[2]TRAVMA

57.6K 4.2K 48
                                    

"Permisi gadis-gadis," Farel masuk ke dalam kamar Stella membuat pembicaraan seru mereka berdua terhenti.

"Ish! Ketuk pintu dulu kek," gerutu Stella.

"Lo udah waktunya minum obat Stell. Gara-gara keasikan ghibah lo jadi lupa minum obat," ujar Farel.

Tasya mengerutkan keningnya, obat? Memangnya Stella sakit apa?

Stella mendengus kesal. Obat lagi, obat lagi. Tidak bisa kah hidupnya lepas dari obat.

"Gue nggak mau minum obat! Gue capek Rel minum obat setiap hari."

"Kalau lo gak minum obat, terus kapan lo sembuhnya," ujar Farel memberi pengertian.

"Mau minum, gak minum obat gue bakal tetap mati Rel." Ucap Stella membuat wajah Farel berubah menjadi datar.

"Memangnya Stella sakit apa?" tanya Tasya.

"Nanti aku jelasin ya," Farel mengacak puncak kepala Tasya.

Tasya mengangguk mengerti, ia juga tidak ingin membuat Stella malu jika Farel memberitahunya di depan Stella.

"Kematian itu ada di tangan Tuhan Stell dan lo gak tahu kapan lo akan mati. Kita nggak ada yang tahu siapa dulu yang akan mati. Entah itu gue, Tasya, lo bahkan nyokap bokap lo."

"Tapi Rel---"

"Kalau lo gak mau minum obat, gue gak akan ajak Tasya lagi kesini." Ancam Farel.

Stella memanyunkan bibirnya, kenapa Farel begitu keras sampai mengancam tidak akan membawa Tasya bertemu dengan dirinya lagi. Padahal ia baru saja bahagia karena mendapatkan teman baru seperti Tasya.

Stella lebih baik mengalah dari pada Farel benar-benar tidak mengizinkan dirinya bertemu dengan Tasya lagi.

"Yauda deh," pasrah Stella.

*****

Tasya melihat Farel memberikan obat ke tangan Stella dengan baik. Farel terlihat sangat peduli kepada Stella membuat hati nya merasa cemburu.

Namun Tasya tidak boleh egois, Stella ada lebih dulu di hidup Farel sebelum dirinya.

"Puas?" Stella memutar matanya malas setelah beberapa butir obat masuk ke dalam mulutnya.

"Puas banget."

Farel melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 17:00. Ia harus mengantarkan Tasya pulang sebelum abang nya terus menelvoni dirinya karena adik kesayangan nya belum sampai kerumah.

"Gue anterin Tasya balik dulu ya, nanti gue kesini lagi."

"Yah... kok balik sih." Stella cemberut.

"Ini udah sore Stella. Gue harus anterin Tasya pulang," ujar Farel.

"Kalau lo mau balik yaudah balik sendiri aja sana jangan Tasya," rengek Stella.

Stella baru saja bertemu dengan Tasya dan Stella merasa nyaman berbincang dengan dirinya.

Farel mengelus kepala Stella pelan sementara Tasya hanya melihatnya nanar. Apa benar mereka hanya sebatas bersahabat? Apa tidak ada perasaan lebih di antara mereka.

Tasya segera menggelengkan kepalanya cepat. Ia harus membuang pikiran buruk itu, tidak sepantasnya Tasya curiga kepada pacarnya sendiri. Jika mereka ada perasaan Farel tidak mungkin menyatakan cinta kepada dirinya.

"Tasya itu bukan gadis seperti biasanya yang bisa pulang bebas seperti yang dia mau. Dia itu punya abang yang galak banget, kalo gue telat nganterin dia bisa abis gue di gebukin," cerita Farel dramatis.

"Abang aku gak se galak itu kali," celetuk Tasya.

"Canda sayang," kekeh Farel.

"Sopan kah sayang-sayangan di depan jomlo?"

"Makanya punya pacar biar gak jomlo,"

"Mana ada cowok yang mau sama cewek penyakitan kayak gue."

"Ada kok cowok yang mau sama lo. Lo nya aja yang terlalu tertutup sama mereka. Ada yang deketin malah lo biarin," ujar Farel saat mengingat begitu banyak pria yang mendekati Stella namun Stella selalu mengabaikan mereka.

"Kalau pada akhirnya mereka bakal ninggalin gue karena tahu penyakit gue. Lebih baik dari awal gak gue tanggapin dari pada nantinya gue yang akan sakit hati," jelas Stella.

Farel mendesah pelan, sahabatnya ini memang susah di beritahu.

"Gak semua cowok kayak gitu Stell, lo nya aja yang bego." Farel menyentil kening Stella membuat sang empu mengadu.

"Udah ah, gue anterin Tasya pulang dulu."

Farel mengambil jaketnya dan Tasya pamit untuk pulang ke Stella.

"Sering-sering kesini ya Sya," ujar Stella sedih lalu memeluk Tasya.

"Iya kalau Farel aja aku kesini,"

"Awas aja lo kalau gak ngajak Tasya kesini. Gak gue izinin lo masuk kerumah."

"Iya bawel," Farel mengacak puncak kepala Stella.

Tiba-tiba ada desiran aneh di dada Tasya, dada nya terasa sesak melihat perlakuan Farel untuk Stella.

*****

"Sebenarnya Stella sakit apa?" tanya Tasya.

Mereka sudah berada di dalam mobil menuju kerumah Tasya. Rasa penasaran Tasya semakin tinggi saat Farel memperlakukan Stella seperti seorang ratu.

"Stella mengidap penyakit kanker otak stadium 3 sejak tiga tahun yang lalu."

"Kanker otak?"

Tasya tidak menyangka jika gadis ceria seperti Stella mengidap penyakit yang berat. Pasti sulit bagi Stella melewati itu semua. Mulai hari ini Tasya akan lebih mengerti jika Farel memperlakukan Stella seperti ratu. Mungkin Stella lebih membutuhkan perhatian Farel daripada dirinya.

"Hm, kedua orang tua Stella itu gila kerja makanya dia selalu kesepian di rumah. Setiap hari kondisi Stella semakin menurun dan untuk pertama kalinya aku lihat Stella se ceria itu ketemu sama kamu," ujar Farel.

"Stella penting banget ya di hidup kamu?"

Farel menoleh ke arah Tasya, ia tersenyum lalu tangan nya terulur mengelus pipi Tasya.

"Banget. Aku udah anggap Stella itu adik aku sendiri," jawab Farel.

"Kalau suatu saat kamu harus memilih antara aku dan Stella kamu pilih siapa?"

TRAVMA (Segera Terbit)Where stories live. Discover now