[74]TRAVMA

43.4K 2.3K 109
                                    

Tasya mendorong Farel agar menjauh dari dirinya saat Darma dan juga Marsel berada di depan lift. Tasya berdehem lalu mendekati Marsel yang tengah menggendong Darma.

"K-kalian mau kemana?" tanya Tasya basa-basi untuk menutupi kegugupannya.

"Tadi Darma kebangun dan cariin kamu," jawab Marsel.

Tasya mengambil Darma dari gendongan Marsel. Anak laki-laki itu seperti habis menangis.

"Tadi Buna kemana?" tanya Darma lirih.

"Ee... tadi Buna lagi ngurusin kepulangan kita sayang," jawab Tasya.

"Kita gak jadi tidur di sini, Buna?" tanya Darma lagi.

Tasya menggeleng pelan."Kita tidur di rumah aja ya?" ucap Tasya.

"Kenapa Buna? Bukannya besok Papa mau ngajak adek berenang?"

Deg. Papa? Anak kandungnya memanggil pria lain dengan sebutan Papa? Darma, lihatlah, Papa kandung mu di depan kamu nak. Sesak memenuhi dada Farel melihat darah dagingnya tidak mengenali dirinya.

"Kita berenangnya di rumah aja ya jagoan. Papa janji lain kali akan ajak adek berenang lagi di hotel kakek," ujar Marsel memberi pengertian.

Darma menatap Farel yang menatapnya nanar. Kening anak itu berkerut melihat pria yang ia tabrak bisa dekat dengan sang Ibu tadi.

"Buna, siapa paman itu? Apa Buna kenal?" tanya Darma menunjuk Farel.

Farel tersenyum lalu mendekati Darma di gendongan Tasya. Tapi saat Farel hendak menyentuh Darma, Tasya terlebih dahulu memindahkan Darma ke gendongan Marsel.

"Ya, paman ini teman lama Buna di sekolah. Sekarang Darma ikut Papa balik ke kamar dan bersiap untuk pulang ke rumah," ujar Tasya cepat.

Senyum di bibir Farel perlahan menghilang saat Tasya menyebutnya teman lama. Apa Tasya tidak ada niatan untuk memberitahu Darma jika dirinya lah ayah kandung Darma bukan pria yang ia sebut Papa saat ini.

"Kita balik ke kamar aja yuk," ajak Marsel. Satu tangan Marsel menggenggam tangan Tasya dan membawa wanita itu pergi dari hadapan Farel.

Farel menatap nanar kepergian Tasya dan juga anaknya. Kenapa nasibnya begitu buruk sampai anaknya sendiri memanggil dirinya paman. Harusnya Farel yang menggendong Darma dan menggenggam tangan Tasya bukan malah Marsel.

*****

Sesampainya di kamar Tasya menarik tangannya dari genggaman Marsel. Tasya merasa gelisah dan juga risih saat ini. Marsel menaruh Darma ke kasur dengan perlahan saat anak itu sudah terlelap.

"Rum, aku minta maaf udah sentuh kamu dua kali. Pasti sekarang kamu risih ya sama aku?" ucap Marsel merasa bersalah.

Tasya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Jujur Tasya merasa gelisah dan takut secara bersamaan seperti dulu saat ia hampir di lecehkan. Tapi Tasya berusaha untuk tetap biasa saja.

"Nggak apa-apa, Sel. Lagian niat kamu cuma mau bantuin aku kan," ujar Tasya.

"Iya tapi tetap aja aku gak enak sama kamu. Gara-gara aku kamu jadi teringat trauma masalalu kamu."

"Nggak apa-apa mending kita siap-siap buat balik ke rumah."

*****

Sejak satu jam yang lalu Farel sudah menunggu Tasya datang ke kantornya. Hari ini wanita itu ada pemotretan dan tidak mungkin jika tidak datang.

"Dika, apa Arumi sudah datang?" tanya Farel pada sekretarisnya.

"Sudah pak lima menit yang lalu. Sepertinya Mbak Arumi sedang bersiap-siap," jawab Dika.

"Terimakasih," ucap Farel lalu bergegas menemui Tasya.

Farel harus segara menyelesaikan kesalahpahaman ini dengan Tasya. Farel harus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi waktu itu.

*****

"Tasya!"

Tasya menoleh saat Farel tiba-tiba masuk ke dalam ruang ganti wanita itu.

"Ada apa?" tanya Tasya menatap Farel.

"Ada hal yang harus kita selesaikan, Sya. Aku mau kamu---"

"Bukan saatnya untuk membahas masalah pribadi. Ini kantor dan kita harus bersikap profesional," potong Tasya.

"Ouh, o-oke. Tapi nanti boleh kan aku minta waktu kamu sebentar?" ucap Farel.

Tasya diam sejenak lalu mengangguk pelan. Farel bernafas lega karena Tasya menyetujui ajakannya.

"Aku tunggu di rooftop setelah pemotretan," ucap Farel lalu keluar dari ruang ganti Tasya.

*****

Setelah ganti baju dan pemotretan selesai, Tasya benar-benar menemui Farel di rooftop. Tasya melangkahkan kakinya mendekati Farel yang tengah merapikan sebuah meja yang tersedia makanan dan juga lilin yang menghiasi meja itu.

"Tasya."

Farel menyambutnya hangat dan mempersilahkan wanita itu duduk.

"Aku senang karena kamu mau menemui aku," ujar Farel.

"Jangan basa-basi. Apa yang ingin kamu bicarakan?" ucap Tasya to the point.

Farel menarik nafasnya panjang.

"Aku tau kesalahan aku fatal banget di masalalu dan aku gak akan paksa kamu untuk memaafkan aku. Tapi, apa kamu mau dengar alasan aku waktu itu?" ujar Farel. Pria itu berharap Tasya akan mendengar alasannya.

"Apa?"

"Waktu itu Papa tau kalau kamu lagi hamil anak aku. Dan lagi-lagi dia ancam aku akan membunuh kamu dan Darma secara bersamaan. Aku bingung dan takut. Aku gak mau kehilangan kalian berdua tapi...."

Farel tidak kuasa melanjutkan ucapannya. Pria itu menunduk sedih mengingat kebodohannya di masalalu.

"Karena rasa takut aku yang sangat besar, aku sampai rela menyuruh kamu untuk menggugurkan anak kita. Bodoh banget ya, aku," ucap Farel terkekeh miris.

Mendengar cerita Farel membuat mata Tasya berkaca-kaca. Meskipun yang di lakukan Farel itu demi dirinya tetap saja langkah yang di ambil pria itu salah dan tidak bisa di benarkan. Jika saja dulu Tasya setuju untuk menggugurkan kandungannya mungkin hari ini ia tidak bisa melihat anak setampan Darma. Dan mungkin akan menjadi penyesalan seumur hidup untuk Tasya.

"Ya, kamu memang bodoh," ucap Tasya juga ikut terkekeh miris.

"Aku tau. Tapi, masih ada kesempatan gak untuk pria bodoh ini memperbaiki kesalahannya?" ucap Farel menatap Tasya.

"Apa yang harus di perbaiki? Bukankah semuanya sudah terlalu rusak?"

Farel menghela nafasnya lalu menggapai tangan Tasya di atas meja.

"Do you still love me?"

"Do you still love me?" tanya Tasya balik.

"Always. Tidak ada alasan untuk aku berhenti mencintai mu," ujar Farel sungguh-sungguh.

Drrtt...Drrtt... Drrtt...

Farel melepas genggaman tangan Tasya lalu mengangkat telpon dari seseorang.

"Ada apa?"

"[....]"

"Apa! Stella kritis!" Farel langsung berdiri dari duduknya.

"[....]"

"Ya, saya akan segara kesana!"

Farel menutup sambungan telponnya. Pria itu menatap Tasya dengan tatapan merasa bersalah.

"Maafin aku. Aku harus pergi." Farel mengusap puncak kepala Tasya sebentar lalu pergi dari rooftop meninggalkan Tasya seorang diri.

Air mata meluruh begitu saja membahasi pipi Tasya. Wanita itu tersenyum getir.

"I still love you, but i hate you too."

Tasya tidak bisa lagi membendung air matanya. Ia menelungkup kan kepalanya di atas meja dan menangis di sana. Mau sampai kapanpun Tasya di hidup Farel akan tetap menjadi seorang figuran. Karena peran utama di hidup pria itu adalah sahabatnya. Yaitu Stella.

TRAVMA (Segera Terbit)Where stories live. Discover now