[15]TRAVMA

40.6K 3.1K 122
                                    

"Mama udah janji sama Bian buat gak bahas soal kematian Papa ke Tasya. Tapi kenapa Mama malah ingkar janji!" Bian dan Tyas tengah berdebat di ruang tamu.

"Adik kamu sendiri yang ingin tahu. Sampai kapan kamu akan terus tutupin kenyataan itu dari dia?" ujar Tyas masih santai.

"Tapi Tasya nggak salah Ma. Dia gak ada sangkut pautnya dengan kematian Papa!" Bela Bian.

"Jelas ada. Dia emang---"

"Assalamualaikum."

Perdebatan antara Bian dan Tyas terhenti ketika Tasya datang di papah oleh seorang pria.

"Tasya kamu kenapa?" Bian mendekati Tasya dan membantunya duduk di sofa.

Tasya memijit pelipisnya yang terasa nyeri.

"Adik gue kenapa?" tanya Bian kepada Marsel.

"Gue nemuin Tasya di pinggir jalan udah kayak gini bang," jawab Marsel.

"Kamu kenapa dek?" tanya Bian namun hanya helaan nafas yang terdengar.

Tasya menatap sang Mama yang tengah berdiri tanpa menatap kearahnya.

"Ma, Tasya lagi sakit. Mama mau kan urusin Tasya?" tanya Tasya penuh harap.

Tyas memutar matanya malas."Mama sibuk."

Tyas berlalu begitu saja dari ruang tamu membuat Tasya menunduk sedih.

Bian mengelus pundak Tasya penuh kasih sayang. Ia tahu bagaimana perasaan Tasya saat ini.

"Masih ada bang Bian," ujar Bian.

"Tapi pengennya Mama," lirih Tasya beranjak dari sofa.

Bian dan Marsel hanya menatap sendu punggung Tasya yang berjalan menuju kamarnya.

*****

"Makan yuk Sya, kamu udah dua hari lho ngurung diri di kamar. Nggak mau makan, nggak mau ngomong juga sama abang. Bang Bian bingung harus apa kalau kamu gini terus."

Bian tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membujuk Tasya untuk makan. Sudah dua hari ini Tasya mengurung diri di kamar dan tidak mau makan. Bahkan Tasya juga tidak mau berbicara kepadanya.

Bian menyerah melihat keadaan Tasya yang seperti sekarang. Bian menaruh satu mangkuk bubur ke nakas lalu menggenggam tangan Tasya.

"Abang punya salah ya sama kamu? Kalau gitu abang harus apa biar kamu maafin Abang?"

"Tasya itu biang masalah ya bang?" setelah dua hari Tasya tidak mau berbicara akhirnya bersuara juga. Namun pertanyaan Tasya membuat hati Bian kembali tidak tenang.

Bian takut Tasya akan menanyakan sesuatu hal yang jawabannya akan menyakiti hatinya. Mendengar kebenaran tentang kematian Papa nya saja sudah membuat keadaan Tasya seperti ini.

"Kenapa ya semua orang menganggap Tasya itu sumber masalah. Tasya gak berhak ya bang buat bahagia?"

Perlahan butiran bening membendung di pelupuk mata Tasya. Berhari-hari ia memikirkan apa kesalahannya sampai orang-orang terdekatnya menganggap kejadian yang ia sendiri tidak tahu adalah kesalahannya.

"Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Kamu itu berhak bahagia," ujar Bian menenangkan Tasya.

Bian tidak tahu apa yang sebenarnya yang di alami Tasya sampai membuat Tasya seperti ini.

"Apa semua kesalahan yang Tasya tidak tahu itu kesalahan Tasya? Termasuk kematian Papa?" lirih Tasya menatap Bian.

"Nggak Sya. Kematian Papa nggak ada sangkut pautnya sama kamu. Kematian Papa itu udah takdir."

"Tapi kenapa Mama kandung Tasya sendiri benci sama Tasya!"

"Mama nggak pernah benci sama kamu Sya. Hanya saja Mama masih belum terima kepergian Papa,"

"Sampai kapan? Sampai kapan Mama akan terus bersikap acuh ke Tasya?"

*****

Setelah satu minggu Tasya tidak muncul di sekolah, hari ini ia kembali seperti biasa. Begitu Tasya masuk ke dalam kelas banyak tatap mata yang menatapnya. Ada juga yang diam-diam membisikkannya.

"Kamu udah sembuh?"

Marsel adalah satu-satunya orang yang menyambut Tasya dengan baik di kelas itu. Tasya hanya tersenyum kaku.

"Iya." Jawabnya singkat.

Tasya duduk di bangkunya, ia tidak berani menatap lurus ke depan. Ia hanya bisa menundukkan kepalanya.

"Sya, kamu udah masuk? Selama ini kamu kemana aja?"

Tasya mendongak mendapati Stella dan Farel yang berada di depannya.

"Kamu kemana aja sih Sya? Satu minggu ini gak ada kabar. Aku telvon juga gak pernah di angkat. Kamu masih marah ya sama aku?" tanya Farel berjongkok di depan Tasya.

"Aku gak marah kok Rel, kamu kan gak ada salah."

"Serius kamu gak marah sama aku?" Farel sangat menyesali perlakuannya kepada Tasya di rumah sakit waktu itu. Harusnya Farel bertanya dulu sebelum menyalahkannya.

"Iya nggak kok," ujar Tasya sangat lembut.

"Maafin aku ya sayang,"ucap Farel memeluk Tasya.

Dalam hati Tasya ingin berkata' bahkan kamu tidak menanyakan keadaan aku yang menghilang seminggu ini Rel' namun mulut Tasya terlalu keluh untuk mengatakannya.

"Sebagai permintaan maaf, kamu mau kan makan malam sama aku?" tanya Farel.

"Makan malam?"

"Iya. Mau kan?"

Tasya tersenyum bahagia, ternyata Farel masih peduli kepadanya. Bahkan Farel mengajaknya makan malam sebagai permintaan maaf.

"Sama Stella juga kok."

Senyum Tasya seketika memudar, ia menoleh kearah Stella yang mengerutkan keningnya.

"Gue juga?" tanya Stella.

"Iyalah. Lo juga harus ikut dalam kebahagian kita," ujar Farel.

"Nggak usah deh gue takut ganggu," ujar Stella tidak enak.

"Nggak akan ganggu malahan tambah seru kalau kita jalannya bertiga. Iyakan Sya?" tanya Farel menatap Tasya.

Tasya tersenyum terpaksa menyembunyikan kecemburuannya. Ia pikir Farel akan hanya menghabiskan waktu berdua dengannya ternyata tidak.

"I-iya," jawab Tasya.

"Yaudah kalau gue gak ganggu kalian, gue ikut."

TRAVMA update lagi yuhuuu!! Si Stella gak tahu diri banget ya bund...

Yok jangan lupa vote dan komennya!!

TRAVMA (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang