[54]TRAVMA

31K 2.4K 42
                                    

Saat ini Tasya duduk di kursi taman kota. Ia tidak tahu lagi harus melangkahkan kakinya kemana lagi. Tasya sudah jalan terlalu jauh, namun sampai saat ini ia belum menemukan tujuannya.

Perlahan matahari turun di gantikan dengan senja indah di ufuk barat. Senja yang harusnya indah kini terasa hampa bagi Tasya.

Tasya merogoh ponselnya di dalam tas. Ia akan meminta Farel untuk menjemputnya. Sambungan pertama tidak tersambung. Tasya mencoba untuk menelponnya lagi. Tersambung namun tidak di angkat.

"Rel, angkat dong."

Tasya mencobanya lagi, di sambungan berikutnya terhubung. Farel mengangkat telfon darinya.

"Halo, kenapa Sya?" tanya Farel dari sebrang sana.

"H-halo Rel? Kamu ada di mana? Kamu bisa jemput aku gak?" tanya Tasya.

"Emangnya kamu mau kemana?"

"Tolong anterin aku ke toko buku ya?"

Tasya sengaja tidak memberitahu hal yang sebenarnya kepada Farel. Tasya masih takut untuk bilang tentang kehamilannya.

"Nanti ya, aku lagi dirumah sakit temani Stella kemoterapi."

"Aku butuhnya sekarang Rel, aku besok ada ujian."

"Yaudah aku pesanin taxi online buat kamu."

"Emang kamu gak bisa ya tinggalin Stella sebentar aja?" tanya Tasya lirih.

"Nggak bisa Sya, Stella butuh aku."

"Dan aku gak butuh kamu gitu?"

Mata gadis itu mulai berkaca-kaca, padahal baru kemarin Farel berjanji akan terus sayang dan cinta kepadanya. Tapi hari ini, ia kembali memprioritaskan sahabatnya itu.

"Tasya pliss... aku gak mau berantem cuma gara-gara ini. Stella itu sahabat aku dari kecil dan---"

"Dan aku pacar kamu Rel, aku juga berhak minta waktu kamu buat sama aku!"

"Bisa gak Sya sehari aja lo nggak usah egois! Lo cuma ke toko buku bisa jalan sendiri. Nggak usah manja!" bentak Farel dari sebrang sana. Sambungan telpon di putus sepihak oleh Farel.

Tasya menjatuhkan ponselnya ke tanah. Farel membentaknya? Dan dia bilang Tasya egois?

Andai Farel tau jika saat ini Tasya bukan mau ke toko buku melainkan di usir dari rumahnya. Apa Farel masih bilang Tasya egois hanya karena meminta pria itu menjemputnya. Jika iya Tasya egois itu kapan? Kapan Tasya meminta Farel untuk terus bersamanya selama 24 jam.

Harusnya Farel sadar, mana mungkin besok ada ulangan sedangkan 4 hari lagi mereka wisuda. Kenapa Farel tidak peka. Apa karena dia terlalu sibuk dengan sahabat lebih tepatnya tunangannya. Harusnya di sini yang sadar itu Tasya. Sudah tahu Farel tidak akan pernah berubah masih aja sabar.

"Aku capek sabar, tapi kalau aku berhenti sabar anak ini akan kehilangan ayahnya dan aku gak mau itu terjadi." Air mata Tasya meluruh membasahi pipinya. Tasya tidak mau jika nanti anaknya lahir tanpa sosok seorang ayah. Cukup Tasya saja yang merasakan lahir tanpa sosok ayah. Jangan sampai anaknya mengalami nasib yang sama dengan Tasya.

Tasya beranjak dari duduknya, ia akan kembali mencari tempat tinggal untuk malam ini. Tidak mungkin Tasya akan terus berdiam diri disini hingga larut malam.

"Kakak cantik!"

Baru dua langkah Tasya melangkahkan kakinya, seorang anak kecil memegang tangannya. Kening Tasya berkerut. Bukankah anak ini yang Tasya selamatkan malam itu.

Tasya menatap seorang pria dengan rambut gondrongnya menuntun anak itu. Tapi itu bukan pria paruh baya yang memberi Tasya uang.

"Sea?"

Ya, Tasya ingat nama anak itu.

Tasya berjongkok di depan anak itu memegang kedua pundaknya.

"Sea kok ada disini? Papa sea mana?" tanya Tasya.

Anak itu tidak menjawab, ia hanya melirik kearah pria gondrong di sampingnya. Tasya juga menatap pria itu curiga. Pria terlihat panik di samping anak itu.

Tasya berdiri lalu menatap pria itu.

"Mau kamu bawa kemana anak ini?" tanya Tasya pada pria itu.

Pria itu terlihat gelagapan, Tasya semakin curiga jika pria itu bukan siapa-siapa anak itu.

"Eum... Saya di suruh Papanya untuk bawa anak ini pulang," jawab pria itu.

Tasya menarik Sea ke belakang tubuhnya.

"Biar saya yang mengantarkan anak ini pulang. Dia keponakan saya," ujar Tasya.

"Tidak bisa!" pria itu kembali menarik tangan Sea. Namun Tasya tepis tangan pria itu.

"Kenapa kamu memaksa? Ini keponakan saya. Biar saya yang mengantarkan pulang. Lagipula saya tidak percaya sama kamu!"

"SEA!"

Pria paruh paya dengan setelan jas memanggil nama anak itu. Pria gondrong itu terlihat panik melihat ayah anak itu. Ia pun memilih pergi dari sana.

"Seana, kenapa kamu pergi tanpa bilang dulu sama Papa."

Pria paruh baya itu berjongkok di depan anak itu. Ia merapikan rambut Sea yang sedikit berantakan. Rasanya Tasya iri melihat seorang anak di belai manja oleh Papanya.

"Sea bosan di kantor Papa jadi Sea pergi ke taman untuk jalan-jalan," jelas Seana.

"Lain kali kalau mau pergi bilang sama Papa. Biar ada temenin kamu," ujar pria paruh baya itu.

"Maaf, apa om suruh orang untuk mengantarkan Sea pulang?" tanya Tasya memotong pembicaraan ayah dan anak itu.

Pria paruh baya itu berdiri menatap Tasya. Karena panik dirinya sampai tidak sadar jika ada orang lain di sana.

"Bukannya kamu gadis yang kemarin tolongin putri saya?" Tasya mengangguk sebagai jawaban.

"Tidak. Saya tidak pernah menyuruh orang untuk mengantarkan Sea pulang. Setiap hari Sea ikut saya kerja jadi dia pulang dan pergi bersama saya," jelas pria paruh baya itu.

"Tadi ada om gondrong yang ajak Sea pergi temuin Papa. Tapi Sea gak mau dan om itu ngancem akan pukul Sea kalau tidak menurut. Untung saja tadi Sea ketemu sama kakak cantik ini," ujar Sea sangat polos.

"Ya ampun Sea, kamu hampir saja di culik nak."

"Terimakasih kamu sudah menyelamatkan putri saya lagi. Saya tidak tahu harus bilang apalagi sama kamu," ucap pria itu.

"Sama-sama om, lain kali Sea jangan di biarkan sendiri."

"Iya. Sekali lagi terimakasih. Kamu memang gadis yang baik."

"Sea, kita pulang sekarang ya?"

Saat ayah anak itu ingin mengajak pulang, Sea justru menarik tangan Tasya.

"Kakak cantik ikut kita pulang ya?"

TRAVMA (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang