[69]TRAVMA

37.9K 2.3K 23
                                    

Arumi membuka matanya ketika sinar terang mengusik tidur wanita itu. Arumi berubah posisinya duduk ketika mendengar suara tawa anak kecil.

Saat Arumi menapakkan kakinya ke lantai semua ruangan di kamarnya berubah menjadi putih.

"Aku ada di mana?"

"Buna, adek di sini Buna!"

Arumi menoleh pada anak kecil laki-laki dengan rambut klimis melambaikan tangan kepadanya.

"Anak Buna ngapain di situ? Sini nak ke Buna."

Arumi merentangkan tangannya memanggil anak laki-laki itu agar memeluknya. Tapi anak laki-laki tetap berdiri di tempatnya dengan senyum manis.

"Kenapa diam aja? Adek gak mau peluk Buna?" tanya Arumi. Wanita itu masih tetap merentangkan tangannya menunggu sang anak berlari dan memeluknya.

"Adek mau peluk Buna tapi adek gak bisa," ujar anak laki-laki itu.

"Kenapa? Adek udah gak sayang ya sama Buna?"

"Adek sayang banget sama Buna tapi sepertinya Papa tidak menginginkan kehadiran adek."

Tiba-tiba ruangan serba putih itu berubah menjadi jalanan gelap yang sangat sepi. Arumi melihat ke sekitar. Jalanan itu adalah tempat di mana ia di tinggalkan, di lecehkan, dan juga kecelakaan. Kenapa ia tiba-tiba ada di tempat ini.

"Adek jangan di tengah jalan, nak bahaya. Sini ke Buna," Arumi meminta agar anaknya itu tidak berdiri di tengah jalan.

Kaki Arumi rasanya berat untuk melangkah mendekati putranya.

"Adek salah apa ya, Buna sampai Papa mau bunuh adek. Apa Papa gak sayang sama adek?"

Arumi menggeleng pelan."Nggak adek. Papa Marsel sayang sama adek gak mungkin Papa mau bunuh adek," ujar Arumi.

"Papa Marsel bukan ayah kandung adek tapi Papa Farel."

Deg. Dari mana anaknya kenal dengan Farel. Dan Dari mana anaknya itu tau tentang Papa kandungnya.

"Kalau gitu adek pergi ya Buna," pamit anak kecil itu. Dari lawan arah ada sebuah mobil yang melaju kencang ke arah anak laki-laki itu.

Arumi membelakkan matanya."Adek pergi dari sana!" teriak Arumi kencang.

Anak laki-laki itu tersenyum hangat dan melambaikan tangannya ke arah Arumi. Wanita itu berusaha untuk berlari dan menarik anaknya dari sana tapi kakinya tidak bisa ia gerakkan.

"Dadah Buna adek pamit, ya. Adek sayang Buna dan Papa."

Seketika mobil itu menabrak tubuh anak laki-laki itu.

"DARMA!!"

Dada Arumi naik turun, nafasnya tidak beraturan. Keringat dingin mencucur dari pelipis wanita itu. Ia baru saja bermimpi buruk.

"Arumi!" Marsel masuk ke dalam kamar Arumi ketika mendengar suara teriakannya.

"Darma! Mana Darma!" Arumi beranjak dari ranjang lalu berlari keluar kamarnya.

Arumi berlari ke lantai atas untuk mengecek keadaan putranya. Marsel mengejar Arumi ke kamar Darma.

Deg. Arumi bernafas lega ketika ia melihat anak kecil berusia empat tahun tengah tidur pulas di kasurnya.

Arumi melangkahkan kakinya mendekati tempat tidur sang anak. Ia duduk di tepi kasur dan membelai lembut rambut anaknya.

"Arumi, biarkan dia tidur. Ia baru saja terlelap," ujar Marsel di samping Arumi.

"Aku pikir aku akan kehilangan Darma. Tapi nyatanya Tuhan masih ingin anak ini melihat dunia," ujar Arumi.

Arumi bersyukur karena Tuhan masih memberi Arumi kesempatan untuk melahirkan Darma ke dunia saat dulu nyawanya hampir saja melayang.

"Itu tandanya Tuhan masih sayang sama kalian berdua," ujar Marsel. Saat Marsel hendak menyentuh puncak kepala Arumi, wanita itu terlebih dahulu menghindar.

