39. Perasaan

18.2K 2.9K 167
                                    

"tidurlah, ini sudah larut malam."

Lucian mendorong tubuh Annika untuk masuk kedalam kamar karena suhu udara yang tiba-tiba mendingin. Annika yang masih belum mengantuk hanya bisa mengerucutkan bibirnya kedepan kesal. "Siapa suruh datang malam-malam!"

"Kalau pun aku datang siang, apa kau bisa menjamin keselamatan ku setelah dipelototi oleh kakak mu Yurian?!"

"Salah sendiri yang menggendongku tiga tahun lalu!"

"Haish, itukan karena hak sepatu mu!"

"Sudah-sudah berdebat dengan mu itu tidak ada habisnya...."

Annika menarik selimut dan membukanya lebar-lebar lalu meletakkan nya dilantai seperti karpet. "Apa yang kau lakukan?"

"Menyiapkan tempat tidur."

"Dilantai?"

Annika tidak peduli dan tidak ingin peduli, ia mengambil bantal dan meletakkan semuanya dilantai lalu duduk diselimut tersebut dan menggerang nikmat dan berbaring lalu menepuk bantal kosong disamping nya. "Kau juga."

"Aku?!"

"Siapa lagi? Semenjak kau keasrama dan menjadi putra Duke aku selalu merasa kesepian."

Lucian mengerutkan kening, kenapa tiba-tiba Annika berubah seperti anak kecil saat ini? Dilihat nya jam gadang kamar Annika yang tidak berubah sama sekali, pukul 11 jam tidur Annika. Dan sebuah tangan meraih balik tangannya, tangan halus Annika. Lucian terdiam dan menunduk dan saat itu juga Annika menariknya dan...

BRAK...

membuatnya berbaring tepat disampingnya.

"Ugh...sejak kapan kau sekuat ini?"

"Hmm? Aku? Sejak kau meninggalkanku dalam perjalanan ekspedisi, aku sering diserang oleh beberapa penjahat dan akhirnya aku meminta Yurian mengajarkan beberapa jurus bela diri padaku."

Annika tertawa kecil dan menatap langit-langit kamar yang terlihat mewah. Tidak seperti rumahnya dulu.
Lucian yang mendapat surat dari seseorang tentang beberapa penyerangan yang dialami Annika hanya bisa diam mengingat potongan tubuh orang-orang itu yang habis dipotongnya dengan sihirnya.

'mereka tidak akan berani melakukan hal yang sama lagi...'

"Hei, kau ingat? Saat musim penghujan datang melanda musim semi pertama mu dirumah ini?"

"......memang kau ingat?"

Gelak tawa terdengar, Annika menoleh kesamping dan menekan pipi tirus wajah Lucian yang kehilangan lemak pipinya, dulu ia ingat bagaimana bocah berusia tiga belas tahun ini memiliki pipi seperti bola pingpong. "Kau menangis karena badai dan datang kekamar ku dengan memeluk bantal. Lalu berkata 'aku takut, petirnya keras sekali...' dengan wajah seperti ini" Annika memasang ekspresi wajah konyol dan tertawa terbahak-bahak.

Lucian merasa wajahnya memanas karena malu, "lalu kau masuk dan menangis didepanku seperti anak kecil, dan setelahnya ada petir yang membuat kau semakin menangis kencang!"

Gelak tawa semakin terdengar, lucian tidak tahan lagi, bagaimana ia bisa melupakan malam itu? Malam yang membuat matanya bengkak karena suara petir yang menggelegar dilangit malam dengan hujan deras.

"Wajahmu seperti anak bebek yang kehilangan induknya! Hahahaha...ya ampun, bagaimana bisa bocah itu bisa setampan ini, Ian! Kau itu lucu!!!"

Annika tertawa lebar dan mengacuhkan wajah datar tanpa ekspresi milik Lucian yang menatapnya kesal. "Oh, begitu? Lalu apa kau ingat dengan gadis kecil yang menangis berlari kearahku karena dikejar anjing yang bahkan sangat jinak itu?" Kali ini, giliran Lucian yang terkekeh.

The Vermilion Primrose [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang