[50]TRAVMA

33.4K 2.4K 51
                                    

"Tasya, power bank abang ada di sini gak?"

Bian masuk ke kamar Tasya untuk mencari power banknya. Tapi Tasya tidak ada di kamarnya, kemana anak itu.

Bian mencari power banknya sendiri, tapi tatapannya berhenti di benda kecil bawah bantal. Bian mengerutkan keningnya. Testpack? Milik siapa? Kenapa ada di kamar adiknya.

Ceklek

Tasya mematung di depan pintu kamar mandi ketika Bian memegang hasil testpack miliknya.

"A-abang."

Tasya mendekati Bian lalu merebut benda kecil itu dan menyembunyikan di balik punggungnya.

"Punya siapa itu?" tanya Bian. Suaranya terdengar dingin.

Tasya gelagapan tidak tahu harus menjawab apa.

"I-ini buat praktek," jawab Tasya berbohong. Bagaimana bisa Tasya se ceroboh ini sampai Bian bisa menemukan testpack nya.

Bian menatap curiga adiknya itu. Sejak kapan jurusan IPA ada praktek pakai testpack. Bian merebut kembali testpack di balik punggung Tasya.

"Abang bukan anak kecil Tasya. Jujur ini punya siapa?" tanya Bian lagi.

Tasya menunduk takut."I-itu punya Tasya."

Tidak ada gunanya lagi Tasya berbohong mau bagaimana pun nanti Bian juga akan tetap tahu.

Testpack di tangan Bian terjatuh ke lantai. Benda itu milik adiknya? Hasilnya juga positif. Itu tandanya...

"Kamu hamil?"

Bahu Tasya bergetar, pasti saat ini Tasya sudah mengecewakan kakaknya itu. Untuk menatap matanya pun Tasya tidak sanggup.

"M-maaf," hanya itu yang bisa Tasya katakan.

"Siapa Ayahnya?"

Tasya memberanikan diri menatap wajah kakaknya. Wajahnya sudah merah padam menahan amarah. Tangannya juga terkepal.

"F-farel."

"Brengsek!"

Bian hendak pergi menemui Farel untuk memberi pria itu pelajaran. Berani-beraninya ia merusak adik perempuan satu-satunya.

"Abang mau kemana?" Tasya menahan lengan Bian.

"Abang mau kasik pelajaran sama pria brengsek satu itu. Bisa-bisanya dia rusak kamu!!" murka Bian.

"Nggak gak boleh! Abang gak boleh ketemu sama Farel!" larang Tasya.

Bian menyentak tangan Tasya.

"Abang gak bisa biarin orang yang udah rusak kamu berkeliaran di luar sana. Dia harus tanggung jawab Tasya!" bentak Bian.

Untuk pertama kali di hidupnya Bian membentak Tasya. Tapi tidak apa-apa Tasya menerima dengan lapang dada karena ini adalah kesalahannya.

"Tasya hamil aja Farel gak tau," lirih Tasya.

"Kalau begitu biar abang yang beri tau dan suruh dia tanggung jawab. Dia gak boleh lari dari tanggung jawabnya!"

"Nggak usah bang, Tasya bisa hadapi ini sendiri."

"Kamu itu masih kecil Tasya gak bisa selesaikan masalah sebesar ini sendiri. Biarin abang pergi temui keluarga Farel!"

Bian kembali melangkahkan kakinya keluar dari kamar Tasya. Belum sampai kakinya menapak di depan pintu ucapan Tasya berhasil menghentikannya.

"Abang mau Tasya mati!"

Bian menoleh lalu kembali mendekati adiknya itu.

"Maksud kamu?"

"Farel udah tunangan sama wanita lain semalam!" kata Tasya dengan mata yang sudah berair.

"Apa? Tunangan sama wanita lain di saat kamu sedang mengandung anaknya?"

Tasya mengangguk kecil sebagai jawaban. Kini tatapan Bian semakin membara. Lelaki itu mengacak rambutnya frustasi.

"Abang harus samperin keluarganya sekarang!"

"Berhenti!" Tasya menghentikan langkah kakaknya di depan pintu. Dengan perasaan ragu Tasya memegang lengan Bian.

"Farel terpaksa tunangan sama wanita lain demi menyelamatkan nyawa Tasya. Malam itu Papa Farel menyuruh orang untuk culik Tasya dan membawa Tasya ke atas gedung untuk di lempar. Farel gak punya pilihan lain untuk menyelamatkan Tasya, abang." Tasya menjelaskan kejadian sebenarnya kepada kakaknya itu. Tasya tahu saat ini Bian sedang emosi tapi tindakannya akan membahayakan nyawa dan juga janinnya.

Tasya memilih tidak memberi tahu Farel karena takut Papa Farel akan kembali menyuruh orang untuk menculiknya. Kali ini bukan hanya nyawanya yang Tasya pikirkan tapi juga anak yang sedang di kandungnya.

"Abang udah larang kamu buat balikan sama dia tapi kenapa kamu gak nurut. Kamu lihat apa yang terjadi sama kamu sekarang?"

"Tasya juga gak mau ada di posisi ini! Tasya belum siap untuk jadi seorang Ibu. Tapi apa boleh buat? Gak mungkin kan Tasya gugurin anak ini. Anak ini cuma korban, Abang!"

Tasya juga tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Kejadian ini benar-benar begitu mendadak. Jika saja Tasya bisa mengulang waktu, Tasya gak akan menyetujui ajakan Marsel dan Farel tidak akan salah paham.

Mata Bian memerah karena menahan amarah. Ia memukul dinding dengan tangannya.

"Abang kecewa sama kamu!"

Bian pergi dari kamarnya begitu saja. Jangankan kakaknya, Tasya saja merasa jijik pada dirinya sendiri.

Tasya terduduk di atas lantai menatap nanar kepergian kakaknya. Sekarang satu-satunya pria yang menjadi sandaran Tasya juga pergi. Lalu, kemana Tasya harus bersandar setelah ini.

*****

Tepat di depan makam sang Ayah Tasya menumpahkan segala rasa sakit yang ia rasakan saat ini. Di benci oleh Ibu kandung, hamil di usia remaja, Ayah dari anak yang sedang di kandungnya bertunangan dengan wanita lain. Dan yang terakhir harus melihat kakak yang begitu menyayangi dirinya kecewa. Sakit rasanya saat melihat orang yang kita sayangi itu kecewa dengan perbuatan kita.

Tasya memeluk batu nisan sang Papa dengan erat membiarkan air matanya mengalir disana.

"Di banyak kisah yang Tasya dengar, anak perempuan akan menyandarkan kepalanya di bahu tegap milik Ayahnya ketika sedang menangis. Tapi kenapa Tasya hanya bisa menyandarkan kepala Tasya di batu nisan Papa. Tasya juga pengin di elus kepalanya sama Papa seperti anak perempuan di luar sana. Tasya juga pengin makan di suapin pakai tangan Papa. Tasya juga pengin ngerasain cinta seorang Ayah selayaknya cerita di luar sana. Tapi kenapa Papa tidur di saat Tasya lahir!" tangis Tasya pecah di depan makam Anas.

"Jika pria pertama mu pergi tanpa mengenalkan sebuah cinta, izinkan aku pria sekian untuk memberi mu cinta tanpa luka."

TRAVMA (Segera Terbit)Where stories live. Discover now