Marsel tersenyum getir, ia menarik tangannya kembali. Sejak kejadian lima tahun lalu, Tasya mengalami trauma berat. Perempuan itu langsung ketakutan saat ada pria yang menyentuhnya.

"Sekarang kamu istirahat," ujar Marsel.

"Malam ini aku ingin tidur dengan Darma," ujar Arumi.

"Yaudah. Selamat istirahat."

Marsel berbalik keluar dari kamar Darma tapi langkahnya berhenti ketika Arumi memanggilnya.

"Marsel?"

"Iya Rum?" Marsel menoleh menatap Arumi.

"Makasih udah mau jadi Papa dari anak aku. Makasih udah anggap Darma sebagai anak kamu sendiri. Kamu emang sahabat terbaik buat aku," ucap Arumi tulus.

Marsel hanya tersenyum kecut. Kenapa rasanya sangat sakit saat Tasya masih menganggapnya sahabat. Kapan status itu akan berubah dan kapan wanita itu akan membuka hati untuknya.

"Iya sama-sama."

*****

"Pagi Buna!"

Darma turun dari tangga menyapa Arumi yang tengah menyiapkan sarapan di meja makan.

"Pagi juga anak Buna," balas Arumi.

"Papa dimana?" tanya Darma.

"Di sini jagoan."

Marsel muncul dari balik tubuh anak laki-laki itu lalu mencium pipinya. Pria itu mengambil posisi duduk di samping Darma.

"Hari ini kita jadi kan ke rumah kakek?" tanya Darma.

"Jadi dong."

Drrtt...Drrtt...Drrtt

Arumi menghentikan aktifitasnya saat ponselnya berdering. Perempuan itu mengambil ponselnya di meja pantry.

"Iya halo?" ucap Arumi saat sambungan telpon terhubung.

"Selamat pagi Mbak, ini saya Dika sekertaris Pak Arega. Maaf sebelumnya karena mengganggu pagi-pagi sekali."

"Iya ada apa ya pak?"

"Ajuan Mbak Arumi untuk pembatalan kontrak di tolak oleh Pak Arega. Jika Mbak tetap ingin membatalkan kerja sama kita maka Mbak harus membayar dispensasi sebesar 15 miliar."

Arumi membelakkan matanya tidak percaya. 15 miliar? Uang dari mana Arumi untuk membayarnya. Meminta pada Marsel tidak mungkin. Ia sudah terlalu banyak membantunya. Apalagi jumlah yang di minta itu sangat besar. Mungkin Marsel akan memberikan uang itu tapi Arumi masih sadar diri untuk meminta pada Marsel.

"15 miliar? Apa anda ingin memeras saya?" ucap Arumi tidak terima.

"Bukan seperti itu Mbak tapi itu sudah syarat yang sudah di tetapkan di surat kontrak yang telah Mbak Arumi tanda tangani."

Ah, sial! Kenapa Arumi tidak baca dulu surat kontrak kerja sama dengan perusahaan itu. Andai saja Arumi tahu pemilik perusahaannya itu Farel maka wanita itu tidak akan menerimanya.

"Apa tidak bisa di bicarakan lagi pak?"

"Kalau itu Mbak bicarakan saja dengan pimpinan kami."

What? Apakah Arumi harus kembali bertemu dengan Farel. Tapi bagaimana jika Farel semakin mengenal dirinya.

"Biar saya pikirkan lagi," ujar Arumi lalu menutup telponnya.

"Kenapa, Rum?" tanya Marsel saat melihat wajah gelisah Arumi.

"Kontrak kerja samanya tidak bisa di batalkan," jawab Arumi lesu. Tidak mungkin Arumi cerita tentang Farel yang meminta uang dispensasi.

"Terus? Kamu masih mau jalanin kerja sama dengan perusahaan Farel?"

"Mau gak mau aku harus jalani Sel. Lagi pula hanya satu bulan."

"Cukup buktikan jika kamu itu bukan Tasya. Kamu bersikap biasa saja seolah-olah kalian baru kenal. Dengan begitu Farel gak akan curiga kalau kamu itu Tasya," ujar Marsel memberi saran.

"Iya."

TRAVMA (Segera Terbit)Where stories live. Discover now