29. Waltz

19.1K 3.2K 93
                                    

"maaf, tiba-tiba membawamu dari sana."

Kata orang, seseorang terlahir dengan berbagai macam perasaan yang berbeda pada tiap orang. Seperti aku yang merasa familiar saat melihat putri Irene kemarin, entah bagaimana aku seperti mengenal bahkan merasa tak asing dengan nya. Meski dia tokoh yang 'tiba-tiba' muncul entah dari mana.

Ah, sepertinya ada yang tidak beres dengan dunia novel ini, semuanya diluar dugaanku. Ian menjelaskan situasi yang tiba-tiba saja menghampiri kami. Duke Adelio ternyata pernah menemui nya sebelum aku menghampiri nya dulu, bahkan Duke sendiri datang bersama dengan penawaran tak terduga yang melebihi dugaanku.

"Lalu kenapa kau menolaknya?"

"Entahlah, waktu itu aku memiliki alasan kenapa aku menolak nya, seakan aku pernah bertemu dan diperlakukan buruk olehnya, aku menolaknya. Lalu untuk yang kedua kali nya dia datang bersama putrinya, aku yang sebelumnya tidak pernah menerima perkataan buruk dari seseorang untuk pertama kalinya mendengar seseorang menyebutku 'monster' dan itu menjadi alasan penolakan ku terhadap tawaran Duke. Lalu kau datang dan membawaku."

Lucian mengangkat bahu dan tersenyum. "Maaf tidak memberitahu mu saat itu."

"Tidak, harusnya aku yang berterimakasih, karena kau mau menolaknya, jika tidak... bagaimana bisa kita bertemu?" Kupaksakan untuk tersenyum, sepertinya perasaan nya saat ini sedang buruk. Lagipula kata-kata ku tidak salah, kehidupan ku sebagai Annika tidak terlalu membosankan karena kehadiran nya.

Bolehkan aku mengatakan ini...

Dia seperti sesuatu yang berharga bagiku.

"Terimakasih. Ngomong ngomong, apa kau tidak mau berdansa?"

Lucian tersenyum kearahku. Aku tertawa pelan dan memukul lengannya sedikit. "Terima kasih kembali tapi aku sedang tidak ingin berdansa, aku bisa saja menginjak kakimu."

"Tapi terakhir kali kita berdansa adalah saat kita masih kecil. Kau tidak menginjak kakiku waktu itu."

"Itu dulu."

Alasan klise memang, aku masih takut bertemu dengan putra mahkota. Meski tadi aku sempat melihatnya sedang sibuk menerima pujian dan ucapan dari para pendukung nya. Meski begitu harusnya saat ini dia berdansa dengan Helena bukan? Mungkin. Didalam orang-orang sedang ramai membicarakan pangeran yang berdansa dengan seseorang (?).

"Jadi, bisakah aku memiliki satu dansa bersamamu, nona?" Lucian melempar senyumannya padaku.

Jika boleh jujur, aku terpana pada penampilan dan etiket sopan-santunnya yang benar-benar sempurna dan mendekati kata 'bangsawan sesungguhnya'. Tangannya terulur padaku, lagu waltz yang tadi terdengar samar entah bagaimana bisa terdengar begitu indah saat ini.

Ian menuntunku menuju aula ballroom. Sudah banyak pasangan muda-mudi yang berdansa bersama disana, bahkan aku dapat melihat tatapan terkejut para nona muda yang mungkin mengincar Lucian. Sesaat, entah bagaimana aku merasa malu sendiri sekaligus bangga disaat bersamaan.

"Kupikir aku yang akan gugup." Aku tertawa memerhatikan telinganya yang memerah.

"Berhentilah mengejekku, itu tidak lucu."

Kapan terakhir kita bisa berdansa seperti ini? Tiga tahun lalu? Hmm...aku tersenyum kecil memikirkan nya. Aku beruntung mendapatkan kesempatan dansa pertama dengan mu.

"Apa malam ini aku terlihat keren?"

"Ya?"

Kutatap mata merahnya yang menatapku lurus, sejujurnya agak aneh melihatnya tumbuh secepat ini. Maksudku, Jean tidak memiliki postur tubuh seperti Ian karena ia selalu menghabiskan sebagian waktunya didalam lab untuk penelitian. Tapi aku cukup bangga dengan hal itu.

The Vermilion Primrose [END]Where stories live. Discover now