[2nd] 29. Pathetic Destiny

8.7K 1.7K 110
                                    

Lucian membekap dirinya, mencoba mencari kehangatan yang menurutnya akan sama hangatnya dengan ketika Annika memeluknya. Naas, dia masih tidak dapat menemukan kehangatan yang ia cari itu. Tidak ada, seolah hilang, ditelan gelap dan dinginnya jeruji besi. baru kali ini ia menyadari betapa mengerikannya apa yang ia rasakan setelah sekian lama merasa aman dengan kehidupan dimana Annika selalu berdiri disisinya.

'hari ini...'

Ia menatap rembulan malam yang akan segera berganti menjadi fajar pagi, hukuman telah ditetapkan. hari ini, ia akan dieksekusi atas kesalahan yang bahkan tidak pernah ia buat dengan kedua tangannya itu.

"Tidak ada yang berakhir baik, meski aku memutar nya untuk yang kedua kalinya."

Ia menghela nafasnya pelan lalu bersandar pada dinginnya dinding penjara, tempat ia mendekam selama dua Minggu yang memberatkan punggungnya akhir-akhir ini. Ia perlahan mengangkat tangannya ke udara kosong lalu menggapai sesuatu yang hanya ada dalam benaknya saja.

Sosok lain dari dirinya.

Carlos.

"Kenapa, baik kau dan aku...tidak ada yang pernah mendapatkan kebahagiaan?"

Ia berbicara seperti orang gila, pada udara kosong didepannya.

Menyedihkan.

"Kita berdua dianggap monster dengan mata merah mengerikan yang dikutuk oleh sang Dewi. Tapi Annika mengatakan padaku bahwa aku diberkati, itu sebabnya aku dapat bertahan dan mempercayai semua yang ia katakan, hanya dia yang benar-benar tulus padaku lalu kenapa?"

"...."

Lucian berteriak tanpa memedulikan tatapan tajam dari penjaga penjara yang tengah berpatroli disana. Ia menghela nafas kasar sekali lagi lalu mengusap matanya yang panas mengingat keadaan seperti apa yang Annika rasakan saat ini seorang diri.

Tanpa siapapun disisinya.

- "tetaplah bersama ku."

Suatu hari ketika ia masih kecil, ketika ia dan Annika duduk didepan piano putih yang selalu menjadi tempat favorit mereka bermain bersama setelah latihan, ia mengatakan pada Annika bahwa ia harus selalu berada disisinya dan gadis kecil itu mengabulkan nya sampai saat ini, lalu ia? Ia bahkan tidak berada disini wanita yang tengah menderitakan rasa sakit disekujur tubuhnya karena dirinya, karena dendam dan ambisinya untuk menghancurkan Duke Adelio.

Lucian menyadarinya.

"Akulah yang harusnya disalahkan atas semua ini."

Ia menutup wajahnya dan menangis kecil.

"Akulah yang memutar waktu, tapi kenapa kau malah memberikan hukuman dari perbuatan ku pada wanita yang aku cintai, kenapa?"

Bayangan yang dibuat oleh alam bawah sadarnya mengabur-hilang bercampur dalam debu dan dinginnya udara keheningan. Ia tidak dapat melakukan apapun. Lucian memukul dinding batu yang kasar sehingga tidak menyadari bahwa tangannya sendiri mengeluarkan banyak darah merah menyegarkan. Warnanya yang semerah mata nya mengalir dan titik dilantai hampa.

Lucian tidak peduli.

Ia tidak akan peduli.

"Brengsek! Persetan dengan darah ini!"

Ia mengatur nafasnya yang sesak dengan wajah basah karena air matanya, semua itu terasa semakin menyesakkan ketika ia mencoba menghibur dirinya sendiri dengan mengingat senyum menenangkan yang selalu Annika tujukan pada dirinya. Naas, kekesalan dan amarahnya semakin menjadi ketika mengingat suara putus asa seorang Annika yang memanggil namanya tempo hari.

The Vermilion Primrose [END]Where stories live. Discover now