersama Renjun, sekaligus meninggalkan Haechan yang sedang terluka?

Apakah Jaemin bisa turut menanggung rasa sakit yang dialami Haechan saat ini, akibat reaksi ekstrim dari ingatannya yang hilang?

Atau lebih bagus lagi, mereka bertiga bisa selamat secara bersama-sama, dengan menyatukan keberanian dan kekuatan untuk menghadapi para penculik itu?

ReverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang