BAB LXXXVIII

1.3K 196 0
                                    

Ternyata, itu bukanlah pertemuan terakhir yang dilakukan oleh dua pihak negara yang berselisihan itu, masih ada pertemuan lainnya yang seolah memaksa negara Jungkook mengganti ideologi politik mereka dan beberapa kesepakatan lainnya yang tidak bisa disetujui oleh pihak Jungkook.

Jungkook harus ke sana kemari mengurus permasalahan negaranya. Ia bahkan hampir lupa dengan urusan pribadinya sendiri seperti mengacuhkan pertemuan antara dirinya dan ibunya beberapa hari yang lalu.

Sudah hampir dua minggu Jungkook melakukan kegiatan yang hampir sama. Memantau kegiatan militer atau perang, menghadiri pertemuan yang tidak kunjung mendapatkan kesepakatan, mengurus rakyat jelatanya yang mulai protes dengan perekrutan tentara secara paksa kepada rakyat yang sama sekali tidak tahu menahu tentang militer, menipisnya bahan pangan, dan masalah lainnya.

Saking banyaknya yang menolak keputusan Jungkook tentang perekrutan tentara secara paksa itu, banyak pemberontak yang kembali beraksi. Hal ini menambah pikiran Jungkook. Ia mengira pemberontak itu akan diam selama Perang Korea berlangsung. Namun, rupanya kebanyakan dari mereka adalah penentang dari perekrutan tentara secara paksa itu. Mereka membenci sikap Jungkook yang seolah tidak peduli melihat nasib orang-orang yang ditinggalkan oleh tentara dadakan itu, belum lagi skill yang dimiliki tentara dadakan itu tidak sebagus yang dimiliki tentaranya. Bagi mereka, itu sama saja membunuh orang yang tidak bersalah atau yang lebih parahnya lagi ada yang berpikiran bahwa Jungkook sengaja mengirim rakyatnya ke medan perang untuk mengurangi bahan makanan yang ada, sehingga ketika tentara yang kurang mempunyai skill berperang itu tewas di medan perang, secara tidak langsung mengurangi populasi.

Pemberontak itu juga rupanya berhasil mempengaruhi warga yang awalnya bukan bagian dari pemberontak menjadi pemberontak. Tuntutan demi tuntutan agar Jungkook segera menyelesaikan masalah membuat Jungkook merasa terbunuh secara perlahan. Dan yang lebih parah meminta Jungkook untuk melepaskan takhtanya saking tidak becusnya menyelesaikan masalah kenegaraannya.

"Apa Anda sudah beristirahat dengan nyaman, Yang Mulia?" tanya Sekretarisnya.

Jungkook menggeleng cepat. Wajahnya pucat dengan lingkaran hitam menggantung di bawah matanya. Jungkook hampir tidak bisa memejamkan matanya barang sedetik pun saking penuhnya kepalanya. Selesai satu masalah, kemudian ada satu lagi masalah yang muncul.

"Pihak Korea Utara kembali meminta mengadakan pertemuan, Yang Mulia."

Sudah cukup. Jungkook muak dengan semua ini.

"Pertemuan?!" nada Jungkook meninggi. "Pertemuan! Pertemuan! Pertemuan! Dan pertemuan lagi?! Sampai kapan mereka atau kita mengadakan pertemuan apabila pada akhirnya hanya menambah ketegangan satu sama lain?! Apa mereka sendiri atau kita tidak punya solusi selain dari menghadiri pertemuan konyol ini?!"

Sekretaris Kim tidak menjawabnya. Beliau justru mundur selangkah sambil menundukkan kepalanya. Bibirnya menggumamkan kata maaf kepada pemimpinnya itu dan hanya maklum apabila pimpinannya itu melampiaskan kemarahannya padanya. Jungkook pasti sudah terlalu sabar menghadapi semua ini.

Jungkook mengambil nafas panjang sebelum berjalan dengan langkah lebar menuju limusin yang sudah menunggunya untuk membawa dirinya ke tempat pertemuan. Mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus menghadiri pertemuan itu.

Namun, jauh di dalam diri Jungkook, ia ingin menemukan sebuah harapan di balik pertemuan kali ini. Ia harap ada sebuah kesepakatan dalam pertemuan ini. Ah, kesepakatan itu bagi Jungkook terdengar seperti mengharapkan sebuah keajaiban. Ya, keajaiban mengharap Korea Utara mau berdamai bersama negaranya.

Jungkook merapikan jasnya yang agak kumal. Ia seperti bukan pemimpin yang baik dengan memakai pakaian yang kurang rapi dalam menghadiri pertemuan formal seperti ini.

THE SELECTION [KookV] ✅Where stories live. Discover now