Chapter CXXII (Seven Dream: 2)

587 63 24
                                    

Jaemin tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi saat ini.

Atau setidaknya,

Memang hal tersebut yang berusaha Ia tanamkan baik-baik di dalam benaknya.

Meski pada akhirnya,

Semua itu gagal, tepat setelah manik ambernya kembali menangkap siluet Jaehyun, yang masih senantiasa terduduk di sofa ruang tamu rumahnya, dalam kondisi bibirnya yang telah berhenti berucap.

Bahkan dari berapa menit yang lalu.

Begitu lama.

Sama halnya dengan Jaemin yang turut terdiam, hanya untuk memandangi kembali punggung tangannya sendiri, yang kini terkepal begitu erat di atas pangkuannya.

Keheningan yang terjadi, seakan menjadi saksi dari keterdiaman kelima sahabat Jaemin yang juga tengah mendampinginya, usai merasa tak satu pun dari mereka turut mampu untuk menimpali berbagai fakta tentang segala kekacauan yang ada—terutama tentang Jeno, yang baru saja terlontar begitu detail dari mulut Jaehyun.

Tak hanya mereka.

Sedari awal Taeyong pun bahkan tak berani menatap sosok Jaemin, yang sampai sekarang tak mengucap apapun, hingga membuatnya hanya bisa terus menggenggam tangan Ten yang senantiasa terduduk mendampinginya, disertai pandangan kosong dari Johnny, yang benar-benar tidak memahami lagi harus mengambil sikap seperti apa.

Segalanya begitu rumit.

Serumit isi kepala Jaemin saat ini, yang sama sekali masih tidak mampu mempercayai, bila lima belas tahun hidupnya sejak pertemuannya dengan Jeno, merupakan segelintir candaan di mata Jaehyun dengan segala pemikiran bodohnya.

"Paman bilang..."

"..."

"Semua itu Paman lakukan..."

"..."

"...untuk kebahagian putra-putra Paman?"

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

"Tapi kenapa..."

"..."

"...Jeno tidak bahagia?"

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

"Paman sebenarnya memang tidak tahu..."

"..."

"Atau pura-pura buta..."

"..."

"Kalau sejak kecil sekalipun..."

"..."

"...Jeno sangat menderita?"

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

Keterdiaman Jaehyun setelahnya, seakan mengiringi kebingungan Jaemin sendiri pada kondisi emosionalnya, yang justru merasakan kemurkaan tak berujung pada apa yang menimpa Jeno selama ini, dibandingkan fakta tentang kedua orang tuanya yang "dilenyapkan" oleh Tuan dan Nyonya Lee.

Jaemin tidak mengerti.

Seharusnya konsennya saat ini adalah, tentang realita dibalik kematian kedua orang tuanya, yang ternyata memang dibunuh secara terencana oleh Tuan dan Nyonya Lee, dengan dalih kedua orang tuanya yang tidak menyetujui, permintaan dari "orang tua" angkat Jeno itu untuk berbesanan, melalui usulan pertunangan dini antara Jeno dan Jaemin.

ReverseWo Geschichten leben. Entdecke jetzt