[52]TRAVMA

30.3K 2.3K 66
                                    

"Kamu yakin Stella gak marah kamu sama aku?" tanya Tasya.

Saat ini Tasya dan Farel mengobrol bersama. Bahkan Farel meninggalkan Stella sendiri di mejanya.

"Nggaklah kan Stella yang nyuruh aku kesini," ujar Farel.

"Serius? Tumben Stella gak keberatan kamu bareng sama aku."

"Sekarang kamu percaya kan kalau aku sama Stella itu gak lebih dari seorang sahabat?"

Tasya mengangguk mengiyakan ucapan Farel. Meskipun di dalam hatinya masih ada keraguan soal hubungan mereka.

"Aku janji akan terus sayang dan cinta sama kamu. Aku masih cari cara untuk membatalkan pertunangan aku sama Stella tanpa melibatkan kamu. Aku gak mau kamu ada di dalam bahaya lagi." Farel mengelus lembut pipi Tasya.

"Gimana kalau gak bisa? Apa kamu tetap akan menikahi Stella nanti?" tanya Tasya.

"Nggak akan. Aku janji sama kamu."

Byurr

Seorang gadis baru saja tercebur ke kolam berenang. Semua orang langsung memekik kaget. Farel menoleh dan membelakkan matanya.

"Stella!"

Farel berdiri dari duduknya lalu mendekati kolam berenang. Tanpa basa-basi lagi Farel masuk ke kolam renang itu menyelamatkan Stella.

Farel membaringkan tubuh Stella yang tidak sadarkan diri di pinggir kolam.

"Stella bangun!" Farel menepuk pelan pipi Stella.

Farel menaruh telapak tangannya di atas dada Stella. Lalu menekannya berulang-ulang. Cara itu tidak bisa membuat Stella sadar. Hanya ada satu cara lagi yang harus Farel lakukan.

Farel membuka mulut Stella lalu memberinya nafas buatan. Hal itu Farel lakukan berulang kali hingga mulut Stella mengeluarkan air.

Uhuk! Uhuk!

Setelah itu Farel membawa Stella pergi dari sana untuk di larikan ke rumah sakit. Sedangkan Tasya, ia mematung di tempat melihat kejadian tadi. Otot-otok di kakinya terasa lemas. Apa Tasya tadi tidak salah lihat? Farel memberikan Stella nafas buatan.

Tasya berpegangan di tepi meja. Air matanya meluruh begitu saja. Hatinya tertikam lagi dengan perlakuan Farel terhadap Stella. Hal itu lebih sakit daripada melihat Farel memasang cincin di jari manis perempuan itu.

*****

Tasya berdiri di depan cermin kamar mandinya. Ia menatap dirinya yang sangat berantakan. Bayang-bayang Farel memberi Stella nafas buatan masih terekam jelas di kepalanya.

"Aku janji akan terus sayang dan cinta sama kamu."

Kata-kata yang sempat Farel lontarkan dan kejadian itu terus saling bersaut-sautan di kepalanya.

"Aarghh!!"

Tasya mengacak semua barang yang ada di depannya. Tidak peduli pecahan kaca itu mengenai kakinya.

"Kamu bohong Rel! Aku benci sama kamu!!" teriak Tasya.

"Aku janji akan terus sayang dan cinta sama kamu."

"Aku janji akan terus sayang dan cinta sama kamu."

Kata-kata itu terus menghantui Tasya. Tasya berusaha untuk menutup telinga namun saat ia menatap cermin. Ia melihat kejadian saat Farel memberi Stella nafas buatan di depan mata kepalanya sendiri.

"Aarghh! Pergi kamu!"

Centar!

Tasya melempar vas bunga ke arah cermin membuat cermin di depannya itu pecah. Tasya beringsut terduduk le lantai. Sepertinya kebahagian memang tidak ditakdirkan untuk gadis naif sepertinya. Lalu untuk apa ia bertahan hidup? Bukankah semua orang akan bahagia jika dirinya tidak lagi ada di bumi.

"Tasya, buka pintunya Tasya!"

Di luar pintu Bian terus menggedor pintu. Tapi Tasya memilih untuk abai.

"Mungkin mati adalah pilihan terbaik," lirih Tasya. Saat ini Tasya sudah tidak memiliki gairah lagi untuk hidup.

Tasya mengambil pecahan beling di lantai. Ia menatap beling itu lalu tertawa hambar.

"Dunia ini terlalu kejam untuk ku tempati."

Tasya meremas beling itu hingga darah segar bercucuran ke lantai. Tasya tidak merasakan sakit sama sekali di telapak tangannya. Bersamaan dengan itu pintu kamar mandi di dobrak dari luar.

Brakk

Bian langsung menepis tangan Tasya yang ingin merobek nadinya sendiri menggunakan pecahan kaca.

"Kamu gila ya!" bentak Bian.

"Kalau abang telat satu detik aja kamu bisa mati!"

"IYA AKU EMANG GILA! DAN AKU PENGIN MATI!" balas Tasya membentak.

"Kenapa? Bukannya abang senang kalau Tasya mati. Kalau Tasya mati beban abang akan hilang!"

Plak!

Bian mendaratkan tamparannya di pipi adiknya itu. Bian menatap tajam Tasya.

"Kamu mau bikin abang gila hah! Kamu pikir kalau kamu mati abang akan senang? Nggak Tasya, abang akan gila karena kehilangan kamu!" bentak Bian.

"Kamu itu adik abang, sebesar apapun kesalahan kamu gak akan mengurangi rasa sayang abang ke kamu!"

Bian menangkup wajah Tasya agar menatap wajahnya.

"Kamu boleh capek, kamu boleh nangis. Tapi satu hal yang gak boleh kamu lakuin, yaitu putus asa. Ingat, di dalam perut kamu saat ini itu ada satu malaikat kecil yang ingin hidup. Apa kamu tega membiarkan anak itu pergi tanpa melihat dunia?" ujar Bian.

Apa yang kamu lakukan Tasya! Kamu hampir saja menghilangkan hak anak kamu. Jika kamu mati maka anakmu juga akan mati. Apa kau tega mengambil hak yang seharusnya menjadi hak anak kamu. Anak kamu itu berhak melihat dunia dan kamu tidak boleh egois hanya karena rasa sakit yang kamu terima. Tasya menangis saat sadar tindakannya barusan bisa membunuh calon anaknya juga. Selain bunuh diri Tasya juga membunuh seorang malaikat kecil di perutnya.

"Jika takdir begitu kejam mempermainkan hidup mu, maka bertahanlah untuk malaikat kecil ini. Maaf abang sempat marah sama kamu. Abang marah karena abang kecewa sama diri abang sendiri. Abang udah gak becus jagain kamu sampai kamu bisa hamil. Abang udah gagal menjadi pengganti Papa buat kamu. Abang minta maaf." Ungkap Bian. Bian menarik adiknya itu ke dalam dekapannya, membiarkan adiknya ini menangis disana.

TRAVMA (Segera Terbit)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin