[17]TRAVMA

36.6K 3.3K 216
                                    

"Memiliki peran yang penting namun bukan yang terpenting." -Tasya.

*****

Tasya duduk sendiri di atas rooftop menunggu Farel yang katanya akan menjemputnya. Namun sudah 1 jam Farel belum juga datang menjemputnya.

Tasya menghela nafasnya ketika Farel tidak juga mengangkat telpon darinya. Ini sudah jam 11 malam namun Farel tak kunjung datang.

"Maaf, mbak, waktu jam boking tempat ini sudah berakhir di mohon untuk mbak segera meninggalkan tempat ini." Bahkan seorang pelayan cafe sudah mengusir Tasya secara halus.

"Apa saya boleh menunggu pacar saya disini sebentar mbak? S-saya belum di jemput sama pacar saya," ujar Tasya.

"Iya tapi jangan lama-lama ya mbak, soalnya cafe kita sudah mau tutup."

"Iya mbak."

Tasya kembali menghubungi Farel agar segara menjemputnya. Namun Farel tidak juga mengangkat telponnya, sebenarnya kemana Farel.

"Angkat dong Rel!" Tasya mendengus kesal karena Farel tidak ada kabar.

*****

30 menit berlalu namun Farel tidak juga datang menjemputnya. Ini sudah 11:30 dan ponsel Tasya sudah mati karena kehabisan daya. Tasya lupa tidak membawa power bank.

Dlep.

Bahkan lampu di rooftop sudah di matikan, tandanya cafe ini akan segara tutup. Tasya harus buru-buru turun dari sini jika tidak Tasya akan terkunci disini semalaman.

Tasya keluar dari cafe melihat jalanan sudah mulai sepi. Tasya tidak tahu harus menghubungi siapa lagi karena ponselnya mati.

Langit terlihat mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Gerimis sudah mulai turun, Tasya harus mencari tempat teduh.

Tasya mengangkat tasnya untuk menutupi kepalanya, ia berlari kearah halte untuk berteduh. Tasya mengibas bajunya yang sedikit basah akibat gerimis. Bagaimana cara Tasya pulang jika tidak ada taxi yang lewat.

"Butuh tumpangan?"

Mobil sedan hitam berhenti tepat di depan Tasya. Kaca mobil terbuka menampilkan keberadaan Marsel.

"Marsel?"

"Butuh tumpangan gak?" tanya Marsel sekali lagi.

"Eum, nggak usah Sel, makasih."

"Yakin nggak mau aku anterin, bentar lagi hujan lebat lho? Ini juga udah malam Sya gak mungkin ada taxi atau bus yang lewat," ujar Marsel.

Perkataan Marsel ada benarnya juga, namun Tasya merasa tidak enak jika harus merepotkan Marsel.

"Aku tau apa yang kamu pikirin, buruan masuk. Nggak ngerepotin kok."

Tasya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana bisa Marsel membaca pikirannya dengan semudah itu. Tasya juga tidak ada pilihan lain selain ikut dengan Marsel.

"Yaudah kalau gak ngerepotin," pasrah Tasya. Sudah tidak ada pilihan lain untuk Tasya pulang.

*****

"Makasih udah mau anterin aku pulang," ucap Tasya saat sudah sampai di rumahnya.

"Iya sama-sama. Kalau gitu aku pulang dulu ya," pamit Marsel lalu mobilnya menjauh dari rumah Tasya.

Saat Tasya membuka pintu, lampu rumahnya sudah mati. Mungkin Mama dan Abangnya sudah pulang.

"Dari mana kamu baru pulang?"

Baru saja Tasya ingin melangkah masuk ke kamarnya, ia di kejutkan dengan lampu yang menyala dan Tyas di sofa.

"Ee... T-tasya...."

"Apa uang jajan yang Mama kasik ke kamu masih kurang?" tanya Tyas.

Tasya mengerutkan keningnya tidak mengerti."Maksud Mama?"

Tyas beranjak dari duduknya lalu mendekati Tasya yang kebingungan. Tyas menyunggingkan senyumannya menarik jas yang masih terpasang di badan Tasya.

"Sekarang kamu jual diri? Nggak dapat kasih sayang Mama cari kasih sayang nya dari om-om?"

Tasya membelakkan matanya tidak percaya, seorang Tyas menuduh Tasya main bersama om-om?

"MAMA!!"

Bian turun dari tangga dan menghampiri Tasya dan Tyas di ruang tamu. Bian yang mendengar perkataan Mamanya seketika langsung murka. Seorang Ibu bisa-bisanya menuduh anak gadisnya sekejam itu.

"Mama apa-apaan sih!" murka Bian.

"Emangnya Mama salah ngomong? Kamu lihat ini?" Tyas menunjukkan jas milik Marsel yang lupa ia kembalikan tadi.

"Gak seharusnya Mama ngomong kayak gitu ke Tasya. Tasya itu anak perempuan Mama lho!"

"Gak sudi Mama punya anak yang jual diri seperti dia. Kamu lihat dia, anak perempuan pulang tengah malam di antar seorang pria. Cih, menjijikkan!"

Tanpa sadar ucapan Tyas begitu menyakiti perasaan Tasya. Tasya tidak menyangka jika Tyas akan berkata kejam seperti itu. Tasya menghapus air matanya kasar.

"Meskipun dari kecil Tasya belum pernah merasakan kasih sayang Mama ataupun Papa, nggak pernah sedikitpun terlintas di kepala Tasya untuk jual diri!" Tasya berlari masuk ke dalam kamarnya.

"Tasya!" panggil Bian.

"Jahat banget sih omongan Mama!" Bian berlari mengejar Tasya ke kamarnya.

*****

"Tasya!"

Langkah Tasya terhenti ketika seseorang memanggil namanya. Tasya menoleh mendapati Farel di belakang.

Dengan tatapan datar Tasya menunggu Farel sampai di hadapannya.

"Sya, aku---"

Saat Farel hendak menyentuh tangan Tasya, ia terlebih dahulu menjauh.

"Aku bisa jelasin, Sya," ujar Farel berusaha menjelaskan alasannya tidak menjemput Tasya semalam.

"Mau jelasin apalagi?" tanya Tasya dengan tatapan kecewa.

"Sumpah aku gak ada niat buat kamu menunggu lama Sya. Tapi semalam Stella benar-benar butuh aku," ujar Farel.

"T-tapi, aku jemput kamu semalam di cafe itu tapi cafe itu udah tutup dan kamu udah gak ada disana. Aku pikir kamu udah pulang naik taxi," jelas Farel.

"Kamu pikir aku akan tetap disana setalah aku di usir? Dan andai aja semalam kamu jemput aku tepat waktu mungkin aku gak akan di tuduh jual diri Rel!" Tasya menyeka air matanya yang hampir terjatuh.

"Sebenarnya peran aku di hidup kamu itu apasih?!"

Satu Kata Untuk Farel?

Jangan ketinggalan votementnya ya...

Makasih✨

TRAVMA (Segera Terbit)Where stories live. Discover now